Langsung ke konten utama

Sebab Musabab Kemenangan Partai Komunis Tiongkok atas Chiang Kai-Shek, dan Pandangan PKT

Laporan Keadan Tiongkok kepada Kongres Ketiga Internasionale Keempat

Peng Shuzi

Dari International Information Bulletin, Socialist Workers Party, Februari 1952, dari arsip microfilm Tamiment Library
Transkrip, terjemah & tambahan oleh Andrew Pollack & Salim.

[Laporan diberikan kepada Kongres Sedunia Ketiga Internasionale Keempat, Agustus-September 1951.]

Kemenangan Partai Komunis Tiongkok atas kekuatan reaksioner Chiang Kai-shek, pendudukannya atas seluruh Tiongkok daratan, dan pendirian “Republik Rakyat” (atau “Kediktatoran Demokratik Rakyat”) telah menandai sebuah perubahan hebat dan bahkan luar biasa di dalam sejarah Tiongkok modern, dan juga telah mengakibatkan perubahan mendalam di Timur Jauh dan pada hubungan internasional.

Kejadian ini tidak terduga baik dalam kalangan lingkaran borjuis berkuasa dan politikus borjuis kecil, yang awal tercengang dan dilanda panik; yang akhir, kebingungan atau terpesona. Namun kejadian ini juga jauh dari yang diantisipasi oleh kita, Trotskyis (termasuk Trotsky sendiri), berkat kenyataan bahwa PKT tiba pada kemenangan ini melalui program “revolusi bertahap” Menshevik yang bukan main reaksioner, dibarengi dengan fakta bahwa pasukan kaum tani bersenjata sepenuhnya terisolir dari kelas buruh perkotaan.

Hasilnya, sejumlah besar kebingungan telah muncul pada jajaran kita terkait kemenangan Mao, dan perbedaan pendapat gawat telah terjadi atas sebab musabab dan maknanya, sifat dari kekuatan baru ini dan pandangannya. Beberapa kamerad bahkan telah mulai meragukan ketepatan teori revolusi permanen. Jika perselisihan ini tidak dijernihkan dan diuraikan pada waktunya, akibat yang paling gawat akan terjadi, terutamanya dalam cabang Tiongkok kita. Beberapa kamerad akan beralih dari meragukan revolusi permanen ke bersetuju dengan Stalinisme (beberapa kamerad di Shànghǎi telah menunjukkan tanda-tanda gejala ini). Lainnya akan tiba pada ultra-sektarianisme dan keputusasaan dalam kemuakan mereka akan kemenangan oportunis Máo Zédōng, yang merupakan hasil dari pelanggaran revolusi permanen seutuhnya (Minoritas di Tiongkok telah jelas menunjukkan gejala ini). Oleh itu kita harus memeriksa dengan bijaksana dan sungguh-sungguh kemenangan Mao dan situasi luar biasa yang muncul dari situ.

Pertama sekali, kita tidak boleh mengabaikan peran reaksioner Stalinisme terlepas dari kemenangan PKT, dan tidak mengakurkan atau, lebih buruk lagi, menyerahkan diri kita. Kita harus tetap bersikeras pada kedudukan dasar revolusi permanen, yaitu satu-satunya kompas untuk menuntun Tiongkok dan segenap negeri-negeri terbelakang menuju kemerdekaan sejati; kita harus menilai setiap kejadian seterusnya dari kedudukan ini. Namun, dalam meneruskan diskusi ini, diperlukan bukan saja membuang segala prasangka, niat, atau padanan mekanis subjektif, melainkan membebaskan diri kita dari rumusan tradisional (tentunya bukan prinsip). Kita harus hadapi fakta lapangan konkret, baik yang diidamkan ataupun yang tidak, terutamanya pengaruh menentukan dari terciptanya situasi setelah Perang Dunia Kedua pada kejadian di Tiongkok. Kita juga harus mencatat fungsi khas yang dimainkan Stalinisme dalam kejadian tersebut, penyimpangan atau kecacatan yang dikenakan oleh kekuasaannya pada kejadian-kejadian dan akibat-akibatnya. Ringkasnya, kita harus menerapkan dengan sungguh-sungguh dan lentur kaedah dialektika Marxisme untuk meninjau fakta, menelaah fakta, dan dengan menelaah sebab musabab dan dampak nyata, menelurkan pemahaman yang tepat, dan menyusun penaksiran yang tepat atas kemungkinan perkembangan.

Dengan kata lain, terkait persoalan Tiongkok kita harus mengangkat semangat dan kaedah yang sama seperti Internasionale kita telah lakukan dalam meneliti kejadian Yugoslavia dan persoalan Eropa Timur. Hanya dengan cara ini kita dapat melepaskan diri dari kebingungan dan penyimpangan luar biasa berbahaya untuk menggapai satu keputusan soal apa sikap dan pedoman mendasar partai kita seharusnya mengenai kepemimpinan PKT. Oleh itu laporan ini tidak bermaksud untuk memasok banyak data; melainkan fakta penting dan intisari dalam perjalanan perkembangan logis peristiwanya, dan menerangkan pendapat-pendapat tertentu yang telah menyebabkan perselisihan gawat, sebagai acuan bagi Internasionale supaya dapat meraih penyelesaian persoalan di Tiongkok dengan tepat.

Beragam sebab kemenangan PKT atas Kuomintang

Salah satu konsep umum yang Trotsky berkali-kali ajukan, dan Trotskyis Tiongkok pegang dua puluh tahun terakhir, adalah satu strategi yang berseberangan dengan strategi pengepungan kota hanya melalui pasukan kaum tani bersenjata ala Stalinis. Trotskyis mempertahankan bahwa penggulingan rezim borjuis Kuomintang memungkinkan hanya jika kelas buruh perkotaan bangkit dan memimpin semua yang tertindas dan terhisap seantero negeri, terkhusus massa kaum tani, meneruskan perjuangan gigih, dan akhirnya mengadakan insureksi bersenjata. Tidaklah mungkin menggulingkan rezim borjuis dengan mengandalkan semata-mata kepada pasukan kaum tani bersenjata karena, pada keadaan masyarakat saat ini, pedesaan tunduk kepada perkotaan dan kaum tani dapat memainkan peran menentukan hanya di bawah kepemimpinan kelas buruh. Namun fakta sekarang menghampiri kita justru sebaliknya: yaitu sebuah partai Stalinis yang semata-mata mengandalkan kepada pasukan kaum tani bersenjata yang menghancurkan rezim lama dan merebut kekuasaan.

Pertentangan keras ini antara “fakta” dan “konsep umum” pertama-tama membawa kebingungan dan perselisihan di kalangan kamerad-kamerad Tiongkok. Sementara itu, beberapa kamerad di dalam Internasionale, karena kekurang-pahaman mereka akan konsep umum Trotsky pada persoalan di Tiongkok dan sebab musabab khusus kemenangan Mao, menekankan faktor “tekanan massa” untuk menerangkan kemenangan ini. Jadi saya pikir bahwa sebuah penjelasan cermat dan rinci soal penyebab kemenangan ini diperlukan, bukan hanya demi mengatasi perbedaan pendapat di kalangan kamerad-kamerad Tiongkok, tetapi juga demi meralat penyimpangan beberapa kamerad di dalam Internasionale. Terlebih, yang paling penting adalah: Hanya dari jawaban tepat atas persoalan ini kita akan mampu melangkah lebih jauh dan memahami makna objektif kemenangan Mao, sekaligus kelit dan belokan segenap langkah yang diambil rezimnya, dan kemungkinan pandangan rezim. Guna menjawab persoalan ini dengan baik, saya akan mulai dari beberapa segi fakta-fakta.

A. Kebusukan menyeluruh dan kejatuhan rezim Chiang

Telah diketahui semua orang bahwa rezim Chiang Kai-shek terlahir di tengah tumpah darah kekalahan revolusi Tiongkok kedua. Sewajarnya ia benar-benar takut dan memusuhi rakyat. Ia menindas rakyat dan menopang dirinya melalui pengisapan massa (terutama massa kaum tani) menggunakan kaedah Asiatik yang paling biadab. Serentak, karena sifat rezim ini sendiri mewakili kaum borjuasi Timur (dicirikan dalam pepatah “semakin jauh ke Timur kaum borjuasi, semakin pengecut dan semakin kikuk ia menjadi”), rezim Chiang hanya dapat menyokong dirinya melalui kekuatan-kekuatan imperialis (setidaknya salah satunya).

Ia menyatukan segala pengaruh reaksioner, termasuk sisa-sisa feodal, untuk melawan dan menekan massa. Oleh itu, ia tidak mampu memenuhi satupun tugas borjuis-demokratis, bahkan tidak ada sedikit reforma seperti pengurangan 25 persen harga sewa. Ia terutamanya dicirikan sepenuhnya dengan kesewenangan Asiatik, korupsi dan ketidakefisienan. Ciri-ciri ini sepenuhnya terungkap selama Perang Perlawanan. Di satu sisi, setelah kegagalan kebijakan “nirpertahanan” dan periode panjang konsesi kepada imperialis Jepang berakhir dengan terpaksanya pemerintahan Chiang untuk melawan, memperlihatkan ketidak-becusan sepenuhnya dengan kekalahan dari satu kota ke kota lainnya. Di sisi lain, ia mencengkeram dengan tangan besi atas beragam tindakan spontan massa rakyat, sementara para birokrat dan panglima perangnya diuntungkan dari kesempatan langka ini, mengisap dan menjarah darah dan daging rakyat dengan menimbun dan menyelundupkan barang kebutuhan dan pemerasan lainnya, sehingga memperkaya diri melalui bencana nasional. Perbuatan ini membangkitkan ketidakpuasan besar dan kegetiran di kalangan rakyat biasa—yang tercerminkan dalam unjuk rasa pelajar dan kerusuhan kaum tani di beberapa wilayah selama periode berakhirnya perang.

Setelah menyerahnya imperialisme Jepang — tirani, korupsi dan ketidakefisienan Chiang mencapai puncaknya. Pertama, dengan dalih merebut “hak milik musuh dan para penghianat,” para militeris dan birokrat mencuri hampir semua hak milik publik untuk mengisi dompet mereka, dan memanjakan diri dalam kemewahan dan pemborosan. Serentak, menggunakan dalih meneruskan perang sipil, mereka memeras pangan dari kaum tani dan menjatuhi wajib militer atas mereka, memaksimalkan pemerasan dan penindasan. (Beberapa kaum tani terdaftar dapat dikecualikan dari wajib militer asalkan membayar sejumlah uang, ini menjadi sumber lain pemerasan bagi sebagian birokrat.) Hal ini semakin menyulut kemarahan massa, dan memancing letusan beberapa protes unjuk rasa berskala besar (yang mana kaum pelajar memainkan peran utama). Namun jawaban satu-satunya dari Chiang Kai-shek atas kegetiran, protes, dan unjuk rasa ini adalah penindasan, pembantaian, dan bahkan pembunuhan dan penculikan oleh pamong praja, polisi dan agen rahasia.

Landasan keuangan pemerintahan Chiang telah terkuras dalam perjalanan perang. Di samping pemerasan wajib, ia hanya dapat melakukan penerbitan mata uang kertas untuk membiayai dirinya. Akibatnya kadar inflasi mendaki mengikuti deret geometri. Setelah perdamaian diumumkan, laju inflasi beranjak dari deret geometri menuju kecepatan cahaya, berakhir pada kejatuhan “yuan emas” dan kekacauan perekonomian yang belum pernah ada sebelumnya pada ujung 1948.

Segenap perniagaan dan industri macet dan tercerai-berai, dan kondisi hidup beragam lapisan kalangan kelas menengah dan bawah (termasuk segenap jabatan menengah dan bawah dalam lembaga pemerintahan) dihempaskan ke dalam jurang keputus-asaan. Didorong oleh kelaparan, kaum buruh bangkit dalam gelombang mogok umum (di Shànghǎi sendiri terdapat pemogokan 200.000 buruh). Penjarahan beras terjadi di mana-mana. Pada ketika itu, United Press memberikan gambaran ringkas keadaannya sebagai berikut: “Rakyat di bawah kelas menengah tidak mampu meneruskan hidup; ketidakpuasan dan kebencian terhadap status quo berlaku. Semua orang mengharap perubahan.” Rezim Chiang Kai-shek goyah. Jika PKT menyeru kepada kaum buruh dan massa rakyat di kota-kota besar untuk bangkit memberontak dan menggulingkan rezim, pasti akan semudah menjungkirkan kayu busuk. Namun partai Mao sebatas memberikan arahan kepada rakyat untuk senyap menunggu bagi “pembebasan” mereka oleh “Tentara Pembebasan Rakyat.”

Satu-satunya penyangga Chiang adalah pasukan militernya dan jadinya dia terus memerangi sampai akhir dan tidak akan pernah berkompromi dengan Máo Zédōng. Dia berharap memberantas pasukan kaum tani bersenjata PKT melalui perlengkapan unggul militernya dan mencegah rezim busuknya dari kehancuran. Faktanya, tentara Chiang Kai-shek jauh melampaui PKT, bukan hanya dalam jumlah tetapi juga dalam perlengkapan. Sebagian besar tentaranya (sekitar enam sampai tujuh ratus ribuan prajurit) dipersenjatai dengan senjata Amerika yang paling modern. Namun tentara ini memiliki dua cacat mematikan: Pertama, kebanyakan prajuritnya direkrut dari pedesaan melalui paksaan wajib militer, beberapanya bahkan melalui penculikan, jadi mereka wajar mencerminkan kurang lebih ketidakpuasan dan kebencian selayaknya kaum tani. Kedua, semua jenderal dan pejabat tingginya busuk sampai ke sum-sum; mereka menganiaya prajurit dan terus mengurangi perbekalan. Penindasan ini menimbulkan banyak penderitaan bagi para prajurit dan memperdalam ketidakpuasan dan kebencian mereka. Begitu kebencian ini menemukan corong yang sesuai, ia akan mendorong hasrat kabur dan menyerah. “Serangan balik umum” Máo Zédōng menyediakan corong ini.

Semua fakta dipaparkan di atas menunjukkan bahwa pemerintahan Chiang tidak hanya terisolir dari rakyat, yang memusuhinya, tetapi juga ditinggalkan oleh mayoritas borjuasi. Bahkan mereka yang sebelumnya mendukung berubah getir terhadapnya dan siap mengorbankannya demi nyawa mereka. Keadaan ini menghasilkan kemunculan beragam faksi dan klik anti-Chiang di dalam Kuomintang sendiri, yang kemudian terlibat dalam pembusukan sempurna. Salah satu faksinya terkristalisasi menjadi kononnya Komite Revolusioner Kuomintang (dipimpin Li Chi-shen). Melihat kepastian jatuhnya Chiang Kai-shek, ia dengan cemas mengupayakan “kesepahaman dan perdamaian” dengan Máo Zédōng.

Kelompok lain bersiap merespon serangan PKT dengan memberontak terhadap Chiang( seperti Ch’eng Ch’ien, gubernur provinsi Hunan, dan Lu Han, gubernur Yunnan), sementara lainnya masih bersedia menyerah, seperti kasus Fu Tso-yi di Peiping [Běijīng] dan Liu Hsiang di Szechuan [Sìchuān].

Kelompok ketiga —klik Kwangsi [Guǎngxī], diwakili oleh Li Tsung-jen dan Pai Ch’ung-hsi— mencoba menggantikan Chiang Kai-shek. Anasir borjuis di luar Kuomintang semakin hari semakin berhimpun di sekitar “Liga Demokratik,” mencoba mencari jalan mereka melalui organisasi ini. Ringkasnya, struktur rezim Kuomintang terkikis dari atas sampai bawah dan tidak lagi mampu berdiri. Satu-satunya harapan bagi Chiang Kai-shek adalah bantuan mendesak dari Washington. (Dia telah mengirim Soong Ch’ing-ling pada tugas istimewa ini sebagai peruntungan terakhir.)

B. Chiang akhirnya ditinggalkan oleh imperialisme Amerika

Sebelum Perang Dunia Kedua, pengaruh paling kuat dan menentukan dalam perekonomian dan perpolitikan Tiongkok adalah imperialisme Jepang, Inggris, dan Amerika. Dengan berakhirnya perang, pengaruh imperialisme Jepang lenyap. Imperialisme Inggris meski masih mempertahankan kuasanya di Hong Kong, sejak kemunduran parahnya telah sepenuhnya meninggalkan panggung politik di China. Yang pamungkas mencoba mengendalikan negeri ini adalah imperialisme Amerika. Awalnya ia bermaksud menyokong pemerintahan Chiang dengan segenap kemampuannya guna memonopoli pasar Tiongkok dan menggunakan negeri ini sebagai benteng melawan Uni Soviet. Bergerak dari motif ini, ia mengirimkan jumlah material dan perlengkapan militer yang sangat banyak kepada pemerintahan Chiang pada akhir peperangan. Namun, ia segera membelalakkan matanya atas korupsi gila-gilaan pejabat dan aparat militer pemerintahan ini serta krisis yang diciptakannya. (Contohnya, kebanyakan material yang AS berikan dilahap oleh para birokrat, dan senjata buatan AS sering ditemukan di tangan PKT akibat ketidak-gigihan para pejabat Kuomintang.)

Di satu sisi, Washington masih mencoba “bertahan dengan” Chiang Kai-shek untuk melakukan “reforma,” seperti menyingkirkan beberapa pejabat dan jenderal paling korup dan tidak becus, mengundang tokoh-tokoh yang lebih “demokratis” ke dalam administrasi, dan mengurangi beberapa bentuk penindasan dan pengisapan zalim yang berlebihan. Di sisi lain, AS bersiasat demi kompromi sementara antara Chiang dan Mao, guna membeli waktu untuk menghancurkan Mao. Inilah tujuan dari tugas istimewa Jend. Marshall di China.

Namun Chiang tidak hanya menolak membuat “reforma”; dia juga keras kepala menolak segala kompromi dengan partai Mao. Akhirnya, tugas Marshall gagal sepenuhnya. Satu-satunya alternatif tersisa bagi imperialisme Amerika adalah terlibat dalam serangan militer langsung melawan PKT menggantikan Chiang (sebagaimana pada kala itu satu kelompok Partai Republikan menuntut itu), dan meluaskan kendali langsungnya atas administratif dan kekuatan militer pemerintahan. Hal ini sangat ketara, tetapi, keadaan yang timbul dari Perang Dunia Kedua tidak pernah membolehkan tindakan keras ini. Kalau imperialisme Amerika mengambil jalan begitu, tidak hanya segala sumber daya dan tenaga mereka akan terkuras dalam belantara rawa-rawa China, tetapi perang dunia baru akan mulai muncul. Imperialisme Amerika sepenuhnya tidak siap atas perjalanan ini, dan tidak cukup berani mengambil risiko di hadapan kemungkinan penentangan keras dari para sekutunya.

Hasilnya adalah AS akhirnya terpaksa menghentikan bantuannya kepada pemerintahan Chiang dan mengambil sikap tunggu-dan-lihat terhadap PKT, menunda hingga kesempatan yang lebih baik. Keputusan akhir oleh imperialisme Amerika ini tiba sebagai pukulan mematikan bagi rezim Chiang Kai-shek, yang sepenuhnya terungkapkan dalam hawa kekecewaan dan keputus-asaan di sekitar kelompok Chiang ketika berita ini tiba di China dengan kemenangan Truman pada pemilu 1948 dan penolakannya membantu Chiang.

C. Kebolehan subjektif PKT

Landasan kebolehan PKT terletak pada pasukan kaum tani bersenjatanya. Ia terlahir dari sederetan pemberontakan kaum tani yang meletus di provinsi-provinsi selatan China setelah kekalahan revolusi kedua. Meski rangkaian pemberontakan ini tidak berpeluang menang, pasukan bersenjata yang mereka susun mampu mempertahankan keberadaannya, berkembang, dan melanjutkan perang tani yang awet. Ini dimungkinkan karena keterlibatan mendalam PKT dalam mengorganisir dan melatih kaum tani, termasuk keterbelakangan perekonomian dan keadaan geografis tertentu lainnya (luasnya negeri dan ketiadaan alat komunikasi). Faktor lain termasuk keputusasaan kaum tani dan ketidak-becusan pemerintahan borjuis.

Selanjutnya, ketika Chiang Kai-shek mendapat banyak bantuan militer berkualitas dari imperialisme, tentara kaum tani PKT dipaksa kabur dari Selatan ke Utara China, dan bahkan menyerah kepada pemerintahan Chiang dengan membatalkan kebijakan agrarianya dan membubarkan “Tentara Merah” dan Soviet-soviet.

Namun, akibat pecahnya perang melawan imperialisme Jepang — pasukan bersenjata ini mengamankan peluang bagi perkembangan luar biasa. Khususnya, pada akhir perang dan tepat sesudahnya, tentara ini mengalami perkembangan hebat baik dalam jumlah dan kualitas, menjadi jauh lebih tangguh dibanding masa-masa Kiangsi [Jiāngxī]. Tentara ini lalu tumbuh menjadi angkatan militer tangguh.

Secara politik, PKT selalu berayun di antara petualangisme dan oportunisme: ia membatalkan revolusi agrarianya dan membubarkan “Tentara Merah” dan Soviet-soviet menjelang Perang Perlawanan; berkolaborasi bagai budak dengan Kuomintang dan mendukung kepemimpinan Chiang Kai-shek selama perang. Namun terlepas semua ini, ia juga meneruskan periode panjang perlawanan terhadap pemerintahan Chiang. Ia membuat kritikan politik, ekonomi dan langkah militer tertentu terhadap Chiang selama perang, dan telah mengajukan sejumlah tuntutan reforma demokratis. Ia meneruskan reforma agraria, terutamanya di sejumlah wilayah Utara China. Tambah lagi ia didorong oleh wibawa tradisi revolusi Oktober di URSS, juga oleh catatan gemilang Uni Soviet dalam perang dunia barusan dan kedudukan berpengaruhnya semenjak perang berakhir.

Di sisi lain, rakyat jelata telah berputus asa dan amat membenci penindasan dan pengisapan tak tertahankan rezim zalim, busuk, dan tak efisien Chiang. Di tengah kekosongan partai yang kuat dan betul-betul revolusioner untuk memimpin kaum terpelajar dan massa kaum tani borjuis kecil khususnya, menaruh segenap harapan kepada PKT. Inilah sumber daya modal politis PKT. Modal politis ini, ditambah pasukan kaum tani bersenjata, menyusun kebolehan subjektif partai. Namun tanpa bantuan dari Uni Soviet, kemenangan ini masih tidak akan dapat dipastikan.

D. Bantuan dari Uni Soviet

Meski birokrasi Soviet takut akan kemenangan revolusi sejati kelas pekerja sebagai kepala dari massa kaum tani di China, dan terlepas dari kebijakan luar negerinya mengupayakan kompromi dengan imperialisme Amerika, demi melindungi privilesenya sendiri dan melawan ancaman imperialisme Amerika — ia tidak akan menolak memberikan PKT sejumlah bantuan, dalam acuan percobaan mereka untuk mengendalikan PKT. Oleh itu, di samping bantuannya dalam agitasi politik, Uni Soviet memang memberikan PKT bantuan material penting. Pendudukan Soviet atas Manchuria (salah satu pusat industri berat terbesar di China, dibangun selama beberapa dekade pendudukan Jepang, dan wilayah dengan produksi pedesaan tertinggi), dengan populasinya tiga puluh juta, secara objektif melayangkan pukulan mematikan kepada pemerintahan Chiang.

