Langsung ke konten utama

Perkuat Aksi dan Rebut Kembali Ruang Demokrasi

Joni D., J. Salim dan al-Ahmad

IKLIM POLITIK MENUJU PEMILU

Momentum 5 tahunan yang katanya merupakan pesta demokrasi bagi rakyat Indonesia sudah di depan mata. Di depan kita disajikan 3 paslon yang saling bertarung dari tiap-tiap koalisi politik yang dibentuk oleh partai-partai yang mengaku merakyat serta berpegang pada Pancasila dengan beragam “programnya.” Meski nampak saling bertarung, partai-partai tersebut sejatinya dikuasai dan disetir oleh golongan-golongan yang sama; golongan pemodal, elit penguasa, bahkan kepentingan Imperialis AS dan sekutunya.

Paslon AMIN, Anies dan Cak Imim, diusung oleh Koalisi Perubahan besutan Nasdem, PKB dan PKS. Bukan rahasia lagi kalau Nasdem dipimpin oleh Surya Paloh yang terkenal sebagai konglomerat media,[1] serta Rachmat Gobel yang merupakan elit Nasdem sekaligus pengusaha. Tak hanya diisi oleh pengusaha, Nasdem juga memiliki kedekatan dengan AS sejak lama dan sempat menerima kunjungan serta menerima pujian dari IRI (International Republican Institute) pada 2019 silam.[2] Sementara PKS juga sempat dikunjungi oleh dubes AS pada awal Februari 2023 lalu,[3] yang disinyalir sebagai bentuk dukungan AS kepada PKS apabila mereka mendukung Anies dalam Koalisi Perubahan dan memenangkan pemilu. Menurut pakar Anies juga merupakan anak emas AS melihat kecenderungan politik serta rekam jejak studinya di AS.[4] Tak hanya itu, paslon AMIN ini juga mendapatkan dukungan dari Jusuf Kalla, seorang konglomerat pemilik Kalla Group, meskipun keputusannya ini bertentangan dengan putusan partainya, Partai Golkar.

Prabowo-Gibran yang diusung Koalisi Indonesia Maju, didukung oleh partai-partai besar seperti Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, PBB, serta PSI, Garuda, dan Gelora. Seperti diketahui publik pengusaha-pengusaha besar, kaum pemodal, seperti Hashim Djojohadikusumo, Airlangga Hartarto, Aburizal Bakrie, dan Luhut Binsar Panjaitan merupakan penyokong-penyokong utama paslon ini dengan ketua timses yang juga merupakan pengusaha sekaligus mantan pengurus KADIN (Kamar Dagang dan Industri Indonesia), yaitu Rosan Roeslani. Tak luput juga Titiek Soeharto, anak daripada Soeharto alias bagian dari keluarga cendana sebagai penasehat timses. Disinyalir ada campur tangan Jokowi dalam mengotak-atik regulasi ambang batas usia minimal calon wakil presiden,[5] sehingga dia berhasil menaikkan anaknya sendiri sebagai cawapres koalisi ini dan langsung mendapat serangan dari media-media pro-Barat.[6] Bisa dikatakan ini merupakan kelanjutan dari strategi Jokowi dalam menggandeng elit-elit politik dari kaum pemodal, atau borjuasi nasional, bahkan mereka yang pernah berada di kubu “oposisi.”