Meski faktanya Uni Soviet telah mengakui rezim Chiang sebagai pemerintahan resmi, dan telah menyerahkan kepadanya mayoritas perkotaan dan pertambangan di Manchuria, birokrasi Soviet telah menghancurkan semua mesin-mesin pabrik dan pertambangan yang paling penting. (Ia juga mengambil sebagiannya.) Sehingga industri menjadi hampir sepenuhnya lumpuh. Sementara itu, melalui kendalinya atas dua pelabuhan —Dairen [Dàlián] dan Port Arthur [Lǚshùnkǒu]— ia memblokade jalur utama komunikasi pemerintahan Chiang dengan Manchuria dan melarang perdagangan dan perniagaannya, terutama transportasi pasokan kepada tentara yang ditempatkan di Manchuria.

Di sisi lain, ia mempersenjatai pasukan PKT dengan banyak senjata ringan dan berat rampasan dari serdadu Jepang. (Diperkirakan persenjataan ini dapat dipakai mempersenjatai sejuta prajurit.) Ini memungkinkan PKT menduduki desa-desa, kota dan kota-kota kecil, dan mengepung kota besar serta distrik pertambangan di mana tentara Chiang ditempatkan. Sehingga kota-kota dan pertambangan yang dikembalikan kepada Chiang Kai-shek tidak berguna, dan malah menjadi beban, dan akhirnya menjadi perangkap. Awalnya, Chiang perlu mengirim banyak pasukan (sekitar setengah juta prajurit) dengan perlengkapan terbaik, yaitu senjata Amerika, untuk bersiaga. Serentak, KMT perlu mengadakan pengeluaran yang besar di kota-kota besar dan pertambangan. Akibatnya, hal ini sangat membatasi dan mencerai-berai angkatan militer Chiang dan mempercepat kebangkrutan finansial rezimnya.

Persenjataan yang dirampas dari tawanan Jepang oleh Uni Soviet berfungsi untuk membangun tentara PKT dan menghasilkan dampak penting bagi aparat dan strategi militer Máo Zédōng. (Contohnya, Divisi Keempat Lín Biāo yang kesohor dan tangguh dipersenjatai semuanya dari persenjataan ini.) Kita mesti pahami bahwa meski jumlahnya yang besar, pasukan kaum tani bersenjata PKT awalnya tidak hanya sangat terbelakang tetapi juga memiliki sangat sedikit perlengkapan, terutamanya senjata berat. Dengan memperoleh jumlah berlimpah senjata ringan dan berat ini melalui perantara Uni Soviet (ditambah ramainya teknisi militer Soviet dan Jepang), sebagian prajurit kaum tani yang awalnya sangat terbelakang dimodernisasi dalam semalam.

Keberanian kaum tani dan dan ketangkasan militer para jenderal Komunis, beserta persenjataan modern ini, kemudian memungkinkan tentara Komunis mengubah peperangan gerilya menjadi peperangan wilayah. Hal ini diwujudkan sepenuhnya dalam pertempuran di mana pasukan Komunis meraih kemenangan penuh dalam menaklukkan kota-kota besar dan pertambangan di Manchuria selama peralihan musim gugur dan dingin pada 1949. (Termasuk di Chángchūn, Mukden [Shěnyáng], Chinchou [Jǐnzhōu], dan distrik pertambangan besar, Tiehling [Tiě-lǐng], Benchi [Běnxī], dan Ānshān.) Kemenangan ini memberikan tentara Komunis landasan ekonomi yang cukup. Selebihnya, karena pasukan berperlengkapan terbaik Chiang (sekitar 80 persennya berperlengkapan Amerika) dihancurkan, artinya bahwa pada bidang militer sebagian besar perlengkapan Amerika ini tidak lagi berdampak.

Sejak tentara Komunis memiliki persenjataan dan teknisi modern, beserta persenjataan Jepang yang diserahkan oleh Uni Soviet, hal itu memungkinkan PKT untuk mengubah relasi kekuatan-kekuatan terhadap pasukan Chian yang sebelumnya tidak menguntungkan dalam lingkup perlengkapan dan teknik militer menjadi luar biasa mengunggulinya. Selanjutnya sikap strategis tentara Komunis pada pokoknya berubah, beralih dari peperangan gerilya menjadi peperangan wilayah dan menyerang terhadap kota-kota besar. Tidak diragukan perubahan ini adalah faktor penentu kemenangan PKT sebagaimana sejauh ini ia hanya bergantung kepada pasukan kaum tani bersenjata untuk menaklukkan kota-kota.

Dari fakta-fakta di atas kita dapat simpulkan gambaran jelas berikut: rezim borjuis-tuan tanah Chiang Kai-shek runtuh secara total, baik pada bidang perekonomian dan politik dan dalam organisasi militernya. Penyokong satu-satunya, imperialisme Amerika, pada akhirnya meninggalkannya. tentara kaum tani PKT, secara umum memenangkan dukungan kaum tani dan borjuis kecil, dan terutamanya memperoleh bantuan militer dari Uni Soviet, telah menjadi tentara raksasa dan kurang lebih dimodernisasi. Gabungan dari segenap faktor objektif dan subjektif ini membuka jalan bagi kemenangan luar biasa ini.
Jika kita beri gambaran ringkas perkembangan kemenangan militer ini, kebenaran fakta-fakta di atas ini dapat membuatnya lebih gamblang. Bermula dengan diluncurkannya “serangan balasan habis-habisan” oleh tentara Komunis pada musim gugur 1948, dalam rangkaian pertempuran di Timur-Laut, kecuali pertempuran sengit di Jinzhou, kota-kota besar lain, seperti Changchun, Mukden, dll., ditaklukan tanpa pertempuran akibat menyerahnya atau rontoknya tentara Chiang pada wilayah pertahanan mereka. Sementara bagi kota-kota besar dan pangkalan militer penting di utara Sungai Panjang, kecuali bagi pertempuran di Chuchao [Cháozhōu] dan Paotow [Bāotóu], lainnya seperti Tsinan [Jǐnán], Tientsin [Tiānjīn], Peiping [Běijīng], Kāifēng, Chengchou [Zhèngzhōu], Sian [Xī'ān], dll., diserahkan baik karena pemberontakan tentara di sana (Tsinan), atau menyerah (Peiping), atau pembelotan seperti di Tientsin, Kaifeng, Chengchou, dan Sian. Di Barat-Laut, di provinsi Kansu [Gānsù] dan Sinkiang [Xīnjiāng], menyerah begitu saja. Di kota Taiyuan, terdapat pertempuran yang relatif lama, tetapi hal ini tidak berarti apa-apa bagi keadaan keseluruhan. Sementara kota-kota besar di selatan sungai ini, kecuali bagi gerak perlawanan di Shànghǎi, lainnya langsung menyerah baik sebelum (Nanking [Nánjīng], Hangchow [Hángzhōu], Hankow [Hànkǒu/Wǔhàn], Nánchāng, Fuchow [Fúzhōu], Kweilin [Guìlín], and Kanton [Guǎngzhōu]) atau sesudah sampainya tentara Komunis (seperti di provinsi Húnán, Szechuan [Sìchuān], dan Yúnnán).

Sesudah itu, setelah menyeberangi Sungai Panjang, tentara Máo Zédōng berarak segera ke Kanton seolah-olah melalui “tanah tak bertuan,” sementara sisa-sisa pasukan Chiang menyerah atau bersurut dan kabur. Oleh itu terjadi situasi ganjil di mana “Tentara Pembebasan” tidak menaklukkan melainkan mengambil alih kota-kota. Dari proses militer konkret ini, orang dapat melihat jelas tingkat keruntuhan besar-besaran rezim Chiang Kai-shek dan keadaan istimewa bagaimana kemenangan tentara kaum tani PKT terjadi.

Kini kita dapat memahami bahwa di bawah keadaan khusus tahap bersejarah menentukan ini — PKT yang mengandalkan tentara kaum tani yang terisolir dari kelas buruh perkotaan dapat meraih kekuasaan dari kekuasaan borjuis-tuan tanah Chiang Kai-shek. Ini merupakan gabungan beberapa situasi rumit dan istimewa yang muncul dari Perang Dunia Kedua. Corak-corak intisari serangkaian perkara ini seperti berikut:

Seluruh dunia kapitalis —di mana China adalah rantai terlemahnya— cenderung mengalami kemerosotan dan pembusukan tak terbayangkan. Keruntuhan internal rezim borjuis Chiang Kai-shek hanyalah perwujudan paling sempurna kemunduran seluruh sistem kapitalis. Di sisi lain, birokrasi Soviet, yang bercokol atas hubungan hak milik yang dimilik-bersamakan dari revolusi Oktober dan memanfaatkan pertentangan di kalangan kekuatan imperialis, mampu meraih perluasan pengaruhnya yang belum pernah ada sebelumnya selama Perang Dunia Kedua. Perluasan ini benar-benar memikat massa rakyat, terutamanya negeri-negeri terbelakang di Asia, yang direnggut harapannya di bawah kemerosotan dan pembusukan parah sistem kapitalis. Hal ini meringankan ledakan pertumbuhan partai-partai Stalinis di negeri-negeri ini. PKT tepatnya adalah teladan mutakhir partai-partai Stalinis ini.

Sementara itu, tersangkut pada kedudukan yang tidak menguntungkan dalam situasi internasional yang tercipta dari Perang Dunia Kedua, imperialisme Amerika terpaksa menghentikan bantuannya kepada Chiang dan campur tangannya dengan Mao. Serentak, Uni Soviet yang telah mengamankan kedudukan unggul di Manchuria pada akhir perang, menimbulkan kerusakan parah bagi pemerintahan Chiang dan menawarkan bantuan langsung kepada PKT. Ini memungkinkan yang disebut akhir memodernisasi tentara kaum taninya yang kuno. Tanpa gabungan keadaan ini, kemenangan partai seperti PKT, yang semata-mata mengandalkan pada angkatan kaum tani, tidak akan terbayangkan.

Misalnya, jika Manchuria tidak diduduki oleh Uni Soviet tetapi sepenuhnya jatuh ke bawah kendali Chiang, Chiang Kai-shek akan menggunakan sumber daya ekonomi dan persenjataan Jepang di Manchuria untuk memutus jaringan langsung antara PKT dan Uni Soviet. Ini akan menghadang bantuan senjata URSS kepada PKT. Sama halnya apabila campur tangan langsung terhadap PKT oleh imperialisme Amerika dimungkinkan situasinya akan sedikit berbeda. Di bawah salah satu dari dua kemungkinan ini kemenangan Máo Zédōng menjadi sangat meragukan.

Membahas hal ini dari sisi lain, kita dapat mengingat kekalahan tentara kaum tani PKT di periode Kiangsi, 1930-35, ketika kekuatan borjuis KMT sangat kokoh sebagai hasil dari bantuan ajeg dari imperialisme, sementara PKT terisolir dari Uni Soviet. Dari sini kita juga dapat menarik cukup alasan untuk membenarkan kesimpulan bahwa kemenangan PKT hari ini adalah hasil menyeluruh dari keadaan khusus akibat Perang Dunia Kedua.

Trotsky dan para Trotskyis Tiongkok bersikeras bahwa penggulingan rezim Kuomintang tidak dapat tercapai semata-mata dengan mengandalkan pasukan kaum tani bersenjata, tetapi hanya dapat diselesaikan oleh kelas buruh perkotaan yang memimpin massa kaum tani dalam serangkaian pemberontakan. Bahkan sekarang, konsepsi ini masih sepenuhnya valid. Hal ini ditarik dari teori pokok Marxis bahwa di bawah sistem kapitalis modern —termasuk di negeri-negeri terbelakang— kelas perkotaan lah yang memimpin massa pedesaan. Ini juga merupakan simpulan dari banyak pengalaman, terutamanya revolusi Oktober. Inilah salah satu konsepsi pokok revolusi permanen, yang perlu kita pegang teguh terlepas kemenangan PKT ini.

Mari kita ambil India sebagai contoh. Di sana kita perlu bersikeras pada pandangan bahwa kelas buruh India memimpin massa kaum tani dalam penggulingan Partai Kongres yang didominasi kekuatan borjuis. Hanya proses ini yang dapat menjamin negeri terbelakang ini akan mengambil arah emansipasi dan perkembangan sejati, yaitu perubahan permanen dari revolusi demokratik ke revolusi sosialis.

Kita tidak mampu meramalkan kemenangan PKT ini untuk alasan yang sama bahwa Trotsky dan kita para Trotskyis tidak mampu memprediksi dahulu perluasan luar biasa yang Stalinisme alami setelah Perang Dunia Kedua. Pada kedua kasus ini kesalahan kita bukanlah pada prinsip. Melainkan, karena kita terlalu bertumpu pada prinsip, kita kurang lebih mengabaikan keterlibatan keadaan khusus dalam berlangsungnya peristiwa dan tidak mampu mengubah taktik kita tepat waktu. Tentu ada pelajaran dari sini, pelajaran yang harus kita cerna dan terapkan dalam analisis perkembangan ke depan di negeri-negeri Asia itu di mana partai-partai Stalinis menjaga pengaruh kuatnya (seperti Vietnam, Burma, dll.). Hal itu akan menolong kita merumuskan dahulu strategi tepat.

Serentak, kita harus memahami bahwa kemenangan yang dicapai oleh partai seperti PKT, yang menanggalkan dirinya dari kelas buruh dan mengandalkan sepenuhnya kepada pasukan kaum tani bersenjata, tidak hanya sendirinya ganjil. Ia juga menelurkan banyak rintangan dalam rintisan perkembangan gerakan revolusioner Tiongkok ke depan. Hemat saya, memahami hal ini adalah sangat penting dalam pertimbangan dan perkiraan kita atas seluruh gerakan yang dipimpin PKT juga dalam menentukan strategi dan taktik kita.

Adakah perebutan kekuatan PKT hasil dari “tekanan massa,” dan bertentangan dengan tujuan Kremlin?

Beberapa kamerad di Internasionale, tanpa akrab dengan proses konkret dan keadaan khusus peristiwa di China, telah menekankan khususnya faktor “tekanan massa,” atau menafsirkan kemenangan PKT dengan membuat padanan dengan peristiwa Yugoslavia. Contohnya, Kamerad Germain berkata:

“Gerakan kita biasanya membayangkan penyingkiran Stalinisme oleh massa rakyat sebagai hal yang melibatkan perpecahan besar di dalam partai-partai Komunis. Contoh Yugoslavia dan Tiongkok telah menunjukkan itu, bertempat pada situasi luar biasa tertentu, seluruh partai-partai Komunis bisa mengubah garis politik mereka dan memimpin perjuangan massa sampai ke perebutan kekuasaan, sambil melampaui tujuan Kremlin. Di bawah situasi begini, partai-partai ini tidak lagi jadi partai-partai Stalinis dalam pengertian klasiknya.”

Gagasan termuat dalam kutipan ini jelas-jelas sebagai berikut: PKT berhasil menaklukkan kekuasaan, seperti PK Yugoslavia, di bawah tekanan dari massa rakyat, dan bertentangan dengan tujuan Kremlin. Sayangnya, padanan yang “biasanya dibayangkan” ini sukar dibenarkan dengan fakta-fakta peristiwa Tiongkok. Mari pertama-tama kita mulai dengan fakta ini.

Terkait jalinan antara PKT dan massa rakyat —termasuk hubungannya dengan “tekanan massa”— saya tidak akan melacak fakta dari sebelum dan selama perang lawan Jepang. Bagaimanapun, dengan begitu juga akan menunjukkan sepenuhnya berapa sering PKT mengingkari kemauan massa dan mengabaikan “tekanan massa.” Saya akan mulai dari periode akhir perang.

Periode pertama segera setelah perang, dari September 1945 sampai akhir 1946, menandai kebangkitan dan pertumbuhan besar gerakan massa di China. Pada periode ini kelas buruh di semua kota-kota besar, dengan Shànghǎi di baris terdepan, pertama sekali mengajukan tuntutan mereka untuk kenaikan progresif pengupahan, hak membentuk serikat pekerja, menolak pembekuan upah, dll. Mereka bersama-sama dan terus-menerus melakukan pemogokan dan unjuk rasa. Pada pokoknya perjuangan ini tidak melampaui kerangka ekonomi, atau meluas secara nasional. Namun setidaknya ini membuktikan bahwa setelah perang para buruh telah bangkit dan berjuang teguh untuk meningkatkan kondisi hidup mereka dan secara umum menentang kaum borjuasi dan pemerintahan reaksionernya. Gerakan ini sungguh meraih keberhasilan besar. Tidak diragukan ini merupakan ungkapan kebangkitan baru gerakan buruh Tiongkok.

Sementara itu, di kalangan massa kaum tani, di bawah beban tak tertahankan sumbangan wajib, cukai barang, wajib militer, dan ancaman kelaparan, tumpukan kebencian sedang mendidih. Beberapa gangguan telah mulai terjadi di wilayah-wilayah kekuasaan pemerintahan Chiang.

Kaum pelajar memainkan peran penting, mewakili borjuis kecil pada umumnya, dalam protes, pemogokan, dan unjuk rasa berskala besar di kota-kota besar. Ini terjadi di Chungking [Chóngqìng], Kūnmíng, Nanking [Nánjīng], Shànghǎi, Canton [Guǎngzhōu], Peiping [Běijīng], dll., di bawah panji dan seruan menuntut demokrasi dan perdamaian, menentang kediktatoran Kuomintang, menentang mobilisasi untuk perang sipil, dan menentang pemburuan oleh agen-agen KMT.

Di sisi lain, ketik pemerintahan Chiang kembali ke “daerah-daerah yang dipulihkan,” ia menampakkan korupsi dan ketidakefisienan parahnya sendiri dalam administrasi dan menaikkan kebencian hebat di kalangan rakyat. Ia sudah terlihat goyah. Kekuasaannya tidak meluas ke China Utara untuk beberapa periode waktu, terutama Manchuria. (Baru pada awal Maret 1946 saat Uni Soviet mulai perlahan menyerahkan kota-kota besar seperti Mukden [Shěnyáng] dan Chángchūn dan pertambangan penting kepada pemerintahan Chiang.)

Selama periode yang sama kekuatan militer dan pengaruh politik PKT di kalangan massa tumbuh pesat. Perjuangan buruh, menggunungnya kebencian dan pemberontakan di kalangan kaum tani, dan penyebaran unjuk rasa oleh kaum pelajar, dibarengi dengan korupsi dan goyahnya rezim Chiang dan penguatan PKT, sederhananya menciptakan keadaan pra-revolusioner.

Jika PKT saat itu mampu membersamai dengan situasi, yaitu, menerima “tekanan massa,” ia sudah akan mengangkat seruan untuk menggulingkan pemerintahan Chiang Kai-shek (yaitu seruan untuk merebut kekuasaan). Ia akan menyatukan seruan ini dengan tuntutan lain untuk reforma demokrasi, terutama tuntutan revolusi agraria. Dan ia akan mampu dengan gesit mengubah situasi pra-revolusioner ini, meneruskan sampai insureksi, dengan begitu sampai pada perebutan kekuasaan dengan cara yang paling tepat.

Namun sayangnya, garis politik pokok yang dianut PKT pada periode ini sedikit berbeda. Bertentangan dengan apa yang seharusnya ia lakukan —memobilisir massa dalam perebutan kekuasaan di bawah seruan menggulingkan pemerintahan Chiang dan reforma agraria— ia menjilat Chiang Kai-shek dan memohon pembentukan “pemerintahan koalisi.” (Demi tujuan ini Mao terbang ke Chungking berunding langsung dengan Chiang, dan bahkan secara terbuka mengungkapkan dukungan kepadanya dalam rapat-rapat akbar.) PKT mencoba sebisanya menarik lapisan atas politisi kaum borjuasi dan borjuasi kecil bersama-sama demi meneruskan rundingan damai di bawah sokongan imperialisme Amerika.

Terkait perjuangan ekonomi buruh, bukan saja PKT tidak menawarkan arahan positif apapun untuk mengubahnya menjadi perjuangan politik, yang cukup memungkinkan saat itu, tetapi sebaliknya, demi meraih “front bersatu” dengan “borjuasi nasional,” ia membujuk massa buruh agar tidak bertindak “keras” dalam perseteruannya. Terlebih, ia bersikap patuh dengan para pemimpin “serikat-serikat buruh kuning” guna menandai tuntutan “berlebih” para buruh.

Kegiatan PKT di pedesaan terbatas semata-mata mengorganisir gerilya, sementara ia menghindari gerakan massa luas dengan segala cara yang akan memberanikan dan menyatukan massa kaum tani. Gerakan hebat kaum pelajar di kota-kota ditangani bagai alat sederhana untuk mengerahkan tekanan kepada pemerintahan Kuomintang untuk menerima rundingan damai. Tidak pernah ia kaitkan dengan pemogokan buruh dalam perjuangan bersama menentang kekuasaan Chiang Kai-shek.

Namun, pada Mei 1946 dalam menanggapi lanjutan serangan militer KMT, PKT mengumumkan bahwa ia telah memulai reforma agraria di daerah-daerah tertentu di bawah kendalinya. Ini berfungsi untuk memperkuat kedudukan militer PKT. Bahkan saat itu, reforma lahan ini sama sekali tidak tuntas. Ia kebanyakannya berbentuk kompromi dengan para tuan tanah dan petani kaya, menyelamatkan semua “hak milik industri dan komersil” mereka dan membolehkan mereka mendapat tanah terbaik dan terluas. Ia juga cukup terbatar dalam cakupan. Contohnya, tiada reforma lahan diperkenankan di daerah kekuasaan PKT di provinsi Shantung [Shāndōng], Kiangsu [Jiāngsū], Hopeh [Hébĕi] dan Honan [Hénán].

Apalagi dalam kekhawatirannya mencapai persetujuannya dengan Chiang Kai-shek, PKT membubarkan tentara kaum tani di Kwangtung [Guǎngdōng] dan Chekiang [Zhèjiāng], dan mencopot hanya sebagiannya ke China Utara. Ini menyebabkan ketidakpuasan hebat di kalangan jajaran anggota dalam partai itu sendiri.

Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa kebijakan PKT bukan saja tidak tunduk pada “tekanan massa,” tetapi secara sepihak mengambil arah bertentangan dari kemauan dan tuntutan massa.

Pada bagiannya, Chiang Kai-shek memanfaatkan waktu selama konferensi perdamaian untuk memindahkan tentaranya, dengan bantuan pesawat dan kapal tempur AS, dari pedalaman ke kota-kota besar dan pangkalan strategis di “daerah-daerah yang dipulihkan.” Dia menguatkan kedudukannya dan mempersiapkan serangan bersenjata atas PKT. Sementara itu, dia menindas setiap gerakan massa yang baru bangkit, terutamanya gerakan kaum pelajar. Pada ujung 1946; ketika segenap persiapan selesai, pemerintahan Chiang terang-terangan menutup segenap pintu kompromi dan rundingan damai dengan mengadakan “majelis nasional”-nya sendiri dan membentuk “pemerintahan konstituante”-nya sendiri, yang menunjukkan tekadnya menolak pembentukan pemerintahan koalisi dengan PKT.

Mengikuti jejak ini, KMT mengerahkan serangan militer hebat —seperti penaklukkan Chang-chia-k’ou [Zhāngjiākǒu di Hébĕi] dan beberapa kota kecil dan kotamadya di utara Kiangsu. Namun sampai ketika ini PKT tidak menyurutkan upaya persetujuannya. Para perwakilannya ke konferensi perdamaian masih bertahan di Shànghǎi dan Nanking, mencoba membuka lagi rundingan damai dengan KMT melalui perantara yang kononnya pihak ketiga—Liga Demokratik.

Segera, ketika Chiang Kai-shek mengusir perwakilan perdamaian PKT (Maret 1947) dan berhasil menduduki Yenan [Yán'ān], ibukota dan bentengnya (April 1947), PKT baru menyadari kesia-siaan percobaan ini dan baru kemudian ia menghimpun pasukannya untuk pertahanan militer. Namun bahkan kala itu, ia masih tidak berani mengangkat seruan penggulingan pemerintahan Kuomintang. Tidak pula ia tawarkan program reforma agraria untuk memobilisir massa.

Bahkan ketika pemerintahan Chiang mengumumkan “perintah” untuk penangkapan Máo Zédōng (25 Juni 1947) dan menyebarluaskan “dekrit mobilisasi pemberantasan pemberontakan” (4 Juli), PKT menanggapinya dengan beberapa bulan keraguan (ketika itu ia tampaknya menanti instruksi dari Moskwa). Akhirnya pada 10 Oktober, ia mengumumkan manifestonya atas nama “Tentara Pembebasan Rakyat” yang terang-terangan menyerukan penggulingan Chiang Kai-shek dan pendirian “Tiongkok Baru.” Pada waktu itu ia juga sekali lagi menghidupkan “hukum agraria”-nya, mengarahkan perampasan lahan-lahan para tuan tanah dan petani kaya dan membagi-bagikannya kepada kaum tani tanpa lahan atau yang kekurangan lahan. (Namun “usaha industri dan komersil” tetap tak disentuh).

Ini sebuah perubahan berarti dalam kebijakan PKT dari seluruh periode sejak ia menyatakan dukungannya kepada rezim Chiang dan meninggalkan reforma lahan pada 1937. Peralihan kebijakan ini menandai perubahan pokok dalam jalinan PKT terhadap pemerintahan Chiang.

Adakah perubahan ini ketika itu ialah hasil tekanan massa? Tentu saja tidak. Gerakan massa telah dilindas dengan bengis oleh rezim Chiang dan sesungguhnya surut sangat rendah. Dengan agen-agen KMT aktif di mana-mana, riban pelajar muda ditangkap, disiksa, dan bahkan dibunuh, dan kaum buruh militan terus-terusan ditangkap dan diburu. Fakta tak terbantahkan ini menunjukkan bahwa PKT dipaksa membuat perubahan ini semata-mata karena Chiang telah membakar semua jembatan menuju kompromi dan karena ia dihadapkan dengan ancaman serangan ganas mematikan yang dirancang untuk memberantas pengaruhnya sekaligus. Jadi kita bisa katakan bahwa peralihan ini adalah hasil dari tekanan Chiang alih-alih tekanan massa.

Demi mempersenjatai diri untuk serangan bali; PKT mulai mengambil “belokan ke kiri” pada bidang politik. Baru sejak itu ia mulai memberi kelonggaran bagi tuntutan-tuntutan massa, atau tunduk kepada “tekanan massa.” Khususnya ia mengabulkan tuntutan-tuntutan massa kaum tani di daerah-daerah kekuasaannya, dengan tujuan memulihkan dan memperkuat kekuatan militernya.

Karenanya, sejak November 1947 sampai musim semi, ia memulakan perjuangan bersama “membenahi penyimpangan Kanan” di daerah-daerah di mana reforma lahan dikerjakan. Pada jalannya perjuangan ini, PKT mencabut semua privilese yang sebelumnya dihadiahkan kepada para tuan tanah dan kulak, dan merampas ulang dan membagikan tanah di kalangan kaum tani miskin. Ia juga mencabut jabatan-jabatan yang dipegang para tuan tanah dan kulak di administrasi lokal, partai, dan ketentaraan. (Sebagai hasil dari kebijakan kompromi terdahulu, sejumlah besar tuan tanah dan kulak telah tergabung dalam partai dan ketentaraannya, dan bahkan menduduki jabatan-jabatan penting tertentu.)

“Komite Kaum Tani Miskin” dibentuk dan diberikan beberapa hak demokratis, membolehkan mereka melawan langsung para tuan tanah dan kulak. Bahkan mereka diperbolehkan mengkritisi kader partai pangkat rendah, beberapanya dicopot dari jabatan dan dihukum. Tindakan ini secara keseluruhan cukup berhasil memenangkan banyak dukungan dari massa kaum tani dan memperteguh pasukan militer anti-Chiang PKT besar-besaran. Namun kita tidak boleh lupakan bahwa kebijakan “kekirian” ini diambil sebagai reaksi atas tekanan dari Chiang.

Terkait hubungan PKT dengan Kremlin, saya cuma bisa menawarkan gambaran beberapa belokan bersejarah penting. Setelah kekalahan mematikan revolusi Tiongkok kedua, ketika Kremlin menukar kebijakannya dari oportunisme ultrakanan ke petualangisme ultrakiri (kononnya periode ketiga dalam garis umum internasionalnya), kepemimpinan PKT mengikuti telapak Kremlin tanpa ragu. Menutup mata mereka atas kerusakan partai paling parah dikarenakan belokan ini, dan tuli atas kritikan tajam dan tanpa henti dari Trotsky dan Oposisi Kiri Tiongkok, badan kepemimpinan meneruskan kebijakan petualangan ini dan tersangkut dalam perjuangan nekat “membangun Soviet dan Tentara Merah” di pedesaan tandus dan terpencil. Ini dilakukan tanpa jaringan apapun dengan gerakan kaum buruh perkotaan, dan dalam iklim kemenangan dan kestabilan borjuis yang umumnya kontra-revolusioner.

Ketika itu “Tentara Merah” di China telah diusir dari Selatan dan kabur ke Yenan di Utara, terancam oleh kemenangan Hitler, Kremlin berbelok dari “periode ketiga” dan berbalik ke arah oportunisme ultrakanan. Ini membuka periode pembangunan yang kononnya Front Demokratik dan Front Damai. Seperti sebelumnya PKT turut terang-terangan menganjurkan Front Rakyat atau Front Pertahanan Nasional menyesuaikan dirinya dengan belokan Kremlin ini, dan mengulangi rayuannya demi kolaborasi dengan Kuomintang.

Salah satu contohnya ialah reaksi PKT ketika Chang Hsueh-liang, panglima tertinggi ekspedisi Kuomintang kala itu, menangkap Chiang Kai-shek di Sian di bawah “tekanan massa,” terutamanya tekanan dari para prajurit dan pejabat rendahnya, yang semuanya ialah orang Manchuria yang menaruh kebencian pahit terhadap Chiang karena “nirpertahanan”-nya selama serangan Jepang atas Manchuria yang menjadikan mereka gelandangan. Kejadian ini menggugah suka cita dan harapan di seluruh negeri, terutamanya di kalangan anggota PKT. Seiring tersebarnya berita ini seluruh rakyat ada pada puncak kegembiraan dan hasrat, mengingat si jagal yang kontra-revolusioner ini akhirnya lengser dan sebuah era baru telah tiba.

Namun yang mengejutkan semua orang, PKT tanpa melawan — mematuhi arahan Kremlin, menyeru dan memaksa Chang Hsueh-liang membebaskan Chiang Kai-shek, si pemimpin penjagal revolusi kedua dan musuh bebuyutan Mao selama delapan tahun perang sipil.[1] Inilah harga yang dibayarkan agar Chiang menyetujui kolaborasi baru demi “perang bersama melawan Jepang”! (Dan ini dengan syarat bahwa PKT membatalkan reforma agraria dan membubarkan “soviet-soviet” dan “Tentara Merah.”)

Ketaatan luar biasa kepemimpinan Komunis bagaikan budak ini terhadap Kremlin tidak saja menumpuk ketidakpuasan di kalangan rakyat pada umumnya, tetapi juga menyebabkan kekecewaan dan goncangan besar di kalangan anggota sendiri dan pendukungnya. Setelah perang, upaya nekat PKT untuk patuh membuntuti kebijakan kompromi dan damai dengan Chiang, mengabaikan kemauan massa sepenuhnya, adalah fakta terbaru untuk menunjukkan bahwa ia sepenuhnya berada di bawah arahan Kremlin. Kebijakannya tunduk sepenuhnya pada kebijakan luar negeri Moskwa, yang bertujuan mencari kompromi dengan imperialisme Amerika.

Belakangan, “belokan besar” kebijakan PKT, dari kompromi dengan Chiang hingga desakan penggulingannya, turut sejalan dengan belokan kebijakan luar negeri Kremlin. Setelah gagal mencapai komprominya dengan imperialisme Amerika, Moskwa berbelok ke strategi bertahan akibat perang dingin. Pengambilan waktu “belokan besar” PKT pada Oktober 1947 bertepatan mengikuti pembentukan Kominform di bawah arahan Kremlin pada September tahun itu. Ini bukan cuma kebetulan dan sudah cukup membuktikan bahwa belokan PKT sepenuhnya tepat di bawah arahan Moskwa, jauh dari melanggar tujuan Kremlin.

Beberapa kamerad di Internasionale telah mengutip fakta-fakta tertentu terkait terisolirnya PKT dari Moskwa selama Perang Perlawanan, guna membenarkan teori bahwa belokan terbaru dalam kebijakan PKT merupakan pelanggaran arahan Kremlin. Namun “fakta” ini malah berkebalikan dari fakta sebenarnya. Sebelum perang, agen Kremlin tinggal permanen di Yenan (sembunyi-sembunyi), dan terdapat komunikasi radio rutin antara Yenan dan Moskwa. Setelah perang, Uni Soviet mengirimkan duta besarnya ke Chungking [Chóngqìng], ditemani agen rahasianya, sehingga ia dapat terang-terangan dan legal mendirikan kontak rutin dengan perwakilan dan agen khusus Komunis Tiongkok di Chungking, mengirimkan berita dan instruksi. Oleh itu kita memiliki cukup alasan untuk mengatakan bahwa jaringan antara PKT dan Kremlin bukan hanya tidak terputus selama perang, tetapi malah semakin erat dari sebelumnya. Fakta ini jelas terungkap di semua koran-koran dan dokumen PKT periode itu, yang segera menggemakan semua propaganda dan posisi strategis Moskwa. Sedangkan pada pasca perang, sejak pendudukan Soviet atas Manchuria, dan dengan banyak perwakilan Soviet bekerja di dalam PKT dan ketentaraannya, kedekatan antara Moskwa dan PKT jadi terlalu terang bagi penjelasan lebih jauh.

Mengingat fakta-fakta di atas, bila menempatkan partai di Tiongkok dan di Yugoslavia pada bidang yang sama dan menganggap perebutan kekuasaan oleh PKT sebagai hasil “tekanan massa” yang serupa dan membangkang arahan Kremlin maka sangat terang sudah mekanis dan menyesatkan. Jika kita buat perbandingan kebijakan dan tindakan yang diambil oleh PKY dengan PKT selama peristiwa tersebut, jarak antara keduanya bahkan akan jadi lebih ketara.

Dalam perjalanan gerakan pembebasan nasional anti-imperialis selama 1941-45, selangkah demi selangkah PKY sudah menghancurkan rezim borjuis-tuan tanah, dan menyempurnakan kediktatoran proletarnya pada periode pertama pasca perang (Oktober 1945), terlepas wataknya yang agak ganjil. Berbarengan atau sedikit sesudah pembentukan kediktatoran proletarnya (1945-46), ia berhasil melanjutkan reforma agrarianya dan menasionalisasi industri dan perbankan, dan merampas hak milik pribadi secara hukum. Sementara itu, pada banyak masalah penting, PKY telah merumuskan pandangannya sendiri, yang berbeda dan mandiri dari Kremlin. Ia menempuh jalannya menyesuaikan pengalamannya sendiri, yaitu, ia tunduk secara empiris pada tekanan massa menentang tujuan Kremlin.[2]

Namun PKT bukan saja secara erat membuntuti kebijakan luar negeri Kremlin selama gerakan pembebasan nasional melawan imperialisme Jepang, dan mengabdikan dirinya mengupayakan kompromi dengan rezim borjuis-tuan tanah terlepas dari tekanan massa; tetapi bahkan sesudah ia merebut kekuasaan penuh, ia bersikeras membentuk “pemerintahan koalisi” dengan kaum borjuasi nasional dan menjamin perlindungan atas hak milik mereka. Ia bahkan mencoba menunda pelaksanaan reforma lahan sampai tanggal yang paling lambat. Di sini kita harus mencatat bahwa perbedaan sikap yang diungkapkan oleh PKY dan PKT selama peristiwa tersebut tidak bersifat kuantitatif, melainkan kualitatif. Oleh itu, bila mengasumsikan bahwa PKT telah menyelesaikan proses perkembangan yang sama dengan PKY dan bukan lagi menjadi partai Stalinis dalam pengertian klasiknya maka sudah keluar melampaui fakta-fakta.[3]

Namun penerangan apa yang harus diberikan bagi perbedaan ini? Pertama, sejak PKT mundur dari kota-kota ke pedesaan pada 1928, ia mendirikan aparatur dan tentara (kaum tani) yang cukup kokoh. Selama dua puluh tahun ini ia menggunakan tentara dan kekuasaan ini untuk memerintah massa kaum tani —seperti kita tahu, kaum tani yang kuno dan terpencar paling mudah dikendalikan— dan karenanya terbentuklah birokrasi yang keras kepala dan mementingkan diri sendiri, terutamanya dalam caranya memperlakukan massa. Bahkan terhadap kaum buruh dan pelajar di daerah KMT, ia menggunakan cara-cara todongan ataupun tipuan alih-alih ajakan.

Kedua, PKT dalam hal ideologi telah makin memperkuat dan memperdalam teori Stalinisme melalui perlakuannya atas rangkaian kejadian penting: kekalahan revolusi kedua, perang kaum tani, dan Perang Perlawanan terhadap Jepang, dll. Teristimewa hal ini benar terkait penolakannya atas kritik terhadap konsepsi dan kebijakannya oleh Trotsky dan kaum Trotskyis Tiongkok. (Saya perlu minta perhatian kamerad-kamerad pada fakta bahwa kritik Trotsky atas Stalinisme lebih luas pada persoalan di Tiongkok dibanding negeri-negeri lain kecuali Uni Soviet.)

“Demokrasi Baru” Máo Zédōng yang “sistematis” dan dogmatis tidak lain hanyalah ungkapan ideologis dan politis yang mendalam dan dikristalkan dari Stalinisme; yaitu ungkapan keras kepala memegang teguh “revolusi bertahap” sebagai penentangan langsung pada revolusi permanen.

Ketiga, selama dua dekade ini PKT mendapat perhatian khusus dari Kremlin, dan oleh itu jalinannya dengan Kremlin amatlah erat. Setelah Uni Soviet menduduki Manchuria dan mempersenjatai kembali PKT dengan senjata rampasan dari tawanan Jepang, kendali Kremlin atas PKT menjadi lebih ketat dari sebelumnya.[4]

Akibat tiga ciri-ciri ini, PKT tidak mampu tunduk pada tekanan massa dan mengubah garis politiknya sendiri, tidak juga mudah bagi partai ini untuk membangkan tujuan Kremlin dan mengambil jalannya sendiri. Di sisi lain, PKY telah menempuh jalan yang sepenuhnya berbeda. Partai ini kebanyakan terbentuk dari gerakan massa nasional anti-imperialis, dan dalam kurun waktu relatif lebih singkat. Ia tidak mampu membentuk birokrasi dan ideologi Stalinis sekuat PKT. Karena ia sejatinya cukup terasingkan dari Kremlin selama perang perlawanannya, ia secara empiris cenderung lebih tunduk pada tekanan massa. Bertahap ia mengubah garis politiknya sendiri sesuai perkembangan kejadian sampai ia akhirnya menentang tujuan Kremlin. Karenanya, kita harus katakan bahwa perebutan kekuasaan pada dua kasus ini memiliki kemiripan belaka. Terkait dengan sebab musabab pendorongnya (terkait “tekanan”), cara mengambil kekuasaan, dan muatan kekuasaan, perbedaannya cukup besar.

Dari penilaian dan penerangan ini, haruskah kita simpulkan lebih lanjut, bahwa PKT senantiasa dan dalam keadaan apapun akan menolak tekanan massa dan tidak akan bersitegang dengan Kremlin? Tidak. Apa yang kita tunjukkan di atas ialah bahwa belokan terpenting yang PKT alami di masa lalu sepenuhnya ialah buah tekanan dari Kremlin, dan menabrak kehendak massa. Bahkan “belokan” kali ini menuju perebutan kekuasaan bukanlah buah dari tunduknya pada tekanan massa dan menentang tujuan Kremlin, melainkan buah dari tekanan mematikan Chiang Kai-shek, dan bersetuju sepenuhnya dengan Kremlin. Namun, dalam keadaan biasa demi melanggengkan keberadaannya dan meneruskan perkembangannya, PKT wajib mengupayakan sokongan dari lapisan massa tertentu dan membangun landasan di antara mereka. Dengan begitu, ia kurang lebih akan mengabulkan tuntutan massa dalam batas tertentu dan dalam kemungkinan yang diizinkan oleh kendalinya sendiri; yaitu tunduk pada tekanan massa.

Di masa lalu, kebijakan PKT mengalami tidak sedikit ayunan “kekirian,” seperti kebijakan reforma agraria terbatas yang ditawarkan pada Mei 1947, “pemberangusan penyimpangan Kanan dalam reforma lahan” pada periode sejak akhir 1947 sampai musim semi 1948, dan beberapa tindakan relatif kekirian setelah merebut kekuasaan. Inilah beberapa fakta kuat ketertundukannya pada tekanan massa. Ada kemungkinan bahwa belokan kekirian begini akan muncul lebih sering dan lebih meluas kedepannya. Juga, dengan alasan yang sama kita bisa percaya bahwa di masa lalu perbedaan atau perseteruan tertentu pasti terjadi antara PKT dan Kremlin. Namun perseteruan ini belum muncul ke permukaan. Contohnya, perselisihan antara Mao dan Li dibahas di atas bisa jadi cerminan penting perseteruan yang ada ini, yang bukan saja tak terelakkan pada periode mendatang tetapi jadi semakin tegang. Jadi saya harus katakan bahwa kesalahan yang dibuat Kamerad Germain, dibahas sebelumnya, bukanlah soal prinsip, melainkan fakta.

Namun saya juga harus tunjukkan bahwa kekeliruan yang dibuat pada persoalan penting seperti itu tidak hanya dapat menimbulkan rangkaian kekeliruan lainnya —seperti meremehkan birokratisme PKT, ideologi dan kaedah Stalinisnya, dan optimisme berlebih atas pandangan PKT, dll.— tetapi juga menimbulkan kekeliruan berprinsip. Contohnya, beberapa kamerad di Internasionale kita telah menegaskan bahwa rezim PKT adalah “kediktaktoran proletar,” karena mereka menganggap kejadian di Tiongkok dalam kategori yang sama dengan kejadian Yugoslavia, dan karena rezim PKY telah menjadi kediktatoran proletar. Mengikut deduksi abstrak berdasarkan logika formal, tak diragukan lagi rezim PKT adalah “kediktaktoran proletar.” (Nanti ada pembahasan lanjut atas soal ini dalam laporan ini.)

Akibat cara mengubah fakta agar sesuai rumusan tertentu ini mengandung bahaya melakukan kekeliruan prinsipil, kita harus sangat hati-hati menerapkan “prinsip,” dan terutamanya simpulan rumusan dari prinsip. Kita tak dapat mengelompokkan kejadian-kejadian yang mirip hanya dalam rupanya ke dalam prinsip atau rumusan yang sama, atau memaksakan kejadian agar sesuai dengan prinsip atau rumusan tertentu.

Pertama-tama, kita harus memeriksa dan menelaah fakta konkret kejadian itu sendiri, khususnya mempertimbangkan keadaan-keadaan luar biasa yang memainkan peran menentukan dalam kejadian, dan menilai apakah kejadian ini sesuai dengan prinsip atau rumusan tertentu, apakah ia merupakan ungkapan sejati prinsip atau rumusan ini. Seperti Lenin katakan, fakta selalu hidup, sementara rumusan cenderung sering kaku.

Gerakan kita telah mengambil dan menekankan bahwa memungkinkan bagi massa untuk melampaui batas-batas Stalinisme, dan bahwa ada pertentangan yang tersembunyi dan mendalam di antara beragam partai-partai Komunis dan Kremlin. Dalam kondisi khas tertentu keseluruhan suatu partai Komunis bisa mengubah garis politiknya, melampaui tujuan Kremlin, dan memimpin massa menuju perebutan kekuasaan. Prinsip dan rumusan ini tepat dalam premis teoretis dasarnya, dan telah dibenarkan oleh kejadian di Yugoslavia (atau lebih tepatnya, disimpulkan dari hal tersebut). Namun di sini kita khususnya harus mencatat satu hal, yaitu tepatnya “kondisi khas tertentu.” Meski dalam kondisi khas tertentu partai Komunis dapat didorong oleh tekanan massa merebut kekuasaan yang melanggar tujuan Kremlin (seperti dalam kasus PKY), dalam kondisi khas tertentu lain partai Komunis dapat meraih kekuasaan tanpa harus melalui tekanan massa, sambil menerima instruksi dari Kremlin (atau setidaknya tanpa melanggar tujuannya). Hal ini tepatnya yang terjadi di China.

Kita yakin bahwa kejadian serupa mungkin bisa diulang di negeri-negeri Asia lain (Vietnam, Burma, dll.). Apa yang Kremlin takutkan adalah kemenangan gerakan revolusioner sejati kaum buruh, terutamanya di negeri-negeri maju, hanya karena ia tidak akan mampu mengendalikan kemenangan revolusi ini, yang pada gilirannya mengancam keberadaannya. Jika ia tidak menghadapi ancaman seperti ini, dan jika tindakannya tidak akan melibatkan campur tangan langsung oleh imperialisme, Kremlin tidak akan melepaskan peluang memperluas cakupan pengaruhnya dan sewajarnya akan mengizinkan partai Komunis di bawah kendalinya mengambil kekuasaan. Inilah pelajaran yang dapat ditarik dari kejadian di Tiongkok dan yang perlu kita terima. Meski hal ini masih termasuk dalam perebutan kekuasaan oleh partai Komunis, kita setidaknya harus melihatnya sebagai pelengkap pelajaran kejadian di Yugoslavia. Hanya dengan begini kita dapat menghindar dari kekeliruan terkait mengubah prinsip menjadi rumusan kaku, menerapkan rumusan ini pada setiap kejadian serupa, dan karenanya membikin serangkaian kesimpulan keliru.

Kita, kaum Marxis, bereaksi terhadap kejadian dengan menelaah fakta-fakta konkret perkembangannya melalui kaedah dan prinsip kita, menguji dan memperkaya prinsip kita melalui telaah ini, atau bila perlu, membenahi prinsip dan rumusan kita, karena kebenaran senantiasa konkret.

Apakah kemenangan PKT awal dari revolusi Tiongkok ketiga?

Keputusan terkait persoalan di Tiongkok pada Pleno Ketujuh Komite Pelaksana Internasionale menyatakan, “kemenangan Máo Zédōng atas Chiang Kai-Shek adalah awal dari revolusi Tiongkok ketiga.” Ketika keputusan ini tiba pertama kali di Tiongkok (musim gugur 1949), badan kepemimpinan partai kita —Biro Politik— secara umum menyetujuinya. Namun karena biro politik harus segera bergerak, ia tidak sempat membahas keputusan ini secara rinci dan mengungkap pendapatnya secara tertulis. Kemudian keraguan muncul di kalangan para kamerad terkait keputusan Internasionale, dan sengketa paling akut dalam beberapa tahun terakhir bermula.[5]

Beberapa kamerad yang bertanggung jawab menyetujui sepenuhnya dengan pandangan Internasionale (Kamerad Chiao dan Ma, yang sebelumnya mengungkapkan ketidaksetujuan mereka sekarang menjadi pendukung utama posisi Internasionale), sementara para kamerad yang bertanggung jawab lainnya menentang keras. Kami telah memilih empat artikel yang paling mewakili dalam sengketa ini dan menerjemahkannya ke bahasa Inggris untuk rujukan. Jadi dalam laporan ini tidak perlu diceritakan terperinci titik-titik perbedaan dalam pembahasan mereka. Saya cuma akan memberi kritikan personal dan penjelasan intisari argumennya, terkhusus dari para kamerad yang berseberangan pandangan.

Pada persoalan keadaan revolusioner

Argumen utama para kamerad di oposisi adalah bahwa naiknya PKT ke kekuasaan bukanlah berlandaskan pada tindakan revolusioner massa, terkhusus kaum buruh (yaitu, dari mogok umum ke insureksi bersenjata), tetapi mengandalkan sepenuhnya pada pasukan kaum tani bersenjata dan tindakan militer murni. Pada landasan konsepsi umum revolusi kita dan pengalaman revolusi di zaman modern —terutama revolusi Oktober Rusia— mereka memahami revolusi hanya dalam arti bahwa massa banyak, terutama kelas buruh, dimobilisir dari bawah ke atas, melampaui ranah perjuangan demokratis umum menuju pemberontakan bersenjata, menghancurkan langsung aparatur negara kelas penguasa, dan meneruskan pembangunan rezim baru. Begitulah yang bisa kita sebut dari awal kemenangan revolusi sejati.

Sekarang, gerakan di bawah kepemimpinan PKT ini bukan saja tidak memobilisir massa kaum buruh, tetapi bahkan menahan diri dari mengajak massa kaum tani berorganisir, bangkit bertindak, dan terjun dalam perjuangan revolusioner (mengganyang para tuan tanah, membagi-bagikan lahan, dll.). Faktanya, PKT semata-mata mengandalkan tindakan militer tentara kaum tani alih-alih tindakan revolusioner massa kaum buruh dan tani. Dari sini, para kamerad ini menekankan bahwa kemenangan ini sebatas kemenangan perang kaum tani, dan bukan awal dari revolusi Tiongkok ketiga.

Kita perlu akui bahwa konsepsi umum revolusi yang dianut para kamerad ini sepenuhnya tepat, dan fakta-fakta yang mereka sebutkan tak dapat dibantah. Namun mereka melupakan perkara kecil. Yaitu, bahwa zaman di mana kita hidup ini bukanlah zaman kemenangan revolusi Oktober —era Lenin dan Trotsky. Ini adalah zaman di mana warisan revolusi Oktober —negara buruh sosialis Soviet— telah dilahap oleh birokrasi Stalin dan mencapai titik kemerosotan parah. Berikut adalah ciri-ciri utama zaman ini:

Di satu sisi, setelah mengalami dua perang dunia, dunia kapitalis dalam kehancuran besar, sementara kondisi objektif revolusioner telah berubah dari matang menjadi terlalu matang. Di sisi lain, berkat prestise warisan dari revolusi Oktober dan sumber daya material Uni Soviet, birokrasi Stalin telah melakukan segala cara mempertahankan cengkramannya pada partai-partai Komunis di dunia, dan melalui mereka — ia berupaya menundukkan gerakan revolusioner di berbagai negeri demi kepentingan diplomatisnya sendiri. Keadaan luar biasa ini secara umum belum menyebabkan kegagalan dan kekalahan gerakan revolusioner di berbagai negeri; di beberapa negeri gerakan revolusioner hanya mengalami kecacatan. Kemenangan gerakan yang dipimpin PKT adalah contoh nyata dari kecacatan revolusinya ini.

Seperti kami katakan, melihat dari segi upaya PKT menghindari mobilisasi massa, khususnya massa kaum buruh, dan perebutan kekuasaannya pada landasan pasukan kaum tani bersenjata, kejadian ini tentu jauh dari sesuai dengan revolusi klasik atau biasa. Namun menimbang dari sudut pandang penggulingan rezim borjuis-tuan tanah Chiang Kai-sheknya, meluasnya praktek reforma lahan, dan perlawanan politiknya terhadap imperialisme dan perjuangan pembebasan nasionalnya, tak dapat disangkal bahwa bukan cuma “progresif,” tetapi revolusioner. Lebih jauh lagi, ini menandakan garis pemisah besar dalam sejarah Tiongkok modern. Penghancuran kekuasaan penuh darah Chiang Kai-shek dan pukulan kepada kekuatan imperialis yang menginjak-injak rakyat Tiongkok selama berabad-abad sudah cukup membuktikan bahwa kejadian ini dapat disandingkan dengan revolusi Tiongkok pertama (1911). Karena reforma lahan umum yang besar telah dilakukan (tak peduli seberapa tak tuntas), sisa-sisa feodal yang telah bertahan selama ribuan tahun untuk pertama kalinya disingkirkan besar-besaran. Dan karena pekerjaan ini masih dilakukan, masihkah kita bersikeras bahwa ini bukanlah gerakan revolusioner bersejarah?

Para kamerad di oposisi berpendapat bahwa mereka telah mengakui sepenuhnya segi progresif gerakan ini, biarpun demikian, segi ini sama sekali tidak seiras dengan awal kemenangan revolusi sebenarnya, atau permulaan revolusi ketiga, karena hal ini dicapai melalui cara-cara militer dan birokratis.

Meski kami mengakui fakta ini, kesimpulan kami tidak sesederhana mengecam proses dan hasilnya sebagai “tidak revolusioner.” Satu-satunya pandangan yang tepat ialah mengatakan bahwa ini bukanlah revolusi biasa atau normal, melainkan gerakan revolusi yang menyimpang, pincang, dan oleh itu bercacat. Guna memperoleh pemahaman yang lebih saksama atas persoalan revolusi bercacat ini, mari kita ingat pembahasan sifat negara di negeri-negeri penyangga di Eropa Timur.

Di negeri-negeri penyangga ini, kecuali Yugoslavia, perampasan kekuasaan dari kaum borjuis, tata cara reforma lahan, dan nasionalisasi industri, bank, dan alat pengangkutan dan pertukaran sama sekali tidak atau cuma sedikit dilakukan melalui tindakan revolusioner massa kaum buruh dan tani. Properti dan usaha yang dimilik-negarakan rezim baru tidak pernah berada di bawah pengawasan dan kendali massa, melainkan diduduki oleh tentara Soviet, dioperasikan dan dimonopoli oleh para birokrat Komunis sesuai arahan Kremlin. Bertumpu pada fakta ini, berbagai minoritas di kalangan cabang-cabang dari Internasionale —yang sebenarnya mereka sudah atau akan keluar dari gerakan kita kalau mereka bersikeras pada pandangan mereka— mendogmakan tentang sifat negara-negara ini sebagai “kapitalis negara” atau “kolektivis birokratis.”

Bagaimanapun, dengan menggunakan kaedah umum yang dipakai Trotsky dalam meneliti dan mencirikan sifat negara Soviet di bawah kuasa birokrasi Stalin sebagai negara buruh merosot, Sekretariat Internasional dari Internasionale kita berpegang bahwa negara-negara penyangga ini telah menjadi negara buruh bercacat yang berpadu ke dalam Uni Soviet. Karena hubungan hak milik di negeri-negeri ini telah berubah secara mendasar, yaitu, dimilik-negarakan, dan karena hal ini ialah premis material yang sangat diperlukan bagi peralihan dari kapitalisme ke sosialisme, pada landasan perubahan mendasar dalam hubungan hak milik inilah kita dapat menegaskan perubahan dalam sifat negara.

Namun sambil mempertahankan pandangan ini, Internasionale tidak mengabaikan cara-cara menjijikan para birokrat Uni Soviet dan partai-partai Komunis negeri-negeri ini dalam memonopoli segenap kekuatan ekonomi dan administratif dan cara polisi dan GPU dalam mencekik kebebasan dan inisiatif massa. Justru berdasarkan fakta-fakta inilah Internasionale kita menyebut negara-negara ini negara buruh bercacat atau ganjil. Hanya inilah cara tepat memahami kejadian secara dialektis, satu-satunya cara untuk “menyebut sesuatu dengan nama yang tepat.” Jika para kamerad oposisi di Tiongkok menganut kaedah yang dipakai Internasionale dalam menentukan watak negara di negeri-negeri penyangga —kaedah umum Trotskyisme— mengevaluasi kemenangan PKT, maka akan sangat jelas terlepas bagaimana PKT berhasil merebut kekuasaan, meski dengan cara militer atau birokratis murni, hal-hal yang dicapainya ialah revolusioner. Penggulingan rezim Chiang, reforma lahan, dan kemandirian politik relatif yang dimenangkan sekarang adalah tujuan yang harus dicapai dalam proses permanen dari revolusi demokratik menuju revolusi sosialis.

Namun PKT tidak memobilisir massa kaum buruh. Ia tidak mendorong revolusi ke depan melalui perantaraan kelas buruh memimpin massa kaum tani. Dengan kata lain, karena ia mengganti kaedah revolusioner Bolshevik memobilisir massa dengan kaedah militer-birokratis Stalinisme, revolusi ini telah sangat menyimpang dan pincang, dan ciri-ciri ini telah cacat sedemikian rupa hingga sulit dikenali. Namun, kita, kaum Marxis, menilai semua hal dan kejadian bukan dari tampilannya, melainkan dari intisari yang ditutupi tampilannya. Oleh itu, tak peduli seberapa buruk dan menjijikkan tampilan Uni Soviet di bawah kuasa birokrasi Stalin, karena ia menjaga properti yang dinasionalisasi oleh revolusi Oktober kita masih mengakuinya sebagai negara buruh —sebuah negara buruh merosot. Dan meski sejak kelahiran mereka — negara-negara penyangga di Eropa Timur telah dicelakai parah oleh birokratisme Stalin, dan memperlihatkan kecacatan mengerikan, kita harus tetap menyebutnya negara buruh, meskipun negara buruh bercacat.

Dengan cara yang sama, tak peduli bagaimana gerakan yang dipimpin PKT menyimpang dan pincang dengan kaedah birokratisnya, karena ia telah menggulingkan rezim Chiang, menjamin kemerdekaan yang besar, dan meneruskan reforma tanah sampai kadar tertentu, kita harus akui ia sebagai revolusi, meskipun revolusi yang ganjil.

Kita harus pahami bahwa zaman kita ialah zaman peralihan, berada di antara kapitalisme dan sosialisme, zaman yang paling penting dan rumit dalam sejarah umat manusia. Oleh itu, di bawah pengaruh berbagai faktor banyak kejadian dan gerakan berkembang tidak sesuai dengan tata cara biasa pemikiran logis kita yang berasal dari pengalaman sejarah atau prinsip. Terlebih, perluasan dan campur tangan luar biasa Stalinisme membuntuti kemerosotan negara buruh yang pertama —yang pada telaah terakhirnya jugalah salah satu hasil dari zaman yang rumit dan bergejolak ini— telah menarik lebih jauh kejadian dan gerakan ini keluar dari orbit biasanya dan berfungsi menyimpangkannya. Pada zaman ini, siapapun yang menuntut semua kejadian dan gerakan sesuai dengan bayangan dan normanya sendiri, dan mereka yang hanya akan mengakui dan berpartisipasi dalam hal-hal yang dianggap biasa dan yang sesuai dengan bayangannya sendiri, adalah seorang Utopis paripurna, yang melontarkan kutukan —atau “kritikan”— kosong pada kejadian dan gerakan, atau sia-sia melawan proses sejarah. Orang-orang ini tak ada kesamaan dengan kaum Marxis.

Kita, para Trotskyis, harus memikul tanggung jawab atas revolusi yang akan datang. Kita tidak hanya harus mempertahankan “cita-cita kita” dan memahami “perkembangan gerakan umumnya,” tetapi khususnya harus memahami kejadian ganjil dan ketaksempurnaan gerakan hasil dari keadaan luar biasa. Dengan kata lain, kita harus mengenali keadaan yang sudah terjadi, mengakui kenyataannya meskipun ia mungkin tidak sesuai dengan “norma” kita atau tidak mengenakkan. Dan kita harus meneruskan perjuangan tak kenal lelah di hadapan keadaan ini mengarahkannya dalam jalannya perjuangan dan membawanya menuju tujuan kita.

Seluruh Tiongkok daratan telah jatuh dalam genggaman PKT. Setiap gerakan telah berada di bawah kendali kepemimpinannya. Ini kenyataan yang mutlak, meski menyimpang dan bertentangan dengan cita-cita kita. Kecuali kita menerima kenyataan gerakan ini, menembusnya, dan secara aktif bergabung dalam semua perjuangan massa, semua kritikan kita akan sia-sia dan juga merugikan. Kita harus berupaya mempengaruhi massa dengan program revolusioner Trotskyis kita, dengan sabar mencoba meyakinkan dan memenangkan keyakinan massa selama perjuangan, membantu mereka selangkah demi selangkah melalui pengalaman mereka — melepaskan diri dari ilusi dan kendali oportunisme dan birokratisme Máo Zédōng, dan perlahan mengubah arah gerakan ini. Tentunya tugas ini sangat berat dan tidak selalu seirama dengan usaha kita. Namun setidaknya dengan terlibat dalam gerakan ini kita dapat meletakkan landasan bagi tugas-tugas ke depan. Kemudian, ketika kita dihadapkan dengan keadaan yang lebih menguntungkan, kita harus mampu turun tangan dan bahkan memimpin pergerakan.

Jika kita menolak mengakui kemenangan PKT sebagai awal mula revolusi bercacat, jika kita tidak terlibat dalam gerakan secara positif demi menolongnya dari kecacatan, atau jika kita hanya mengungkapkan kritik pasif atas PKT, kita tentu akan jatuh ke dalam rawa sektarianisme —seperti minoritas kita lakukan di Tiongkok. Kemudian kita akan meninggalkan gerakan dan massa dan ujungnya, tak terhindarkan akan mundur dari semua praktek perjuangan politik dan terhanyut oleh arus sejarah.

Saya juga perlu menunjukkan bahwa para kamerad oposisi kami telah melakukan kekeliruan mekanis dengan menekankan bahwa gerakan yang dipimpin PKT murni perang kaum tani dan karena itu menyangkal ciri-ciri massanya yang menonjol. Tentara kaum tani PKT sendirinya ialah gerakan massa —kaum tani berseragam— merangkul sektor paling aktif dari para pekerja pedesaan. Dan terlebih, di belakangnya berdiri massa luas kaum tani.

Pengalaman sejarah telah menunjukkan kita bahwa jika gerakan kaum tani meletus, sering melibatkan perjuangan bersenjata. Pada revolusi Tiongkok kedua, ketika massa kaum tani di Kwangtung dan Hunan diorganisir menjadi perhimpunan kaum tani, pasukan bersenjata mereka segera muncul, karena cukup mustahil bagi mereka melawan para tuan tanah dan bangsawan tanpa kekuatan mumpuni. Ini telah menjadi semacam hukum dari gerakan kaum tani. Kita juga harus mencatat bahwa tentara saat ini sangat berbeda dari tentara kaum tani manapun sebelumnya. Ia telah diorganisir dan dilatih secara sistematis oleh partai Stalinis, yang kurang lebih dibekali pengetahuan dan teknik modern. Ia telah dianugerahi program reforma demokratis berskala nasional dan terbaru sebagai arah umum perjuangan, tak peduli seberapa oportunis program ini. Atas alasan inilah kita tidak bisa menyebut gerakan ini perang kaum tani belaka tetapi sebuah gerakan revolusioner yang ganjil, dan hanya sebutan ini yang sesuai dengan fakta dan logika dialektis.

Di sisi lain, para kamerad di Tiongkok yang mendukung keputusan Internasionale telah bergerak ke arah berlawanan berlebihan dalam upaya mereka menunjukkan bahwa kemenangan PKT ialah awal revolusi Tiongkok ketiga, bahwa gerakan yang dipimpin PKT ialah gerakan massa, dan bahwa perubahan dalam kebijakannya ialah hasil tekanan massa. Mereka melebih-lebihkan atau bahkan salah menafsirkan fakta. Hal ini sama berbahayanya. Contohnya, Kamerad Chiao dan Ma tiba pada kesimpulan bahwa perubahan kebijakan PKT ialah hasil tekanan massa dan mewakili gerakan massa dengan cara salah memberi tanggal “awal revolusi Tiongkok ketiga” menjadi 1947, ketika PKT resmi menyerukan penggulingan rezim Chiang. Ini bukan saja mekanis, tetapi sepenuhnya bertentangan dengan fakta sebenarnya, seperti saya kemukakan di atas. Terlebih, Kamerad Ma berkata:

“Dari sudut pandang jumlah massa yang dimobilisir, revolusi saat ini bahkan lebih biasa dibanding revolusi kedua, karena massa yang diorganisir pada yang disebut akhir cuma berjumlah sekitar sepuluh juta, sementara bahkan sebelum “Tentara Pembebasan” menyeberangi Sungai Panjang, sudah ada seratus juta lebih petani yang bangkit membagi-bagikan lahan.”[6]

Pemaparan semacam ini berlebihan dan juga secara mendasar salah dalam konsepsi gerakan massanya. Kamerad Chung Yuan telah membantah dan mengkritik sepenuhnya dalam artikelnya “Masalah yang Kononnya ‘Keadaan Revolusioner.’” Saya pikir bantahan dia tepat dan sesuai dengan fakta sejarah. Di sini saya mau menekankan satu hal. Pada revolusi Tiongkok kedua, mayoritas kelas buruh diorganisir dalam kelompok-kelompok seperti Komite Mogok Kanton-Hongkong dan Serikat Buruh Umum Shànghǎi (yang kala itu berfungsi selayaknya Soviet). Kaum buruh dimobilisir, dan menempati kedudukan pimpinan dalam gerakan berskala nasional, meluncurkan sejumlah mogok umum dan unjuk rasa akbar. Selain itu, kelas buruh terlibat dalam beberapa kemenangan pemberontakan bersenjata, seperti kasus massa kaum buruh di Hankow [Hànkǒu/Wuhan] dan Chiuchiang [Jiǔjiāng], yang merebut pendudukan Inggris, dan di Shànghǎi di mana mereka menduduki seluruh kota dengan pengecualian konsesi-konsesi asing.

Namun sejak awal sampai perebutan kekuasaan dalam gerakan PKT ini, tidak ada kebangkitan massa kaum buruh di kota manapun sampai ke titik mogok umum atau insureksi, bahkan tidak ada mogok kecil-kecilan atau unjuk rasa. Kebanyakan kaum buruh bersikap pasif dan lamban, atau setidaknya menunjukkan keberharapan pada gerakan ini. Inilah fakta tak terbantahkan. Bagaimana kita bisa membandingkan gerakan saat ini dengan gerakan revolusioner dari revolusi Tiongkok kedua? Keputusan Internasionale telah terang menegaskan: “Kemenangan Máo Zédōng atas Chiang Kai-Shek adalah kemenangan militer pemberontakan kaum tani atas rezim yang telah runtuh.” Dengan kata lain, kemenangan PKT ini bukanlah kemenangan politik sebuah gerakan revolusioner massa kaum buruh dan tani sebenarnya atas kekuasaan borjuis. Jadi ini hanya membuktikan bahwa Kamerad Ma, yang bersemangat mendukung keputusan Internasionale, telah berlebihan, mengidealkan gerakan yang dipimpin Komunis. Idealisasi kejadian ini tidak hanya memupuk ilusi tetapi secara objektif akan membawa pada penilaian salah. Keduanya berbahaya, karena ilusi selalu menjadi pangkal kekecewaan dan keputusasaan, sementara penilaian salah akan menjadi akar kebijakan salah.

Kita jangan sampai mengabaikan bahaya sangat serius yang tersirat dalam kecacatan revolusi Tiongkok ketiga yang dipupuk PKT: oportunisme yang teguh, birokrasi yang angkuh, kontrol ketat atas massa, permusuhan terhadap gagasan revolusioner, dan penganiayaan brutal atas anasir-anasir revolusioner, khususnya kaum Trotskyis. (Organisasi kami telah diganggu di banyak tempat di daratan; banyak kamerad ditangkapi, dipenjarakan, dipaksa “bertobat,” dan beberapa kamerad paling bertanggung jawab kami telah dieksekusi.)

Gabungan semua faktor berbahaya ini menghalangi optimisme berlebihan terkait perkembangan dan pandangan revolusi Tiongkok ketiga yang sedang berlangsung. Hal-hal ini akan sangat menyulitkan kerja-kerja kaum Trotskyis dalam gerakan ini.

Terlepas semua keadaan ini kita jangan pernah menganut sikap sektarian atau pesimis, tidak juga menyerah atas usaha-usaha dan tanggung jawab revolusioner kita untuk mencoba mendorong gerakan ini maju atau mengubahnya.

Serentak kita juga harus menolak semua ultraoptimisme naif, yang selalu cenderung mengabaikan kesulitan dalam gerakan dan rintangan dalam kerja-kerja kita. Awalnya, para ultraoptimis mungkin akan terjun dengan penuh semangat ke dalam gerakan. Namun ketika mereka menghadapi kesulitan berat selama kerja-kerja mereka, mereka akan berkecil hati dan menciut. Namun, dengan seluruh pandangan gerakan kita yang terlihat, kita, kaum Trotskyis, selalu memegang teguh keyakinan dan optimisme revolusioner teguh kita. Ringkasnya, kita sangat yakin bahwa kemenangan revolusi proletar di seluruh dunia dan penyusunan ulang masyarakat dunia dapat dicapai hanya di bawah panji-panji dan program Trotskyisme, Marxisme-Leninisme yang terkaya dan terdalam di zaman modern. Namun kita jangan sampai mengabaikan hambatan besar dalam perjalanan dari periode sekarang sampai kemenangan nanti, khususnya rintangan yang disebabkan Stalinisme.

Pertama-tama kita harus memperjelas hambatan-hambatan ini, kemudian mengatasinya dengan program yang paling jitu, kaedah tepat, serta kesabaran dan ketekunan sepenuhnya.

Para sektarian berdalih dengan fakta bahwa gerakan ini tidak sesuai dengan norma yang mereka idam dan berupaya melarikan diri terlebih dahulu. Para optimis naif mengidealkan gerakan ini. Namun sekalinya mereka mengetahui bahwa gerakan ini tidak di jalur yang mereka idealkan, mereka meninggalkannya. Optimis revolusioner tak memiliki kesamaan dengan dua jenis orang tadi. Karena kita memiliki keyakinan paling teguh dalam kemenangan revolusi, karena kita memahami besarnya kesulitan yang menghadang menuju kemenangan ini, maka kita menerabas jalan penuh duri hanya dengan kaedah revolusioner dan kebulatan tekad mencapai tujuan akhir.

Dihadapkan dengan kemenangan Mao, persengketaan parah telah muncul dalam organisasi di Tiongkok melalui pembahasan kebijakan lampau partai tersebut. Sengketa ini telah menghasilkan dampak buruk tertentu atas partai. Meski tidak mungkin bagi saya merincikan deskripsi dan kritikan beberapa pandangan sengketa ini, saya perlu mengungkapkan sikap pokok saya terhadap pembahasan ini (khususnya karena banyak kamerad di Tiongkok meminta saya melakukannya).

Di tengah suatu kejadian besar, masuk akal bahwa suatu organisasi politik harus memeriksa dan membahas dengan hati-hati kebijakan lampaunya demi membenahi garis politiknya. Oleh itu saya tidak setuju dengan beberapa kamerad yang keberatan atas pembahasan ini. Namun saya harus juga menegaskan bahwa kita harus meneruskan pembahasan dengan sepenuhnya bertanggung jawab, baik untuk tugas-tugas revolusioner dan partai kita, dengan cara saksama, tepat, dan jitu. Salah besar jika kita seenaknya mengkritik kebijakan lampau partai dengan sembrono dan bombastis yang menimbulkan kebingungan dan kecenderungan sentrifugal dalam partai. Pengalaman sejarah telah mengajarkan kita bahwa partai politik paling rentan terhadap kecenderungan sentrifugal di bawah tekanan peristiwa besar, khususnya di hadapan rintangan yang membesar dalam kondisi kerjanya.

Jika pada saat ini kritikan atas kebijakan lampau partai mengambil sikap tidak bijaksana, berlebihan atau tidak adil, hal ini cenderung menyebabkan seluruh jajaran partai goyah keyakinannya, mendorong perkembangan kecenderungan sentrifugal, dan akhirnya membawa perpecahan mengerikan.

Sayangnya, beberapa kamerad kita kurang bijak dalam kritikan mereka atas kebijakan yang kita anut di masa lampau. Artikel tulisan Kamerad Chiao, “Tesis tentang Mempersenjatai Ulang secara Ideologis,” adalah satu contoh penting. Meski artikel ini bertujuan membenahi “kecenderungan sektarian,” kritikannya atas kebijakan lampau partai bukan saja berlebihan tetapi menyesatkan. Dalam pandangannya, atau setidaknya menurut caranya menulis, tampaknya bahwa seluruh garis politik lampau partai pada dasarnya salah dan oleh itu, mengikut teladan Lenin dalam mengajukan Tesis April, “partai harus dipersenjatai ulang secara ideologis.”

Namun sebagai hasilnya, sikap ini hanya memicu protes dan kritikan keras dari kelompok kamerad lainnya. Kritikan ini pertama kali diungkapkan dalam “Mempersenjatai Kembali atau Merevisi?” tulisan Kamerad Ming.

Kenyataannya, partai kami telah menjaga dan berjuang selama bertahun-tahun demi garis umum Trotskyisme, garis revolusi permanen. Kejadian besar —Perang Sino-Jepang dan terlibatnya China dalam Perang Dunia Kedua, juga perjuangan internal partai selama periode genting dari dua kejadian ini, pertama perjuangan melawan oportunisme kanan Chen Duxiu dan kemudian pertarungan melawan sektarianisme ultrakiri kelompok minoritas pimpinan Zheng Chaolin— telah membenarkan garis politik yang kita genggam di masa lalu.

Selama perang sipil antara Kuomintang dan PKT, garis dasar dan kedudukan kami terhadap PKT juga sudah tepat dan sejalan dengan sikap pokok keputusan Internasionale pada perang sipil di Tiongkok.[7]

Setelah PKT bergerak untuk merebut kekuasaan, program yang diajukan oleh partai kami —dimuat dalam “Surat Terbuka kepada Para Anggota PKT” diadopsi oleh sidang pleno Komite Pelaksana Pusat partai kami— hampir seluruhnya sejalan dengan program yang diadopsi Pleno Ketujuh Internasionale. Seruan Kamerad Chiao demi “mempersenjatai ulang partai kita secara ideologis” sama saja dengan mengatakan bahwa partai di masa lampau, atau setidaknya selama perebutan kekuasaan PKT, “meninggalkan ideologi Trotskyis” dan perlu “dipersenjatai ulang” dengan kembali pada ide-ide Trotskyis. Pemaparan ini bukan saja berlebihan dan menyimpang dari fakta, melainkan justru menghina partai. Wajar saja kalau ia menimbulkan cacian, kemarahan dan protes, dan sampai batas tertentu bahkan kebingungan dan kebimbangan di kalangan para kamerad. Dengan firasat akan adanya akibat itulah saya mewanti-wanti kamerad kami agar tidak buru-buru melakukan perubahan 180 derajat.

Namun demikian, saya tidak bermaksud bahwa partai kami belum pernah membuat kesalahan di masa lampau, khususnya di kejadian perebutan kekuasaan PKT barusan. Saya sudah menunjukkan bahwa partai kami tidak membayangkan kemenangan perebutan kekuasaan oleh PKT. Dari kesalahan besar ini dalam memperkirakan aliran seluruh kejadian serangkaian kesalahan pada penilaian kejadian selama perkembangannya, dan kesalahan taktis tertentu dalam propaganda kami kepada dunia luar. Kesalahan dalam perkiraan ini telah mempengaruhi sikap kami atas seluruh kejadian, yang kurang lebih cenderung memberi kritik pasif dan meremehkan kepentingan revolusioner objektifnya. Inilah yang kami akui sungguh-sungguh dan harus benahi. Namun, seperti saya katakan di atas, kesalahan dalam perkiraan kejadian ini bukanlah kesalahan prinsipil, dan oleh itu mudah diperbaiki.

Seperti kita ketahui, kaum Marxis terbaik —Marx, Engels, Lenin, Trotsky, dll.— mampu menjaga ketepatan berprinsip dan berkaedah, tetapi belum menjamin kejituan dalam setiap perkiraan perkembangan kejadian. Marxisme adalah kaedah ilmiah yang paling efektif memprakirakan fenomena sosial. Namun ia belum mencapai tingkat ketepatan layaknya meteorologi dalam meramal cuaca atau astronomi dalam fenomena bintang-bintang, karena fenomena sosial jauh lebih rumit dibanding fenomena alam. Jadi Marx, Engels, Lenin dan Trotsky juga membuat kesalahan dalam penilaian kejadian mereka. Contohnya termasuk perkiraan yang dibuat Marx dan Engels atas perkembangan kejadian setelah kekalahan revolusi 1848; antisipasi optimis Lenin dan Trotsky atas kemungkinan revolusioner di Eropa setelah revolusi Oktober; dan penilaian Trotsky atas peluang Stalinisme selama Perang Dunia Kedua. Yang membedakan mereka bukanlah kesempurnaan dalam memperkirakan suatu atau semua kejadian, tetapi keajegan, kehati-hatian, dan observasi tepat atas proses objektif kejadian. Dan sekalinya mereka menyadari bahwa perkembangan kejadian tidak sesuai dengan perkiraan awal mereka atau bahwa perkiraan mereka salah, mereka segera membenahi dan memperkirakan ulang. Inilah sikap Marxis sejati, dan teladan yang patut kita tiru.

Watak kelas PKT dan rezim baru

Meski belum banyak pembahasan di kalangan para kamerad di Tiongkok atas persoalan ini, ada beberapa pendapat di kalangan kamerad di Internasionale yang cenderung menyimpang dari garis Marxis. Oleh itu saya anggap perlu mengajukan persoalan ini untuk pembahasan serius dan membuat penilaian pasti yang berguna menentukan kedudukan kita terkait PKT dan rezim barunya.

Tentang watak PKT, hampir semua kamerad di Tiongkok menyatakannya sebagai partai borjuis kecil berlandaskan pada kaum tani. Ini telah menjadi konsepsi umum kaum Trotskyis Tiongkok sejak dua puluh tahun terakhir, dan didefinisikan oleh Trotsky sendiri.

Mulai pada 1930, Trotsky berkali-kali menunjukkan bahwa PKT telah merosot bertahap dari partai kaum buruh menjadi partai kaum tani. Pernah dalam surat kepada para kamerad di Tiongkok bahkan dia katakan bahwa PKT mengikuti jalur yang sama dengan Partai Revolusioner Sosial di Rusia. Alasan utama bagi penilaian ini adalah berikut: Setelah kekalahan revolusi kedua, PKT melepaskan gerakan buruh perkotaan, meninggalkannya, dan beralih sepenuhnya terhadap pedesaan. Ia mengerahkan seluruh tenaganya ke dalam pertempuran gerilya desa dan oleh itu menyerap sejumlah besar kaum tani ke dalam partai. Hasilnya, komposisi partai menjadi murni kaum tani. Terlepas keterlibatan beberapa anasir kaum buruh yang surut dari kota-kota, jumlah buruh yang sedikit ini tidak cukup menentukan komposisi partai. Selanjutnya selama periode panjang hidup di pedesaan mereka juga memadukan pandangan kaum tani dalam ideologi mereka, sedikit demi sedikit.[8]

Seperti kita tahu, penilaian Trotsky atas watak PKT tidak pernah direvisi sampai kematiannya. Komposisi PKT dan wataknya seperti diterangkan dalam bagian akhir The Tragedy of the Chinese Revolution-nya Isaacs jelas mencerminkan konsepsi ini karena bukunya dibaca dan dibenahi oleh Trotsky sendiri sebelum diterbitkan.

Adakah perubahan dalam komposisi PKT ke arah kelas buruh sejak kematian Trotsky? Bukan saja tidak ada perubahan mendasar, tetapi komposisi borjuis kecil yang diwakili kaum tani dan intelektual malahan telah menguat. Pertumbuhan tak terbayangkan PKT selama dan setelah Perang Perlawanan hampir sepenuhnya diakibatkan masuknya kaum tani dan intelektual borjuis kecil. Sebelum perebutan kekuasaannya, partai mengaku memiliki 3,5 juta anggota. Dari jumlah total ini, anasir kaum buruh sangat lemah dan paling besar tidak sampai 5 persen (termasuk buruh kasar). Oleh itu, kita bisa pastikan bahwa sampai saat ia berkuasa PKT masih tetaplah berkomposisi borjuis kecil.

Terlepas semua ini, beberapa kamerad di Internasionale kita menganggap bahwa PKT telah menjadi partai kaum buruh. Contohnya Kamerad Germain berpandangan begini. Ketika kita merujuk pada pencirian Trotsky atas PKT sebagai partai kaum tani borjuis kecil, ia membalas: “saya tahu, saya akui bahwa sebelumnya itu benar. Namun sejak PKT merebut kekuasaan dan masuk ke kota-kota, ia telah berubah menjadi partai kaum buruh.”

Penekanan ini dilandaskan pada alasan bahwa watak partai tidaklah ditentukan oleh kriteria komposisinya belaka, tetapi juga oleh peran yang dimainkan. Atas fakta bahwa PKT telah menggulingkan sistem borjuis Kuomintang dan mendirikan kekuasaannya sendiri, sudah cukup jelas bahwa watak partai berubah. Sayangnya, alasan seperti ini membawa hanya kepada penampakan dangkal dari kebenaran, karena PKT menggulingkan rezim Chiang Kai-shek bukan melalui tindakan revolusioner kelas buruh memimpin massa kaum tani, melainkan dengan semata-mata mengandalkan pasukan kaum tani bersenjata. Oleh itu rezim yang barusan didirikan masih tetap borjuis. (Kita akan kembali ke pencirian rezim ini.) Jadi bagaimana bisa fakta ini dipakai sebagai kriteria menilai perubahan dalam watak partai? Sebaliknya, kita bisa katakan bahwa pada fakta bahwa PKT tidak memobilisir massa kaum buruh dan hanya bergantung kepada pasukan kaum tani bersenjata untuk merebut kekuasaan mengungkapkan watak borjuis kecil partai ini.

Adakah watak partai kemudian berubah setelah masuk ke kota-kota? Jawabannya lagi-lagi harus negatif. Suatu partai politik tidak pernah bisa mengubah komosisinya dalam dua puluh empat jam, khususnya pada kasus PKT, yang memiliki basis kaum tani yang besarnya tidak umum. Kita bisa yakin bahwa sampai saat ini PKT masihlah partai di mana mayoritas anggotanya kaum tani, dan karenanya wataknya sebagian besar masih borjuis kecil. Namun ini tidak bermaksud bahwa watak kaum tani partai bersifat tetap dan tak berubah-ubah. Faktanya, sejak partai ini merebut kekuasaan dan menduduki kota-kota besar, dalam kemauannya mencari dukungan di kalangan kelas buruh, ia telah menekankan secara empiris perekrutan anggotanya dari kaum buruh. Serentak, ia telah berhenti merekrut kaum tani sementara ke dalam partai. Mengikuti belokan ini, di masa depan memungkinkan bagi PKT mengubah bertahap komposisinya dari partai kaum tani borjuis kecil menjadi kurang lebih partai kaum buruh. Namun, ini masih kemungkinan ke depan dan tidak bisa menggantikan kenyataan hari ini.

Keputusan Pleno Ketujuh Sekretariat Internasionale menunjukkan: “Secara sosial, Partai Komunis Tiongkok adalah … partai bi-partit yang hingga saat ini hanya memiliki basis kecil di kalangan proletar perkotaan.”

Ini betul-betul sebuah pencirian yang sangat berhati-hati atas watak partai. Kalau penaksiran ini dianggap sebagai rumus ringkasan bagi periode peralihan ini yang mana PKT berupaya mengubah dirinya dari sebuah partai kaum tani menjadi partai kaum buruh (murni dari segi komposisi sosial), hal ini dapat diterima. Namun kita jangan lupakan pengajaran berharga yang diungkap kritik Trotsky atas “partai kaum buruh-kaum tani”: Setiap upaya mengorganisir partai kaum buruh-kaum tani di bawah keadaan masyarakat hari ini (termasuk di negeri-negeri terbelakang) adalah reaksioner, borjuis kecil, dan sangat berbahaya bagi revolusi proletar. Karena dalam “partai kaum buruh-kaum tani” bukan anasir proletar yang menyerap kaum tani melainkan sebaliknya, para anggota kaum tani membanjiri proletar. Oleh itu, dari sudut pandang revolusioner, mustahil bagi dua kelas untuk mempunyai bobot yang sama dalam partai bersama. Karenanya, “partai kaum buruh-kaum tani” yang terdiri dari dua kelas selalu menjadi alat reaksioner bagi politikus borjuis kecil mengelabui kelas buruh.

Dalam dokumen soal Tiongkok, Internasionale belum secara khusus menerangkan watak kelas rezim baru ini (kononnya Kediktatoran Demokratik Rakyat). Terlepas beberapa perbedaan pada tafsiran di kalangan kamerad di Tiongkok, pandangan umumnya ialah bahwa rezim ini berdiri di atas pondasi sosial borjuis kecil dengan kaum tani sebagai anasir utamanya, dan adalah kediktatoran militer Bonapartis. (Minoritas di Tiongkok menjadi pengecualian, karena mereka bersikeras bahwa rezim PKT mewakili “kapitalisme negara” atau “kolektivisme birokratis.”)

Karenanya, pada telaah terakhir melihat pendirian pokoknya pada hubungan hak milik, ia adalah rezim borjuis. Namun di sini, beberapa kamerad kami memegang pandangan berseberangan. Saya diberitahu salah satu kamerad bahwa rezim PKT adalah kediktatoran proletar. Meski dia tidak memberi alasan satupun, saya duga kemungkinan besar dia menarik simpulan ini dari rumusan bagi rezim PKY di Yugoslavia. Kita bisa cari pandangan lain dalam dokumen resmi yang melihat rezim PKT sebagai rezim bercirikan “kekuasaan ganda.”[9]

Akibat beragamnya gagasan yang muncul di kalangan kamerad di Internasionale kita, khususnya di kalangan kamerad pimpinan, hemat saya perlu dilakukan penerangan menyeluruh. Pertama-tama, mari mulai dengan gagasan “kediktatoran proletar.”

Guna menentukan watak suatu rezim, kita kaum Marxis harus memeriksa dua keadaan penting: hubungan kelas dan hubungan hak milik, yang disebut akhir lebih menentukan. Kita sebut rezim yang didirikan Bolshevik setelah revolusi Oktober di Rusia sebuah kediktatoran proletar karena kekuasaan sepenuhnya ada di tangan kaum proletar yang didukung oleh massa kaum tani meski belum ada perubahan pokok dalam hubungan hak milik pada kala itu. Perubahan dalam hubungan kelas cukup bagi kita menyebutnya kediktatoran proletar. Kita juga bisa sebut rezim PKY setelah 1947 sebuah kediktatoran proletar utamanya karena hubungan kepemilikan pada dasarnya telah diubah, yaitu dari hak pribadi menjadi hak milik negara. Terlepas fakta bahwa kekuasaan PKY tidak sepenuhnya dikendalikan oleh kaum proletar, dan masih ditandai oleh kecacatan birokratis tertentu, perubahan pokok dalam kepemilikan properti cukup mengkualifikasikan rezim ini sebagai kediktatoran proletar bercacat.

Namun apa keadaan sebenarnya dengan rezim bentukan PKT? Pada hubungan kelas, rezim ini mendaku sebagai pemerintahan koalisi empat kelas (buruh, tani, borjuis kecil, dan borjuis nasional). Karenanya sangat jelas bahwa rezim ini tidak dikendalikan atau “didikte” oleh proletar. Faktanya, landasan sosial rezim ini terdiri dari borjuis kecil, yang mana kaum tani menjadi mayoritas. Meski kelas borjuasi tidak memiliki peran menentukan dalam pemerintahan, tetapi dibandingkan dengan proletar masih menonjol (setidaknya dalam tampilan). Dalam hubungan hak milik, rezim ini bukan saja tidak menghapus sistem hak milik pribadi, tetapi sebaliknya sengaja memberlakukan hukum dan konstitusi guna melindungi kepemilikan pribadi; untuk membangun ekonomi melalui Demokrasi Baru, yaitu ekonomi non-sosialis. Karenanya patut dipertanyakan: atas dasar apa kita bisa cirikan rezim ini sebagai “kediktatoran proletar”? Argumen yang diajukan oleh Kamerad Germain soal “watak ganda” rezim baru ini adalah berikut: “dikehendaki atau tidak, pemerintahan ini mendapati dirinya terpaksa menerapkan kekuasaan ganda sejati di Selatan Tiongkok. Di tingkat provinsi dan distrik, mayoritas kader lama tetap bertahan; di tingkat lokal, musuh kelas mereka, kaum tani miskin dalam Perhimpunan Kaum Tani berupaya adil merebut semua kekuasaan yang ada meneruskan reforma agraria.”

Terlepas kekaburan pada bagian ini, tampaknya bermaksud bahwa kekuasaan di tingkat provinsi dan kabupaten berwatak borjuis, sementara di pedesaan kekuasaan ada di tangan kaum tani miskin. Mari anggap bahwa ini benar. Namun kita tidak bisa menyimpulkan dari sini bahwa rezim PKT di Selatan punya watak ganda, karena kekuasaan kaum tani miskin tidak sama dengan kekuasaan proletar. Paling-paling ia hanya bisa dianggap sebagai kekuasaan kaum tani borjuis kecil yang paling menyeluruh. Perubahan dalam watak borjuis kecil pada kekuasaan kaum tani miskin hanya mungkin bila ia di bawah kepemimpinan proletar perkotaan. Inilah tepatnya keadaan yang tidak dimiliki rezim saat ini, jadi gagasan watak ganda ini sangat lemah melawan kritikan.

Untuk memungkinkan para kamerad kita mengenali lebih konkret dan lebih jitu watak rezim baru ini, saya akan tunjukkan beberapa ciri-ciri pentingnya:

a. Dukungan utama rezim ini adalah pasukan kaum tani bersenjata yang besar, yang sepenuhnya di bawah kendali PKT yang sudah ter-Stalinisasi (terbirokratisasi). Karenanya PKT punya kendali mutlak dan kekuasaan mengambil keputusan atas rezim ini.

b. Wakil-wakil borjuasi dan lapisan atas borjuis kecil menduduki posisi terhormat rezim ini, tetapi mereka tidak punya fungsi penentu langsung. Mereka hanya dapat mempengaruhi rezim secara tak langsung melalui pengaruh ekonomi dan sosial mereka.

c. Meski segelintir individu dari kalangan kaum buruh telah ditunjuk terlibat dalam pemerintahan (sangat sedikit di jabatan penting), kelas buruh secara keseluruhan tetap dalam kedudukan bawahan. Massa kaum pekerja tidak punya hak mendasar untuk bebas memilih perwakilan mereka —seperti Soviet atau serupa komite perwakilan buruh, dll.— untuk terlibat dalam dan mengawasi rezim ini. Hak-hak politik umum —kebebasan bersuara, berkumpul dan berhimpun, penerbitan, keyakinan, dll.— sangat terbatas, dan bahkan sepenuhnya dilarang (seperti pemogokan). Akibatnya, meski kaum buruh dipuji sebagai “tuan” oleh rezim ini, kenyataannya hanya mempunyai hak mengajukan petisi dalam “batas hukum” untuk perbaikan kondisi hidup mereka.

d. Pada bidang sosial dan ekonomi, rezim telah meneruskan reforma lahan berskala besar, dan bersiap-siap menuntaskannya dan menyingkirkan sisa-sisa feodal “selangkah demi selangkah” —sejalan dengan kaedah birokratis PKT. Ini betul-betul sebuah reforma besar dan belum ada sebelumnya. Namun masih terbatas dalam acuan melestarikan “hak milik industri dan komersil” para tuan tanah dan petani kaya, dan pembelian lahan secara bebas, yaitu tidak melanggar hubungan hak milik kapitalis.

e. Pada hubungan hak milik kapitalis, dengan pengecualian properti yang dinasionalisasi sejak awal (kononnya kapital birokratis), yang mana rezim baru ini merampas dan mengubahnya menjadi properti yang dinasionalisasi, semua jenis hak milik pribadi lainnya tidak disentuh dan malah ditawari perlindungan melalui hukum. Terlepas hal ini, melalui regulasinya rezim baru ini menerapkan pembatasan relatif ketat pada kepentingan modal swasta. Hasilnya, kaum buruh di bawah rezim ini, meski masih berada dalam kedudukan buruh upahan, pada saat yang sama bisa menghindari pengisapan yang parah.

Dari ciri-ciri ini, kita dapat melihat jelas bahwa watak rezim ini tidaklah sederhana dan biasa. Karena rezim ini adalah hasil gabungan keadaan bersejarah luar biasa, wataknya dan wujud yang ia ambil sama-sama rumit dan ganjil. Hampir tidak mungkin menemukan rezim lain dalam sejarah modern yang menyerupainya. Jika kita membandingkan rezim ini dengan milik Jacobin selama Revolusi Perancis, ciri-cirinya mungkin akan lebih ketara.

Basis sosial Partai Jacobin kala itu adalah massa pekerja perkotaan —para “sansculottes.” Ia melakukan reforma lahan menyeluruh dan menghilangkan pengaruh feodal. Rezim PKT didirikan pada basis sosial borjuis kecil populasi pedesaan dan ia juga melakukan reforma lahan dan menghilangkan sisa-sisa feodal. Kedua rezim ini adalah kediktatoran yang sempurna. Dari segi-segi penting ini, dua rezim ini mengandung kemiripan satu sama lain. Namun zaman Jacobin adalah periode ketika kapitalisme masih dalam tahap embrionya. Reforma lahan dan pencabutan pengaruh feodalnya menuntaskan tugas bersejarah hebat bagi borjuasi, dan membuka jalan lebar bagi perkembangan kapitalis selanjutnya. Jadi rezim ini sepenuhnya revolusioner, dan hanya rezim bentukan Bolshevik Rusia yang telah mampu menyamai arti pentingnya. Zaman di mana PKT berada sepenuhnya berbeda: yaitu periode kemunduran total dan mendekati kejatuhan kapitalisme.

Pada zaman ini, kekuatan revolusioner sejati harus didirikan di atas basis sosial proletar (para “sansculotte” modern), bahkan di negeri-negeri terbelakang. Pengejawantahan reforma lahan tidak boleh dan tidak bisa membuka jalan demi perkembangan kapitalis tetapi harus segera membuka peluang bagi sosialisme. Karenanya ia harus melakukan sejalan dengan perampasan milik tuan tanah dan hak milik pribadi borjuasi. Beginilah yang telah dilakukan rezim Partai Bolshevik Rusia di bawah pimpinan Lenin dan Trotsky. Karena rezim PKT melakukan sebaliknya, pada telaah terakhir ia bertahap akan menjadi batu sandungan dalam perkembangan sejarah, dan reaksioner pada intinya.

Dalam hubungan kelas, kesimpulannya rezim ini melandaskan dirinya pada kaum tani borjuis kecil dan berupaya “menengahi” antara proletar dan borjuasi. Dalam hubungan hak milik, ia telah melenyapkan kepemilikan lahan feodal, membangun sistem lahan kapitalis, dan menasionalisasi sebagian besar pabrik. Di sisi lain, ia memberikan perlindungan atas hak milik pribadi kapitalis, dan berupaya “mengkoordinasikan” hubungan antara hak milik yang dinasionalisasi dan hak milik pribadi demi membangun ekonomi “Demokrasi Baru” dalam jangka panjang. Oleh itu, rezim ini sendiri penuh dengan pertentangan yang tidak sejalan dan mudah meledak. Dari sudut pandang bersejarah, ia hanya dapat berusia sangat pendek dan bersifat peralihan. Dalam perkembangan kejadian ke depan, ia akan diwajibkan memilih basis sosialnya antara proletar dan borjuasi, menentukan takdirnya antara sosialisme dan kapitalisme. Jika tidak, maka ia akan digulingkan oleh salah satu dari dua kelas ini, atau dihancurkan oleh keduanya, dan hanya menjadi sebuah episode sejarah.

Evolusi tindakan yang diambil oleh rezim baru

Untuk memberikan kejelasan dan kritik terhadap tindakan yang diambil rezim baru ini pada semua bidang ekonomi, sosial, dan politik dua tahun terakhir —berawal dengan Oktober 1949 ketika pemerintahan ini resmi diumumkan— akan memerlukan penulisan dokumen khusus untuk tujuan ini. Karena terbatasnya ruang dan kurangnya data yang memadai, laporan ini hanya bisa memberikan gambaran ringkas ciri-ciri penting dari tindakan-tindakan ini dan perubahan paling penting yang terjadi dalam arah rezim. Dalam hal ini, kami bersiap memasok materi lebih lanjut untuk rujukan tambahan.

Melihat watak-watak kebijakan dan perubahannya dari waktu ke waktu berkenaan evolusi tindakan-tindakan rezim, kita bisa mengambil pecahnya Perang Korea sebagai garis demarkasi dan membagi keseluruhannya ke dalam dua periode. Selama bulan-bulan awal periode pertama (Oktober 1949 ke Juni 1950), di bawah semboyan “Militer yang terutama!” yaitu membersihkan sisa pengaruh militer KMT di daratan, PKT mengerahkan seluruh upayanya pada bidang ekonomi dengan memeras uang dan pangan dari rakyat demi mendukun barisan dan menutup pengeluaran administrasi. Segi penting tindakan-tindakan ini adalah berikut:

Mereka memungut cukai besar pada semua industri dan komersil; memaksa pembelian obligasi, seperti “Obligasi Kemenangan,” “Obligasi Pendukung Barisan,” “Obligasi Patriotis,” dll.; dan mengambil bahan pangan dari pedesaan (kononnya sumbangan sukarela). Defisit anggaran diganjal dengan mengeluarkan mata uang kertas dalam jumlah besar. Reforma lahan ditangguhkan, dan gaji diturunkan, dll. Pada bidang politik, PKT rajin berdamai dengan para borjuasi, tuan tanah, dan petani kaya; dan menarik ke dalam dirinya segala rupa politikus borjuis dan borjuis kecil dan orang militer, termasuk beberapa birokrat dan agen Kuomintang, mencoba untuk mencerai-beraikan musuh dan memperkuat kekuasaannya sendiri. Namun rezim sebaik mungkin menekan aktivitas kaum buruh dan tani. Sering terdengar kasus kaum buruh ditangkap atau bahkan dibunuh karena memprotes dan mogok.

Semua tindakan ini mengakibatkan inflasi, penurunan standar hidup, pemiskinan seluruh masyarakat, dan semakin runtuhnya industri dan komersil. Kebanyakan pabrik dan toko sama sekali tidak mampu bertahan dan memohon izin resmi untuk tutup, atau langsung tutup begitu saja. Bahkan bagi yang tetap beroperasi tidak bisa membayar gaji dan upah pegawai mereka. Akibatnya kecemasan dan kebencian besar melanda kalangan borjuasi. Dengan penurunan upah —dibanding pengupahan selama pemerintahan KMT— dan pengurangan upah wajib melalui pembelian obligasi, kondisi kehidupan massa kaum buruh jadi makin merana. Namun mereka tidak ada cara mengungkapkan pandangan mereka atau menuntut perbaikan, dan secara umumnya kecewa dengan rezim baru ini, bahkan terang-terangan mengeluh terhadapnya.

Namun, dampak paling parah terjadi di pedesaan. Akibat terhentinya reforma lahan, massa kaum tani luas tidak mendapat manfaat malahan dipaksa terus-menerus menyumbang cukai dan pangan. Serentak, para tuan tanah dan petani kaya mengalihkan sebagian besar beban mereka ke atas pundak mass kaum tani dan bahkan harus “menyumbang” segenggam biji gandum terakhir yang dipakai sebagai benih, yang diperlukan untuk menyambung hidup mereka.

Mata pencaharian mereka dirampok, dipenuhi amarah, dan disulut lebih lanjut oleh para tuan tanah, petani kaya dan agen KMT — sebagian petani didorong melakukan pemberontakan terbuka. Ini termasuk menolak “menyumbang,” membentuk kelompok guna menjarah bahan pangan “publik,” dan bahkan mendukung gerombolan gerilya anti-komunis. Reaksi ini secara objektif menghidupkan pengaruh gerilya anti-komunis Kuomintang.

Pada musim semi 1950 keadaan ini mencapai titik genting. Saat itu organ kepemimpinan PKT terpaksa mengakui:

“Saat ini sistem feodal di pedesaan yang luas masih belum disingkirkan, luka perang masih belum sembuh, dan selain perampasan bahan pangan negara yang tak berimbang dan tak adil tahun lalu, para tuan tanah pelanggar hukum memanfaatkan peluang ini memindahkan beban mereka. Akibatnya kaum tani di banyak wilayah kekurangan pangan dan benih, dan susah meneruskan pertanian musim semi. Di wilayah yang dilanda kekeringan dan banjir, keadaannya jauh lebih buruk. Di saat yang sama terdapat beberapa agen khusus musuh, para bandit, yang memakai ancaman agar rakyat mengorganisir pemberontakan, merampas pangan negara, menyerang kelompok dan individu revolusioner, membuat kekacauan sosial, dan sabotase tatanan produksi … mencampakkan hubungan produktif dan tatanan sosial ke dalam kekacauan dan keadaan berbahaya.”[10]

Harian Yangtze, koran resmi terbitan di Hankow, merangkum situasi genting ini dalam kesimpulan berikut: “Inti dari krisis ini terletak di sini: akankah kaum tani mengikuti Partai Komunis dan Pemerintahan Rakyat-nya, atau para otokrat dan agen Kuomintang.”

Menghadapi krisis ini dan tekanan dari segala penjuru, khususnya dari massa kaum tani, industrialis dan pedagang — rezim ini dipaksa membelokkan kebijakannya. Belokan ini pertama kali muncul dalam pengumuman kembali reforma lahan, pada awal Maret 1950. Inilah kononnya reforma lahan bertahap. Ia diusulkan untuk memulainya dengan pembagi-bagian ulang lahan di utara Yangtze [Sungai Panjang], sementara di Selatan (tidak termasuk di Barat-Laut dan Barat-Daya) memulai dari perjuangan “melawan para otokrat kejam” dan “pengurangan sewa dan bunga.” Rezim juga merevisi Perundangan Pemungutan Pangan. Tindakan-tindakan ini berfungsi sebagai obat pereda perlawanan kaum tani. Pada waktu hampir bersamaan, ia menyatakan Perundangan Koordinasi Keuangan, yang kurang lebih meringankan beban cukai sambil menyatukan dan menstandarkan perpajakan di tingkat nasional. Hal ini sampai batas tertentu telah meredam kebencian para pembayar pajak dan cukup menstabilkan keuangan. Inflasi juga telah melambat.

Tindakan utama yang diambil untuk menjaga industri dan komersil adalah pengorganisiran umum “Konferensi Perundingan Perburuhan dan Modal.” Di bawah pengawasan dan wewenang pemerintahan, hasil dari ”perundingan” ini selalunya tidak menguntungkan para buruh. Demi menjaga pabrik dan toko-toko, para buruh dan pegawai dipaksa menurunkan atau bahkan kehilangan gaji mereka, atau harus undur diri ”sukarela” untuk terlibat dalam ”kerja pertanian di daerah asal mereka.” Terkadang mereka diminta untuk ”sukarela” memperpanjang jam kerja dengan tujuan mengurangi ongkos produksi. Tentu saja para industrialis dan pedagang cukup senang dengan hasil ini, sementara para buruh jadi semakin kesal.

Semua tindakan mendesak ini kemudian dibahas, diperbaiki dalam rapat Konferensi Perundingan Politik pada Mei 1950, dan diwujudkan ke dalam berbagai hukum dan perundangan —seperti UU Reforma Lahan, UU Serikat Buruh, dll.— yang diratifikasi oleh pemerintah dan menjadi dekrit. Selain itu, terdapat Laporan Koordinasi Keuangan dan Ekonomi yang juga diadopsi oleh konferensi ini, diratifikasi oleh pemerintah, dan dijalankan. Butir-butir dalam perundangan baru berikut layak kami perhatikan:

Pertama UU Reforma Lahan secara umum memiliki nadi yang sama dengan UU Lahan sebelumnya, kecuali bahwa ia menekankan “pentingnya melestarikan hak milik industri dan komersil para tuan tanah dan petani kaya” (menurut laporan Liú Shàoqí), dan melarang keras semua kekerasan: pemukulan, pembunuhan, penangkapan, dan mengarak keliling kriminal dengan sembrono (tercantum dalam arahan Kementerian Urusan Publik). Ini jelas dirancang guna melarang pengorganisiran spontan oleh massa untuk menggunakan kaedah revolusioner mereka dalam menghukum para tuan tanah, bangsawan, dan otokrat. Ia bertujuan menundukkan semua jenis perjuangan di bawah prosedur hukum dan patuh hukum, hal ini disebut oleh rezim sebagai “perjuangan rasional.”

Kedua, di bidang ekonomi ia mendukung para industrialis melalui pinjaman berbunga rendah; atau dengan memberikan yang disebut kerja lembur, di mana para pengurus perusahaan negara menawarkan bahan mentah, memberikan tenaga kerja tambahan, dan mengalokasikan sejumlah laba kepada para perusahaan swasta; atau dengan membeli komoditas para perusahaan swasta; atau dengan memberi fasilitas tambahan dalam pembelian bahan mentah, bbm, dan transportasi. Dengan tujuan ini ia juga menurunkan perdagangan negara demi melayani bisnis swasta. Dalam UU Serikat Buruh, ia mengakui hak kaum buruh menuntut perbaikan kondisi kehidupan mereka dalam batasan sesuai hukum. Jadi kaum buruh tetap tak berdaya jika “hukum tidak mengabulkan.” Selain itu, kewajiban pembelian obligasi dihentikan.

Ringkasnya kita bisa katakan bahwa belokan dalam kebijakan PKT ini bersemi dari perasaannya akan bahaya dari tekanan massa kaum tani dan borjuasi, yang telah menjadi penerima manfaat utama dari belokan ini dan meraih konsesi tertentu dari rezim ini. Kelas buruh, khususnya kaum buruh di perusahaan swasta, bukan saja cuma sedikit diuntungkan tetapi dalam banyak hal menjadi korbannya.

Pada periode kedua, sejak pecahnya Perang Korea sampai sekarang, tindakan-tindakan rezim umumnya berjalan sesuai dengan arah yang ditetapkan di bulan Mei oleh Konferensi Perundingan Politik. Namun, selama kampanye “Bantu Korea, Lawan America,” dan khususnya di bawah keharusan melakukan mobilisasi massa luas untuk terlibat dalam Perang Korea, PKT sekali lagi harus mengubah kebijakannya, atau membuat belokan lain.

Setelah blokade oleh imperialisme Amerika, pada bidang ekonomi pasokan bahan mentah dan mesin industri tertentu telah menurun hari demi hari. Dan karena keuangannya sendiri menghadapi kesulitan yang semakin besar, bantuan kepada perusahaan-perusahaan swasta juga menurun dan terbatas. Akibatnya, kebangkitan relatif perusahaan swasta mengalami kelumpuhan dan penurunan. Pemerintah berupaya memusatkan tenaganya pada perkembangan industri sektor negara dan menekankan pembangunan “swasembada industri berat.” Namun dikarenakan kekurangan modal dan perlengkapan, kemajuannya sangat sedikit. Pada bidang komersil, khususnya perdagangan luar negeri, kurang lebih ia telah mengambil kendali dari bisnis swasta, dan karenanya menyebabkan kelumpuhan komersil.

Sejak rezim memenangkan dukungan dari massa besar kaum tani untuk kampanye “Bantu Korea,” ia telah mempercepat langkah dan memperluas cakupan reforma agraria. Sampai batas tertentu bahkan mereka melonggarkan kendalinya terhadap kaum tani dan menguatkan dukungannya di kalangan kaum tani miskin. Contoh jelasnya dalam beberapa bulan terakhir ia telah menekankan soal peran kaum tani, khususnya kepentingan gerakan kaum tani miskin; upayanya membenahi penyimpangan oportunis kanan pada gerakan reforma lahan; dan penjatuhan hukuman kepada beberapa kader yang bertanggung jawab langsung atas pelaksanaan reforma lahan, ketika mereka melanggar “kehendak massa,” melakukan “kaedah birokratis,” atau kotor. Namun ini tidak berarti bahwa PKT memiliki keyakinan penuh terhadap massa kaum tani dan akan mengizinkan mereka bebas melakukan inisiatif revolusioner mereka, mengorganisir secara spontan pembagi-bagian lahan dan melakukan perjuangan revolusioner melawan kaum tuan tanah dan petani kaya. Faktanya, garis pokok “melindungi hak milik industri dan komersil para tuan tanah dan petani kaya,” atau “pelaksanaan bertahap reforma lahan,”dan “perjuangan rasional” masih berlaku. Hanya dalam praktik pelaksanaan kebijakan ini pengendalinya jadi tidak seketat sebelumnya.

Karena kebutuhannya untuk mendukung dalam Perang Korea, rezim telah melakukan perbaikan dalam kondisi hidup kaum buruh. Belakangan ia bertahap menaikkan gaji buruh di perusahaan negara dan cenderung lebih mendengar pendapat kaum buruh soal teknis produksi daripada sebelumnya. Namun kekuasaan eksekutif produksi masih digenggam para manajer atau komite yang ditunjuk eselon tinggi. Di bawah semboyan perlombaan meningkatkan produksi, di satu sisi sekelompok aristokrat buruh (para Stakhanovis) dibentuk dan membebani massa kaum buruh secara umum, memecah belah jajaran buruh.

Rezim menjadi jauh lebih toleran daripada sebelumnya dalam sikapnya terhadap perjuangan buruh di perusahaan swasta. Ia mengizinkan serikat-serikat buruh, “dengan syarat pada pokoknya tidak menghambat produksi,” untuk terlibat dalam “perjuangan legal” melawan kapital demi perbaikan kondisi hidup. Sejak saat itu, penurunan upah dan pemecatan buruh sewenang-wenang dikendalikan lebih ketat dibanding masa sebelumnya. Meski UU Jaminan Buruh yang baru disahkan masihlah setengah-setengah, umumnya ia telah benar-benar menghasilkan banyak perbaikan dalam kedudukan dan kehidupan massa kaum buruh. Namun hak-hak utama kelas buruh dalam politik dan dalam produksi —yaitu hak keterlibatan dan pengendalian dalam pemerintahan dan pengurusan pabrik— masih diabaikan.

Sejak pecahnya Perang Korea, aktivitas semua anasir reaksioner bangkit kembali. Ini telah memaksa PKT kurang lebih mengubah garis politik konsiliasi sebelumnya. Belokan baru ini terwujud dalam dorongan bergelora untuk “menekan kaum kontra-revolusioner.” Dalam kampanye ini ribuan kaum tuan tanah dan petani kaya reaksioner (“para otokrat lokal kejam,” sebagaimana mereka disebut), buruh pengkhianat, serta birokrat dan agen KMT telah dipenjarakan, diasingkan, dan dieksekusi. Selain itu sejumlah besar anasir “koneksi” dan pengikut Li Chi-shen dan “Liga Demokratik” mengalami nasib serupa. Bagaimanapun, ini menandai kemajuan besar dalam batas tertentu. Namun dorongan ini belum menyentuh sehelai rambut juru bicara kaum borjuasi sebenarnya, seperti para pemimpin Komite Revolusioner Kuomintang sesungguhnya, diwakili oleh Li Chi-shen, dan para pemimpin Liga Demokratik.

Di sisi lain, dengan dalih menekan “kaum kontra-revolusioner” serupa, anasir-anasir maju dan tidak puas di dalam kaum buruh dan kaum tani, khususnya kaum Trotskyis, ditindas, dipenjara, dan dibunuh. Ini hanya menunjukkan bahwa, bahkan ketika melakukan tindakan progresif terbatas tertentu, rezim ini masih membawa momok Stalinisme reaksioner.

Dalam hubungan internasionalnya, rezim ini betul-betul membuat kemajuan penting. Sesudah pendiriannya, ia memenangkan kemerdekaan politik besar dari imperialisme —seperti mengambil kantor pabean kembali dan membatalkan penempatan tentara asing di Tiongkok. Kita harus katakan bahwa ini membuka lembaran baru sejarah diplomatis Tiongkok modern. Namun dalam bidang ekonomi, ia masih menjamin “perlindungan hak milik semua orang asing di Tiongkok,” dan berupaya melakukan rujuk dengan imperialisme melalui persetujuan tersirat mereka terhadap pelestarian konsesi atas Hong Kong, Kowloon, dan Makau. Dengan pecahnya Perang Korea kebijakan luar negeri PKT menunjukkan perkembangan lebih lanjut.

Sebagai pembalasan atas blokade ekonomi dan pembekuan hak milik Tiongkok di Amerika Serikat, rezim PKT merampas bank-bank dan perusahaan AS, dan merebut semua sekolah, rumah sakit dan institusi sejenis yang dioperasikan orang asing. Terlebih, sebagai tindakan balasan atas perampasan kapal tanker yang “berontak” oleh pemerintah Hong Kong, Pemerintahan Rakyat menyatakan “perampasan” semua modal Perusahaan Asia Oil di Tiongkok. Meski tindakan-tindakan maju ini belum mengubah garis pokok “perlindungan segala hak milik asing di Tiongkok,” setidaknya ia telah mendorong rezim untuk sedikit banyak melanggar batas atas hak milik asing yang tidak dapat diganggu gugat.

Hasil lain campur tangan langsung PKT dalam Perang Korea dan tindakan yang diambil darinya yaitu kemerosotan besar kemungkinan kompromi dengan imperialisme Amerika —pemimpin dunia kapitalis. Faktanya, rezim Mao telah menjadi pemerintahan yang paling dibenci oleh imperialis Amerika di Asia.

Sejak awal sekali, karena asal usul sejarahnya dan ikatan geografis dan ekonominya, rezim ini cenderung bergantung dan tunduk dalam hubungannya dengan Uni Soviet. Sikap ini jelas tercermin dalam Perjanjian Bantuan Timbal Balik Sino-Soviet yang ditandatangani pada Februari 1950. Perjanjian ini pertama-tama ditujukan untuk meredakan kemarahan rakyat Tiongkok terhadap Uni Soviet. (Sudah ada reaksi sangat keras dan bermusuhan di kalangan lapisan luas rakyat Tiongkok, khususnya di kalangan kaum buruh Manchuria, sejak URSS merebut Port Arthur dan Dairen berdasarkan ketentuan Perjanjian Yalta, dan setelah ia memperoleh banyak privilese lain, seperti kendali bersama atas jalur kereta api Chungtung [Zhōngdōng, Tiongkok Timur] dan Ch’ang-ch’un [Chángchūn, Manchuria Selatan], dan khususnya setelah ia menghancurkan atau memindahkan mayoritas instalasi industri dan pertambangan di Manchuria.)

Selain itu, dibuat lebih bijak oleh pengalaman pahit kejadian di Yugoslavia, birokrasi Soviet telah belajar “menghormati kedaulatan dan kemerdekaan Pemerintahan Rakyat Tiongkok,” dan berjanji mengembalikan dua pelabuhan dan kendali atas jalur kereta api di Manchuria paling lambat tahun 1952. Apakah janji ini ditepati atau dilaksanakan pada tanggal tersebut, masih jadi persoalan terbuka.

Pada bidang ekonomi, perjanjian perdagangan dan kemitraan Sino-Soviet kebanyakan menguntungkan Uni Soviet. Hal ini cukup mirip dengan perjanjian yang ditandatangani bersama negeri-negeri Eropa Timur. Khususnya setelah pecahnya Perang Korea, kebergantungan rezim baru kepada Uni Soviet menjadi semakin dalam dan tak tergoyah. Dengan kata lain, kendali Uni Soviet atas pemerintah Tiongkok sebenarnya menjadi semakin kokoh dan tak terlepaskan. Melihat semata-mata dari sudut ini, Perang Korea bagaikan serangkaian rantai menjerat rezim PKT ke kereta perang Uni Soviet dan menyeretnya bersama angan kemerdekaannya.

Memang benar bahwa campur tangan rezim dalam Perang Korea telah besar-besaran meningkatkan pengaruhnya di kancah internasional, serta menaikkan kedudukan dan wibawanya di kalangan rakyat di dalam negeri. Namun kerusakan parah yang diterima dalam perang ini, baik sumber daya manusia dan materi, telah menimbulkan lebih banyak kesulitan dalam jalan pembangunan sosial dan ekonomi di Tiongkok, bahkan bagi tujuan terbatas yang ditetapkan PKT, karena pembangunan tersebut telah dibanjiri oleh kesulitan. Sementara, pengorbanan ini juga menimbulkan ketidakpuasan dan keluhan di kalangan massa. Jika perang terus berlanjut, dampak buruk di masa depan akan susah diperkirakan. Dari sudut pandang pertimbangan ini saja, pemerintah mungkin akan berundur dari perang atau mengurangkan keterlibatannya. Namun jika Kremlin bersikeras akan niatnya menggunakan perang untuk melemahkan PKT, mungkin perang akan semakin diperpanjang.

Selama dua tahun terakhir, ditarik ulur oleh pengaruh kuat dan rumit di dalam dan luar negeri, kebijakan rezim baru, baik di dalam dan luar negeri, terus berubah secara empiris. Umumnya, ia bergerak ke arah “kekirian.” Namun arah oportunis pokok dan kaedah administratif birokratisnya —garis “revolusi bertahap,” Demokrasi Baru, dan kolaborasi kelas— dan kendali sistematis dan terencana dari atas terhadap semua aktivitas massa masih dipertahankan sepenuhnya. Karenanya pertentangan dasar dan daya ledak yang terkandung dalam rezim —disebutkan dalam bagian sebelumnya— masih jauh dari dapat dilemahkan atau dikurangi oleh langkah yang diambil. Hal-hal ini bahkan menjadi semakin akut dengan logika perkembangan kejadian.

Pandangan untuk Tiongkok

Dengan kemenangan PKT, situasi baru telah muncul di Tiongkok —awal dari revolusi Tiongkok ketiga yang bercacat. Namun dengan ia menyerap segala pertentangan mendalam dan tajam pada hubungan sosial dan ekonomi, hubungan kelas, dan hubungan internasional, situasi ini hanya bersifat sementara. Ia akan tersalurkan ke dalam salah satu pandangan berikut.

A. Kambuh ke dalam kekuasaan reaksioner borjuasi

Dengan segala faktor dan keadaan objektif —perlindungan hubungan hak milik kapitalis di kota-kota dan pedesaan, pemeliharaan kekuasaan dan pengaruh politik tertentu oleh kaum borjuasi, kekecewaan dan penindasan proletar dalam kehidupan politik dan ekonomi, dan aparatur negara zalim yang dibentuk pada basis sosial borjuis kecil, kecenderungan korupsi— kita tidak bisa kesampingkan kemungkinan kemunduran menuju kekuasaan reaksioner borjuasi. Namun ini hanya bisa tercapai melalui pertumpahan darah kontra-revolusioner yang paling brutal. Namun, selama PKT memiliki otoritas penuh atas pasukan kaum tani bersenjata yang kuat, pandangan ini adalah hal yang mustahil.

Namun dalam kejadian bahwa kedua kejadian internal dan internasional berkembang secara tidak menguntungkan bersamaan, kemungkinan keruntuhan struktural rezim PKT bakal mendukung pemulihan kekuasaan borjuis. Khususnya jika perang dunia di masa depan pecah dan revolusi proletar di negeri-negeri lain tidak mampu bangkit tepat waktu — bersemangat mencampuri kejadian di Tiongkok, imperialisme Amerika, setelah menyarangkan pukulan militer mematikan kepada Uni Soviet, dapat membalikkan dan memimpin tentara Jepang dan Taiwan menyerang Tiongkok daratan. Ini akan membawa keruntuhan dan perpecahan tak terhindarkan rezim PKT, dengan beberapa anasir borjuis dan borjuis kecil tunduk kepada imperialisme Amerika. Kemudian pemerintahan borjuis reaksioner akan muncul kembali di panggung politik Tiongkok.

Tentu saja, ini pandangan yang terburuk dan cuma suatu kemungkinan. Namun tidak bijak kalau bulat-bulat mengecualikan ragam terburuk ini. Hanya dengan mengenali dan memahami pandangan terburuk ini, dengan pencegahan dan kewaspadaan kita, dan melalui upaya subjektif revolusioner kita, dapat kita cegah kemunculan dan perkembangannya.

B. Menuju jalan kediktatoran proletar revolusioner

Tindakan-tindakan progresif yang telah diterapkan secara objektif membangun landasan yang menguntungkan bagi perkembangan revolusioner. Ini mencakup perluasan bertahap reforma lahan; pembersihan meluas sisa-sisa feodal; nasionalisasi sebagian besar perusahaan dan hak milik, seperti industri dan pertambangan utama, alat transportasi, bank-bank besar, dll.; pembubaran pasukan reaksioner yang diwakili oleh para kelompok Chiang; relatif bangkitnya massa kaum tani luas; penghimpunan kelas buruh perkotaan, organisasi serikat buruh nasional; dan peningkatan bertahap tingkat kebudayaan dan kesadaran politik secara umum massa kaum buruh dan kaum tani (ditandai oleh kampanye literasi meluas dan legalisasi bacaan karya-karya Marx, Engels dan Lenin).

Rintangan utama pada jalan revolusioner adalah gigihnya oportunisme dan tiraninya birokatisme PKT. Namun dalam terbukanya kejadian menguntungkan di masa depan di dalam dan luar negeri, massa kaum buruh dan kaum tani akan mampu mendorong maju PKT dengan kekuatan mereka sendiri. Mereka dapat melayangkan pukulan kepada pengaruh reaksioner borjuasi, dan dengan mengamankan prasyarat perkembangan revolusioner tertentu, seperti hak demokratis tertentu, selangkah demi selangkah menuju jalan revolusi. Bahkan dalam kejadian perang dunia ketiga, jika akan ada kebangkitan gerakan revolusioner di dunia, massa kaum buruh dan kaum tani Tiongkok, dipicu oleh dorongan kuat revolusi di luar negeri, mungkin mampu menyerang oportunisme dan birokratisme PKT, mendorong perpecahan, dan membuat sayap kiri revolusioner dalam partai ini. Mereka kemudian membebaskan diri dari jeratan Stalinisme, dan lalu bergabung dengan gerakan Trotskyis masa kini. Ini akan membawa revolusi lurus menuju kediktatoran proletar, yang akan menuntaskan “revolusi Tiongkok ketiga” dan membuka pembangunan sosialis di masa depan.

Namun saya harus tunjukkan bahwa pandangan ini tidak akan mengulang kejadian di Yugoslavia, melainkan gerakan revolusioner yang lebih maju dan mendalam. Sangat kecil kemungkinan untuk pengulangan seperti itu, sederhananya karena Tiongkok negeri yang sangat berbeda dari Yugoslavia, baik dalam keadaan internal dan eksternalnya, khususnya setelah pecahnya Perang Korea. (Pada butir ini, saya dapat menawarkan penjelasan lanjut, jika perlu.)

C. Pembauran ke dalam Uni Soviet

Dua pandangan yang diajukan di atas hanya membahas hasil-hasil pokok kemungkinan perkembangan keadaan di Tiongkok. Namun, dengan latar kecacatan oportunis birokratis kepemimpinan PKT dan keakraban hubungan dengan Kremlin saat ini, dua pandangan ini akan menemui perlawanan sengit, karena keduanya akan berakibat fatal bagi kepemimpinan ini. Akibatnya, ia secara sadar atau tidak akan mengambil jalan ketiga —jalan pembauran bertahap ke dalam Uni Soviet. Yaitu, di bawah semakin mengancamnya pasukan borjuis reaksioner bersekutu dengan imperialisme dan semakin tumbuhnya ketidakpuasan dan tekanan massa, PKT secara empiris menyingkirkan bertahap partai-partai dan klik borjuis dari lapangan politik.

Melalui pembersihan dan penggabungan ia akan menihilkan faksi-faksi ini, dan pemerintahan koalisi sekaligus. Ia kemudian membentuk kediktatoran satu partai dalam nama dan kandungan, yang akan bersesuaian dengan yang mereka sebut “perubahan dari kediktatoran demokratis rakyat menjadi kediktatoran proletar.”

Pada bidang ekonomi, ia akan meneruskan proses bertahap perampasan hak milik pribadi borjuis dan sekaligus perluasan hak milik yang dinasionalisasi, mengikuti rumusan, “perkembangan dari ekonomi Demokrasi Baru menuju ekonomi sosialis.”

Di sisi lain, sementara melakukan langkah-langkah politik dan ekonomi ini, PKT akan membuat konsesi tertentu kepada tekanan massa untuk mempersenjatai dalam peringkusan pengaruh reaksioner. Namun ia tidak akan pernah melonggarkan cengkraman birokratisnya atas aktivitas revolusioner massa, khususnya kaum buruh dan kaum tani miskin, agar mereka tidak melampaui batas yang diizinkan atau mencampuri garis dasarnya.

Garis ini dapat disebut “Eropa-Timurisasi.” Namun perbedaan inti ada di antara kedua prosesnya. “Pembauran” negeri-negeri penyangga Eropa-Timur dicapai sepenuhnya di bawah kendali militer Kremlin dan melalui birokrat Stalinis yang ditunjuk langsung di negeri-negeri itu. Di Tiongkok, karena keluasan wilayahnya, besarnya populasi, dan pengaruh kuat PKT, dan ketiadaan Tentara Soviet, dan khususnya mengingat pengalaman di Yugoslavia, Kremlin hanya dapat mengandalkan keunggulan umum ekonomi dan militernya dan kendalinya atas Manchuria dan Sinkiang guna mengancam dan menekan PKT. Namun tampaknya ia masih akan memberi penghormatan tertentu bagi “kemerdekaan dan kedaulatan” rezim PKT dan mengizinkannya melakukan “inisiatif”-nya sendiri.

Pada dasarnya, pembauran ini bergantung sepenuhnya pada niat subjektif PKT sendiri. Namun kita jangan mengabaikan peran penting yang dapat dimainkan oleh kehendak subjektif partai yang berkuasa, yang menggenggam kekuatan material yang sangat besar —termasuk tentara kaum tani yang tangguh— setidaknya dalam keadaan khusus dan dan periode waktu tertentu. (Peran stalin dan kelompoknya dalam Uni Soviet adalah contoh nyata.)

Sebelum pecahnya perang dunia baru, dan ketiadaan pergolakan revolusioner lainnya di dunia, arah pembauran PKT ke dalam Uni Soviet paling memungkinkan dan wajar. Menolak kemungkinannya adalah tidak bijak serta berbahaya di bidang praktik politik. Namun begitu perang dunia ketiga pecah atau gerakan revolusioner baru — bangkit di negeri-negeri lain, proses pembauran PKT ini segera terhambat, dan keseluruhan keadaan di Tiongkok akan dipaksa menuju dua arah yang ditunjukkan di atas.

Kita juga harus tunjukkan bahwa proses pembauran ini tidak akan berjalan mulus dan merata. Sejalan dengan perkembangan keadaan, pertentangan mendasar dan akut melekat dalam rezim baru ini, dan pertentangan antara kepentingan revolusi Tiongkok dan kepentingan diplomatis Kremlin, pasti akan meletus dan berpadu menjadi gangguan atau tragedi yang dahsyat.

Umumnya, perkembangan keadaan di Tiongkok akan melambat dan berlarut-larut, dan akan susah menuju perubahan menentukan sebelum pecahnya perang besar yang akan datang. Oleh itu kita bisa katakan bahwa takdir Tiongkok pada akhirnya hanya akan terselesaikan melalui perang dunia ketiga dan kebangkitan revolusi dunia yang besar. Karenanya masih ada cukup waktu bagi kita bersiap-siap sebelum munculnya solusi tersebut.

Sikap dasar dan arah kita

Berdasarkan telaah dan penilaian di atas, kita harus terang-terangan mengakui bahwa situasi revolusioner baru bukan saja baru dimulai, tetapi sudah mencapai hasil-hasil tertentu, dan berkemungkinan terus berlanjut. Oleh itu kita menolak semua kritik sektarian dan pasif. Kita harus memadukan organisasi kita dalam arus utama gerakan ini, bergabung dalam perjuangan massa, dan melakukan upaya gigih mendorong gerakan ini menuju ke jalan kemenangan sejati. Sekaligus, kita harus sadari bahwa karena kepemimpinan birokratis dan oportunis PKT menyimpangkan revolusi ini, terus-menerus membuat kepincangan dan rintangan dalam perjalanannya, dan membawanya ke tepi jurang, kita harus menolak semua ilusi naif dan terlalu optimis.

Sikap dasar kita, dihadapkan dengan realita konkret ini, yaitu dengan segala bahaya dan kesulitan, kita harus menunjukkan kepada massa betapa besarnya pertentangan dan krisis yang ditimbulkan pada gerakan ini oleh garis birokratis dan oportunis PKT. Dengan kesabaran dan keteguhan, kita harus meyakinkan massa, meneguhkan mereka, dan membantu mereka mengatasi pertentangan dan krisis ini melalui upaya mereka sendiri dan mencapai kemenangan.

Arah dasar kami dalam mendorong revolusi ganjil ini menuju kemenangan sejati sebagai berikut:

a. Sepenuhnya melancarkan reforma lahan, memberantas sisa-sisa feodal, dan menasionalisasi lahan. Sambil merampas semua hak milik pribadi borjuasi, dan memiliknegarakan seutuhnya hak milik ini sebagai landasan bagi pembangunan sosialis.

b. Singkirkan pemerintahan koalisi kolaborasi kelas; sudahi kediktatoran militer Bonapartis; dirikan kediktatoran proletar memimpin kaum tani miskin; dan capai dengan cara ini persatuan nasional sejati di bawah sentralisme demokratis.

c. Nyatakan penghapusan perjanjian yang tak setara; rampas balik semua pendudukan dan konsesi (seperti Hong Kong, Kowloon, Makau, dll.); sita semua hak milik imperialis di Tiongkok; dan batalkan semua privilese milik birokrasi Soviet di Tiongkok —demi mencapai kemerdekaan nasional yang utuh dan sejati.

Untuk memperjuangkan pelaksanaan butir-butir arah dasar ini, partai kami harus merumuskan program tindakan konkret dan inklusif, yang mana kita harus tekankan bahwa kita mendukung setiap langkah progresif PKT, tetapi mengkritik langkah reaksioner apapun. Kapanpun dan di manapun kita harus lakukan perjuangan sebaik mungkin untuk memenangkan hak-hak demokratis dasar bagi kaum buruh dan kaum tani —seperti kebebasan bersuara, penerbitan, berhimpun, berasosiasi, keyakinan, mogok, dll.— dan memperjuangkan hak keterlibatan, pengawasan, dan pengendalian oleh kaum buruh dalam administrasi dan produksi. Kita juga harus berupaya mendirikan komite perwakilan (soviet) kaum buruh, kaum tani, dan kaum prajurit.

Karena organisasi kami saat ini masih sangat lemah dan menderita penganiayaan brutal dari rezim baru ini, kami masih jauh dari mampu mencampuri langsung dalam gerakan ini dan mempengaruhi kejadian. Namun karena kami tahu bahwa garis revolusi permanen Trotskyis kita adalah garis paling sesuai dengan logika objektif perkembangan revolusioner di Tiongkok, jika kita teguh dan berani berdiri dalam gerakan ini, dalam perjuangan massa, waspada dan sabar menerangkan kepada mereka untuk meyakinkan mereka, evolusi kejadian ini akan bertahap membantu kita memenangkan keyakinan massa. Dengan situasi baru, dalam kebangkitan gelombang revolusioner baru, kami akan diangkat ke posisi depan dan mengarahkan massa menuju jalan kemenangan.

Akhirnya, saya harus tambahkan bahwa kejadian di Tiongkok telah menimbulkan dampak penting di Timur Jauh dan bahkan di seluruh keadaan internasional yang layak perhatian khusus kita —dan bukan semata karena keluasan wilayahnya dan populasi besarnya. Kita harus memahami lanjut bahwa dari semua negeri-negeri terbelakang, Tiongkok adalah perwujudan paling khas hukum perkembangan tak merata dan tergabungkan.

Dalam separuh abad lalu serangkaian kejadian besar telah pecah di negeri ini —dua revolusi, beberapa perang sipil berkepanjangan, dan perang asing, dan revolusi ketiga yang baru mulai.

Selama dua puluh lima tahun ini, Trotsky dan Trotskyis Tiongkok di bawah kepemimpinannya telah terlibat langsung dalam sebagian besar kejadian ini, dan oleh itu telah menerima banyak pengalaman. Karenanya, solusi tepat persoalan Tiongkok bukan saja memiliki arti penting bagi gerakan Trotskyis Tiongkok masa depan, tetapi menjadi panduan berharga bagi Internasionale kita dalam memandu dan mengarahkan gerakan di Asia dan di semua negeri-negeri terbelakang lainnya, dan bahkan di negeri-negeri maju. Karena itulah saya ulangi lagi: saya harap bahwa para kamerad Internasionale kami, dalam membahas persoalan Tiongkok, tidak akan terjerat padanan formalistik dan konsep abstrak apapun, dan sungguh-sungguh menerapkan kaedah Marxis dalam menelaah kenyataan objektif demi mencapai kesimpulan memuaskan.

8 November 1951

Beberapa Catatan dan Perbaikan Tambahan untuk 'Laporan Keadan di Tiongkok'

Dengan menelaah fakta-fakta terbaru terkait perkembangan keadaan di Tiongkok dan setelah meneliti evolusi Yugoslavia dan negeri-negeri Eropa Timur, saya rasa perlu membuat catatan dan perbaikan tambahan atas telaah dan penilaian watak PKT dan rezimnya dalam “Laporan Keadan di Tiongkok” saya. Ini akan menyajikan bahan lebih konkret IEC (Komite Pelaksana Internasional) mendatang pada persoalan ini agar dapat mencapai kesimpulan konkret.

Tentang permasalahan watak PK Tiongkok

Pada persoalan ini, melihat fakta bahwa setelah kekalahan revolusi Tiongkok kedua PKT sepenuhnya meninggalkan gerakan kaum buruh di perkotaan, beralih ke pedesaan, menyerap sejumlah besar kaum tani ke dalam partai, dan memusatkan pada gerilya kaum tani, Trotsky dan Trotskyis Tiongkok menyatakan bahwa partai ini bertahap telah merosot dan menjadi partai borjuis kecil berbasiskan pada kaum tani. Namun beberapa kamerad memiliki keraguan atas hal ini dan berkata bahwa jika Trotsky menyatakan pandangan ini maka dia keliru. Itulah kenapa saya pikir perlu pertama-tama untuk memberi penjelasan dalam konteks fakta tertentu.

Dalam menilai watak partai, kita kaum Marxis melandaskan pada dua faktor pokok: komposisi partai dan haluan politiknya. Kika kaum buruh merupakan mayoritas partai, dan partai benar-benar mewakili kepentingan pokok kelas buruh, partai ini bisa disebut sehat atau partai buruh revolusioner. Jika buruh merupakan mayoritas partai dan kepemimpinan politiknya ialah jenis borjuis kecil atau oportunis reformis, kita masih menyebutnya partai buruh, tetapi bercacat atau partai buruh yang merosot. Jika borjuis kecil mendominasi komposisi sosialnya dan jika kepemimpinannya juga oportunis, bahkan jika ia berpura-pura jadi partai buruh, kita cuma bisa menyebutnya suatu partai borjuis kecil.

Mengenai evolusi dan komposisi PKT, pada periode akhir revolusi Tiongkok kedua ia memiliki sekitar 60.000 anggota, menurut laporan kepada Kongres Kelima partai pada April 1927 (tidak termasuk Pemuda Komunis, yang keanggotaannya lebih besar daripada partai). Buruh industri menyumbang 58 persen keanggotaan. Namun setelah kekalahan telak dalam revolusi dan beberapa petualangan insureksi ini, khususnya setelah kekalahan besar kebangkitan Kanton, kebanyakan buruh dikorbankan atau meninggalkan partai. Keanggotaan proletar merosot ke 10 persen pada 1928 dan 3 persen pada 1929 (lihat “Pada Persoalan Pengorganisasian” oleh Zhōu Ēnlái). Ia jatuh ke 2,5 persen pada Maret 1930 (Hóngqí [Bendera Merah], 26 Maret 1930), dan ke 1,6 persen pada September di tahun yang sama (“Laporan kepada Pleno Ketiga Komite Sentral Partai” oleh Zhōu Ēnlái).

Bolshevik terbitan 10 Oktober 1931 terang-terangan mengakui bahwa “persentase kaum buruh telah anjlok menjadi kurang dari 1 persen.” Setelah kebanyakan cabang buruh Shànghǎi dimenangkan oleh “Kelompok Trotskyis” Oposisi Kiri, Hóngqí mengeluh pada 23 Oktober 1933, bahwa di Shànghǎi, kota industri terbesar dalam negeri, “Tidak ada satupun cabang buruh.” Namun pada periode yang sama mereka berkata bahwa jumlah anggota meningkat ke 300.000 lebih. Ini bukti kuat bahwa PKT beranggotakan hampir sepenuhnya kaum tani. Justru karena itulah, Trotsky menarik kesimpulan:

“Stalinis di Tiongkok … pada tahun-tahun kontra-revolusi . . . beralih dari kaum proletar ke kaum tani, yaitu mereka menjalankan peran yang diemban oleh SR di negeri kita ketika mereka masih merupakan partai revolusioner. . . . Partai ini sungguh telah mencabut dirinya dari kelasnya”

Dan seterusnya:

“penyebab dan dasar bagi pertentangan di antara tentara, yang mana dalam komposisi adalah kaum tani dan kepemimpinannya adalah borjuis kecil, dan kaum buruh bukan saja tidak disingkirkan tetapi sebaliknya, semua keadaan sedemikian rupa besar-besaran meningkatkan kemungkinan dan bahkan keniscayaan pertentangan tersebut. . . .”

“Akibatnya tugas kita bukan saja dalam mencegah komando politik-militer atas kaum proletar oleh demokrasi borjuis kecil yang bersandar kepada kaum tani bersenjata, tetapi mempersiapkan dan memastikan kepemimpinan proletar pada gerakan kaum tani, khususnya “Tentara Merah”-nya.” [Trotsky, dalam surat kepada Oposisi Kiri dan catatan tambahan pada surat ini, 22 dan 26 September 1932. —Peng.]

Ketika PKT terpaksa kabur dari Selatan ke Utara, ke Yenan, jumlah anggota buruhnya semakin merosot karena keadaan di sana masih lebih primitif. Perekrutan anasir kaum buruh yang memungkinkan hanya dari para pengrajin pedesaan. Akibatnya atmosfer kaum tani borjuis kecil melingkupi seluruh partai dan resmi terkristalisasi dalam “teori kaum tani revolusioner.” Máo Zédōng dalam tesis “Tentang Demokrasi Baru”-nya terang-terangan menyatakan:

“Stalin telah berkata bahwa “intinya, persoalan kebangsaan adalah persoalan kaum tani.” Ini artinya bahwa intisari revolusi Tiongkok adalah revolusi kaum tani. . . . Intinya, politik Demokrasi Baru berarti memberikan kaum tani hak-hak mereka. Tiga Prinsip Rakyat yang baru dan sejati [Máo berpura-pura bahwa Demokrasi Barunya mengandung Tiga Prinsip Rakyat “sejati” warisan Sun Yat-sen guna membedakannya dengan prinsip “palsu” yang dianut Chiang Kai-shek] intisarinya adalah prinsip revolusi kaum tani.”

Kata-kata Máo Zédōng ini menegaskan bahwa PKT partai borjuis kecil bukan saja karena komposisi kaum taninya tetapi juga dalam ideologinya. Akibatnya, selama Perang Anti-Jepang dengan mendukung kepemimpinan KMT, PKT bukan saja bersikeras atas kolaborasi kelas dalam propagandanya tetapi terang-terangan menunjukkan dalam praktiknya bahwa “kaum buruh harus meningkatkan produksinya untuk membantu pemerintah dalam perlawanan bersama melawan Jepang.” Ia menolak “tuntutan berlebihan” yang diajukan kaum buruh kepada borjuasi nasional, menuduh bahwa kebijakan perjuangan kelas kaum Trotskyis adalah “kebijakan pengkhianatan untuk membantu musuh,” sehingga memfitnah kaum Trotskyis sebagai “pengkhianat.” Tentu saja, dalam perjuangan kaum buruh sesungguhnya PKT selalu berpihak kepada borjuasi nasional melawan tuntutan masuk akal kaum buruh, bahkan menggembosi perjuangan ini.

Sekaligus, PKT sebisa mungkin mendorong anasir kelas buruh yang paling aktif untuk meninggalkan perjuangan di perkotaan dan bergabung dengan kaum tani di pedesaan. Justru alasan inilah, meskipun PKT besar-besaran meningkatkan pasukan kaum tani bersenjatanya selama Perang Perlawanan, pengaruhnya di kalangan massa kaum buruh perkotaan tetap sangat lemah.

Setelah Perang Anti-Jepang memang benar bahwa PKT sekali lagi bergabung dalam gerakan buruh di kota-kota, merekrut kader dari kalangan kaum buruh dan mendirikan organisasi. Namun tujuan utamanya untuk meraup dukungan kaum buruh menekan Chiang Kai-shek agar menerima kompromi PKT dengannya dalam “pemerintahan koalisi.” Oleh itu, pada periode itu kebijakan PKT terhadap kaum buruh adalah menggiring massa kaum buruh berkompromi dengan borjuasi nasional dengan harapan melalui borjuasi nasional dapat menekan Chiang Kai-shek agar berhasil menyelesaikan perundingan dengannya. Hasilnya, pengaruh PKT di kalangan kaum buruh sangat rapuh.

Akhirnya, ketika PKT terpaksa melancarkan serangan umum balik melawan pemerintahan Chiang dan menduduki kota-kota besar, bukan saja ia tidak memberi seruan apapun kepada massa kaum buruh melancarkan suatu bentuk perjuangan, malahan ia sebisa mungkin mengekang aktivitas mereka. Seruannya satu-satunya adalah menyeru mereka untuk “melindungi produksi dan mengawasi para bandit Chiang Kai-shek yang menyabotase produksi.” Ketika PKT menduduki kota-kota ia memberlakukan pembatasan ketat atas semua aktivitas atau organisasi spontan kelas buruh.

Ketika kaum buruh melakukan mogok menuntut kenaikan upah atau menentang kondisi yang menindas, PKT menindas secara brutal, bahkan sampai membantai. Contohnya, para pemogok di beberapa pabrik di Tientsin ditangkap dan dieksekusi. Para buruh pabrik Shen Hsin nomor 9 (yang mempekerjakan 8.000 pekerja) diserang menggunakan senapan mesin karena mereka menolak meninggalkan kota dan pabrik; ada 300 korban jiwa lebih. Di tambang batubara Ching Hsing di Provinsi Hopeh, ketika para buruh berontak terhadap kekejaman dan kesombongan para penasihat dan spesialis Soviet,[11] PKT mengirim banyak prajurit untuk menindas pemberontakan. Ada 200 lebih korban jiwa atau buruh yang terluka dan lebih dari seribuan buruh diusir dan diasingkan ke Manchuria atau Siberia (ini terjadi pada Mei 1950).

Semua ini menunjukkan sikap partai borjuis kecil ini terhadap kelas buruh, suatu sikap tidak percaya, permusuhan dan bahkan amarah mematikan. Sebagian hal ini menegaskan prediksi dan peringatan yang dibuat Trotsky sembilan belas tahun silam. Jika massa kaum buruh perkotaan lebih bersatu di bawah kepemimpinan kekuatan revolusioner lain (kaum Trotskyis), kemungkinan besar PKT akan menggunakan perang sipil untuk menghajar kaum buruh. Seperti Trotsky katakan, “mereka akan menghasut kaum tani bersenjata melawan kaum buruh yang maju.”

Dari fakta-fakta bersejarah ini persoalan apakah penilaian Trotsky dan kaum Trotskyis Tiongkok atas watak PKT benar, dapat diserahkan kepada para kamerad yang meragukan hal tersebut untuk mengkaji ulang. Jika para kamerad memiliki fakta memadai dan alasan teoretis tepat untuk menunjukkan bahwa penilaian PKT oleh Trotsky dan kaum Trotskyis Tiongkok adalah salah, kami bersedia meninggalkan penilaian kami dan mengambil yang baru.

* * *
Ada satu segi lain persoalan ini. Memang benar bahwa PKT, melalui perubahan komposisinya, bertahap merosot menjadi partai borjuis kecil berbasiskan kaum tani. Ia menganut teori Máo Zédōng bahwa “revolusi Tiongkok pada intisarinya adalah revolusi kaum tani. . . . politik Demokrasi Baru berarti memberi kaum tani hak-hak mereka,” sebagai ideologinya. Namun saya perlu menekankan bahwa karena asal usul sejarahnya sebagai bagian dari Komunis Internasional, karena beberapa tradisi kelas buruhnya yang terpelihara dari revolusi kedua, karena kedekatan hubungannya dengan partai Stalinis internasional (yang meski sudah merosot masih tetap sebuah partai kaum buruh), dan karena dukungan umumnya atas Marxisme-Leninisme, kediktatoran proletar dan cita-cita komunisme, dll., kita harus akui bahwa bahkan ketika ia telah merosot menjadi partai kaum tani di dalam partai terpelihara kecenderungan tertentu terhadap kaum buruh. Namun kecenderungan ini dikekang dan diredam bertahun-tahun selama perang gerilya kaum tani.

Ketika partai ini memasuki kota-kota dan bersentuhan dengan massa kaum buruh, dan khususnya ketika ia segera memerlukan dukungan kelas buruh untuk melawan ancaman borjuasi dan imperialisme, kecenderungan buruh yang tersembunyi dan terkurung ini memiliki peluang untuk muncul dan memberikan tekanan kepada kepemimpinan partai. Ia menuntut pemindahan basis partai dari kaum tani kepada kelas buruh dan menyerukan pelonggaran tertentu bagi tuntutan-tuntutan massa kaum buruh. Kejadian dua tahun terakhir, dan khususnya enam bulan terakhir, telah jelas mencerminkan kecenderungan ini.

PKT memutuskan untuk menghentikan perekrutan kaum tani ke dalam partai dan menekankan pentingnya perekrutan kilat kaum buruh. Editorial Harian Rakyat [Rénmín Rìbào] pada 1 Juli 1950 pada hari lahir kedua puluh sembilan pendirian PKT, menekankan reforma dalam komposisi partai, yaitu menyerap kaum buruh ke dalam partai. Dikatakan juga bahwa dalam periode belakangan, dalam 6.648 anggota baru di Tientsin, 73 persen adalah buruh, dan dari 3.350 di Peking [Běijīng], lebih dari 50 persen adalah buruh.

Ringkasnya, berdasar fakta-fakta konkret ini telah ada sejumlah besar kaum buruh direkrut oleh PKT dalam dua tahun terakhir di kota-kota industri besar dan di pertambangan di Timur-Laut, di Shànghǎi, dan di Wǔhàn. Tentu saja, jika mempertimbangkan komposisi keseluruhan partai (menurut editorial yang sama dalam Harian Rakyat, terdapat 5 juta anggota dalam partai), jumlah buruh masih sangat sedikit. (Kao Kang, sekretaris untuk Distrik Timur-Laut, mengakui pada pidato 10 Januari kepada pimpinan partai bahwa “anasir kelas buruh dalam partai kita masih belum banyak.” Hal ini diberikan sebagai alasan utama untuk menjelaskan krisis saat ini atas kemunculan haluan sayap kanan di dalam partai dan merebaknya korupsi partai.)

Namun sikap PKT yang bersikeras merekrut kelas buruh demi mengubah komposisinya tak diragukan lagi telah memberikan dampak penting pada watak kelas partai.

Sikap ini kurang lebih tercermin dalam proses pelaksanaan reforma agraria. Menurut rencana reforma agraria yang disahkan oleh Konferensi Perundingan Politik PKT dan organisasi-organisasi lain dan partai-partai pada Mei 1950, penekanan khusus diberikan pada “perlindungan hak milik para tuan tanah dan petani kaya.” Dekrit menteri dalam negeri melarang keras “tindakan berlebihan” oleh kaum tani miskin terhadap para pemilik tanah dan petani kaya. Akibatnya, ketika proyek ini pertama kali dilaksanakan, bukan saja hak milik industri dan komersil para tuan tanah dan petani kaya dilindungi secara umum, tetapi di banyak tempat mereka memperoleh bagian tanah terbaik dan terbesar, dan bahkan melindungi kekuasaan lokal (seperti posisi ketua di Perhimpunan Kaum Tani atau di desa, dll.). Namun kemudian ketika massa kaum tani miskin bertahan bangkit selama gerakan berlangsung dengan tuntutan dan tekanan kaum tani miskin, para kader bawahan relatif mengubah proyek reforma agraria dan bahkan melanggarnya. Artinya, banyak hak milik industri dan komersil para tuan tanah dan petani kaya menjadi sasaran hukuman berat dari kaum tani miskin. (Laporan terbaru soal reforma agraria dalam koran-koran Tiongkok sering mengungkap fakta ini.)

Di hadapan haluan “kiri” para kader bawahan yang mengacaukan pedoman partai dan memposisikan diri mereka membela kepentingan massa, kepemimpinan PKT bukan saja tidak membalas atas perampasan ini malah sebaliknya secara umum ia setujui. Meski PKT belum mengubah secara mendasar kebijakan perlindungan hak milik industri dan komersil para tuan tanah dan petani kaya, bagaimanapun ada kecenderungan membela kepentingan kaum tani miskin, yang terwujud jelas pada jajaran kader bawahan dan di dalam partai. Hal ini khususnya patut jadi perhatian kita.

Dalam kampanye beberapa bulan terakhir, soal melawan korupsi, pemborosan, dan birokratisme, suatu kecenderungan kelas buruh anti-borjuis terungkap jelas dalam jajaran PKT. Alasan utama bagi kampanye ini bahwa fenomena korupsi, pemborosan dan birokrasi yang parah menampakkan dirinya di kalangan kader-kader PKT yang bertanggung jawab di dalam aparatur negara, ketentaraan dan organisasi massa, dan khususnya dalam bagian industri dan komersil dan koperasi yang mengurusi keuangan dan ekonomi.

Para kader ini bukan saja memperkaya diri dengan menyedot dana negara di bawah kuasanya atau memboroskan dana publik menjamin kenyamanan hidup mereka, tetapi juga mereka berasosiasi dengan anasir-anasir borjuis “untuk menjual informasi komersil, sumber daya negara, dan bahan mentah, untuk memangkas tenaga kerja dan meningkatkan ongkos [produksi] demi menjamin laba tambahan bagi para kapitalis. Kapitalis tidak ragu dalam memberi sejumlah sogokan untuk merusak anasir-anasir kotor ini.” (Lihat laporan Kao Kang dikutip di atas.)

Di satu lain, situasi ini menyebabkan kerugian besar keuangan dan ekonomi di berbagai lembaga negara, dan di sisi lain ia telah memicu ketidakpuasan massa, khususnya kaum buruh dalam jajaran partai. (Lihat laporan Kamerad Fang Hsing pada kampanye ini.)

Demi mempertahankan dirinya, kepemimpinan PKT terpaksa mengorganisir kampanye ini untuk memecat kader-kader busuk tertentu dan menyerang anasir borjuis tertentu sebagai cara meredakan ketidakpuasan dalam jajaran partai dan khususnya massa kaum buruh.

Korupsi dan kemerosotan kader-kader PKT di berbagai tingkat utamanya dikarenakan kebijakan oportunis kolaborasi kelas dan praktik birokratis yang melanggar demokrasi buruh. Kampanye melawan korupsi, pemborosan dan birokratisme ini secara pokok tidak mengubah oportunisme dan birokratisme PKT; karena juga dilancarkan melalui kaedah birokratis. Kecenderungan korupsi di dalam partai tentu tidak akan terhapuskan dengan cara ini. Setidaknya, kecenderungan kelas buruh anti-borjuis dalam PKT semakin kokoh melalui kampanye ini.

Karena gerakan ini, kepemimpinan utama PKT meski hanya dalam lisan, bersikeras dalam “pentingnya mengenali pengaruh korosif ideologi borjuis dalam partai dan bahaya yang ditimbulkan oleh haluan sayap kanan dalam partai.” Mereka juga katakan bahwa “menyandarkan diri pada borjuasi artinya meninggalkan kelas buruh, massa rakyat serta peran partai dan negeri” (Lihat laporan Kao Kang dikutip di atas). Faktanya, mereka telah kurang lebih menerima seruan dan tuntutan massa buruh.

Contohnya, di semua koran — mereka sekarang menerbitkan gambaran penindasan dan pengisapan kaum buruh dalam perusahaan negara beberapa tahun ini yang dilakukan kader-kader PKT. Hal ini melengkapi laporan yang dibuat sekarang dengan dalih menunjukkan “pelanggaran dekrit” yang mengungkap berbagai kaedah pengisapan dan penindasan yang digunakan oleh para kapitalis swasta. Hal seperti ini jarang diangkat sebelumnya dan terlarang untuk mencela mereka terang-terangan. Pendapat publik PKT mengenali ini dan menganggap perlu melakukan perbaikan tertentu.

Dari fakta-fakta dikutip di atas mengenai komposisi sosial PKT, kita bisa katakan bahwa meski anasir kaum tani dan borjuis kecil lainnya masih mendominasi (90 persen lebih dari 5 juta anggota), anasir buruh telah meningkat jumlahnya dalam dua tahun terakhir. Kecenderungan kelas buruh semakin menguat selama reforma agraria dan kampanye melawan korupsi, dll. Karena itulah sampai saat ini PKT memiliki watak ganda. Dari sudut pandang kecenderungan komposisinya, mengingat adanya percepatan sistematis dalam perekrutan kaum buruh dan menghentikan perekrutan kaum tani, partai ini sedang dalam tahap peralihan menjadi partai buruh.

Dari sudut pandang ideologi, kita bisa lihat tiga haluan berbeda dalam PKT: haluan kanan mewakili lapisan atas borjuis kecil perkotaan dan petani kaya; haluan kiri mewakili kaum buruh dan kaum tani miskin; dan haluan sentris di tengah diwakili oleh para pucuk pimpinan. Sewajarnya, tiga haluan ini, dan khususnya kanan dan kiri, masih samar dan jauh dari terkristalisasi. Namun dalam perkembangan perjuangan kelas selanjutnya, haluan ke arah kanan dan kiri ini bertahap akan terkristalisasi dan membawa pembedaan secara organisasi. Akhirnya, ketika situasi internasional dan nasional mencapai tahap sangat menentukan, partai ini pasti akan mengarah pada pembelahan.

Tentang watak rezim baru

Jika kita menilai ulang watak partai sebagai bersifat ganda, kebergandaan ini sewajarnya mempengaruhi watak rezim baru yang dikendalikan oleh partai ini. Mengingat kepentingan nasionalisasi perusahaan, watak ganda rezim ini jadi semakin nyata.

Tentu saja rezim baru yang dikendalikan PKT cukup berbeda dari kekuasaan ganda yang dimaksud Lenin setelah revolusi Februari Rusia, dan dari bentuk klasik kekuasaan ganda. Ini adalah kekuasaan ganda jenis istimewa yang tercipta oleh keadaan luar biasa. Kebergandaan ini sepadan dengan periode peralihan di Yugoslavia dan di negeri-negeri Eropa Timur. Akibatnya, rezim baru bentukan PKT hanya dapat berbentuk peralihan yang mana akan menuju ke arah kediktatoran proletar —biasa atau ganjil— atau mundur menuju kediktatoran borjuasi. Namun melihat kecenderungan saat ini, ia bergerak menuju kediktatoran proletar bercacat. Oleh itu, sejauh menyangkut pandangannya, saya pertahankan pandangan saya sebelumnya.

10 Mei 1952

Catatan kaki

1.Zhōu Ēnlái adalah perwakilan berwewenang penuh yang dikirim ke Sian oleh PKT untuk berunding dengan Chang Hsueh-liang tentang membebaskan Chiang Kai-shek, dan bernegosiasi langsung dengan Chiang dengan syarat “kolaborasi antara Kuomintang dan PKT”

2.Lihat “Keputusan atas Revolusi Yugoslavia” yang disahkan Pleno Kesembilan IEC, dan “Tentang Watak Kelas Yugoslavia” oleh Kamerad Pablo.

3.Selama Kongres Ketiga Internasionale Keempat, dalam laporan saya menyampaikan kedudukan yang disahkan oleh kepemimpinan tentang watak PKY. Pada saat itu, saya baru saja sampai di Perancis belum memperoleh informasi baru tentang PKY dan, belum sempat mempelajari persoalan ini, saya mendasarkan kedudukan saya pada informasi yang diberikan dalam kongres. Setelah Perang Korea, di mana PKY bergabung dengan kubu imperialisme, saya segera memulai kajian serius atas perkembangan PKY. Kesimpulan saya adalah bahwa PKY masihlah partai Stalinis dan bahwa pertentangan antara Tito dan Stalin pada 1949, perselisihan di kalangan birokrat, tidak mengubah watak partai tersebut.

4.Faktanya, kendali ini diterapkan melalui pertarungan internal. Ketika Uni Soviet mulai mempersenjatai pasukan Lín Biāo dan para jenderal lainnya, ia mengungkapkan kewaspadaan terkait Máo Zédōng dan mendukung Li Li-san, musuh bebuyutan Máo, agar menjadi pimpinan politik tentara Komunis di Manchuria dan jubir partai. Oleh itu, Moskwa berniat menyeret Máo Zédōng dan menjinakkannya. Namun, ini segera memicu perlawanan dari sisi Máo. Di satu sisi, dia menyuruh Liú Shàoqí membuat pernyataan publik menyatakan bahwa Li Li-san tidak berwenang berbicara atas nama Komite Sentral PKT (sekitar akhir 1945). Sekaligus, dia memobilisir “kampanye ideologis” besar di dalam partai melawan “Li Li-sanisme” (atau “sektarianisme”).

Melihat situasi ini, dan khawatir akan akibat yang tidak diinginkan, Kremlin mengirim misi khusus untuk bernegosiasi dengan Máo Zédōng, yang setuju menaruh “kepercayaan penuh kepadanya” dan “menolongnya,” asalkan dia akan “setia melaksanakan garis internasional.” Tentu saja, Máo setuju atas syarat-syarat ini, dan pada gilirannya mendapat kepercayaan Kremlin. Kemudian Li Li-san dicopot dari jabatan dan menggantinya dengan orang lain yang diutus Máo. Hanya setelah perseteruan antara Máo dan Li akhirnya reda Máo menjadi semakin hati-hati dan teliti dalam menunjukkan kepatuhan dan dukungannya ke Uni Soviet dan melancarkan arahannya.

5.Ketidaksetujuan pertama yang muncul dalam tulisan adalah “Kepentingan dan Hakikat Kemenangan Gerakan Stalinis Tiongkok,” suatu artikel tulisan Kamerad Chiao dan Ma, diterbitkan dalam edisi Tiongkok Internasionale Keempat, vol. 1, no. 2, April 1950.

6.Lihat “Kenapa Perang Sipil Ini Disebut Revolusi dan Kepentingan Pengakuan Ini.”

7.Lihat “Keputusan pada Perang Sipil Tiongkok” disahkan oleh partai kami pada Januari 1947 dan keputusan Internasionale “Perjuangan Rakyat Kolonial dan Revolusi Dunia,” disahkan oleh Kongres Dunia Kedua.

8.Semua gagasan ini bisa ditemukan dalam beberapa artikel tulisan Trotsky pada persoalan Tiongkok dan dalam suratnya kepada para kamerad di Tiongkok.

9.Lihat “Revolusi Tiongkok Ketiga” Kamerad Germain pada edisi Januari-Februari 1951 Internasionale Keempat.

10.Lihat pengumuman Komite Militer dan Politik Wilayah Sentral-Selatan, diterbitkan di Hong Kong Wen-hui Pao, 6 Maret 1950.

11.Sejak tambang ini memproduksi kualitas batubara lebih baik yang dapat dipakai dalam pembuatan baja, Uni Soviet mengirim para penasihat dan spesialisnya untuk mengendalikan pertambangan ini untuk meraup produksinya bagi URSS. Pengaturan ini mungkin telah diubah dengan Bantuan Timbal Balik Sino-Soviet dan Perjanjian Pendampingan.