Hal yang serupa juga bisa kita lihat di kubu Ganjar-Mahfud. Pasangan yang diusung oleh PDI-P, PPP, Hanura dan Perindo ini memiliki sederet nama pebisnis seperti Sandiaga Uno, Hary Tanoe, Denon Prawiraatmadja, Orias Petrus Moedak, Bagas Adhadirga, Oesman Sapta Odang, dan Hapsoro Sukmonohadi, sementara ketua Tim Pemenangan Nasionalnya dipimpin oleh Arsjad Rasjid, seorang pebisnis yang merupakan ketua KADIN periode 2021-2026. Sederet nama ini menguasai bisnis seperti media massa (Hary Tanoe), migas/energi (Oso, Orias Petrus Moedak dan Sandiaga), serta transportasi (Bagas Adhadirga dan Denon Prawiraatmadja).[7]

Keterlibatan kaum pemodal dalam lingkaran kekuasaan negara memang bukan suatu rahasia lagi. Dilansir dari Marepus Corner, setidaknya terdapat 55% pemodal yang menduduki kursi DPR RI. Dominasi kaum pemodal di kursi DPR RI sebagian besar berasal dari sektor teknologi, industri, manufaktur, dan retail, serta di sektor energi dan migas.[8] Besarnya dominasi kepentingan kaum pemodal ini baru di lembaga legislatifnya saja, kita belum lagi bicara soal lembaga eksekutifnya, yudikatifnya, bahkan di ranah militernya![9]

Lahan di Sekitar Kontestan. Sumber: Koran Tempo
Para politisi-konglomerat yang menggunakan tanah HGU seperti Prabowo memiliki setidaknya 9 perusahaan yang beroperasi di lahan seluas 2 ribu hingga 187 ribu Ha. Surya Paloh memiliki 2 perusahaan di lahan seluas 4 ribu dan 10 ribu Ha. Oso memiliki 2 perusahaan di lahan seluas 4 ribu dan 27 ribu Ha. Luhut memiliki 4 perusahaan di lahan seluas 683 hingga 8 ribu Ha. Hary Tanoe 7 perusahaan di lahan seluas 2 ribu hingga 15 ribu Ha. Sementara Erick Thohir melalui kakaknya memiliki perusahaan di lahan seluas 482 ribu Ha.[10] Apabila merujuk pada peraturan pemerintah no. 40 tahun 1996, seseorang secara pribadi berhak mengolah lahan HGU maksimal sebesar 25 Ha, sementara itu suatu perusahaan atau badan hukum, pemerintah melalui menteri boleh mempertimbangkan berapa luas maksimum lahan yang dapat diberikan.

Dengan demikian, apa yang sempat menjadi bahan perbincangan di debat ketiga capres lalu terkait luasnya lahan yang dikuasai oleh Prabowo pada dasarnya bukan suatu hal yang aneh. Alih-alih menundukkan, pada kenyataannya negara malah melindungi para politisi-konglomerat yang menguasai ribuan hektar tanah seperti Prabowo dan pemodal lainnya itu.[11] Mengapa sikap negara berbeda bila berhadapan dengan kepemilikan lahan yang dikuasai oleh perusahaan milik konglomerat? Mengapa negara menerbitkan undang-undang yang membuka peluang bagi perusahaan para konglomerat untuk menguasai lahan seluas-luasnya? Bukankah lembeknya sikap mereka itu suatu bukti kepada siapa negara berpihak? Ini baru soal penguasaan lahan, belum lagi soal putusan-putusan lain yang dikeluarkan oleh pemerintah, seperti Omnibus Law Cipta Kerja, yang jelas bukan diperuntukkan demi kesejahteraan massa rakyat tertindas, melainkan untuk keuntungan segelintir elit pemodal, baik yang “oposisi” maupun petahana.

Bila kita menengok besarnya dominasi para pemodal di masing-masing koalisi, tampaklah betul betapa munafiknya jargon “merakyat” yang seringkali digembar-gemborkan mereka itu. Alih-alih merakyat, ketiga paslon ini justru dikuasai oleh kepentingan segelintir populasi yang merupakan elit pemodal yang menguasai dan mengambil keuntungan dari menghisap keringat mayoritas rakyat Indonesia. Tak hanya elit pemodal lokal, kaum imperialis pun seperti Amerika Serikat juga turut terlibat dalam mendukung jago-jagonya dalam pemilu 2024.

CAMPUR TANGAN KAUM IMPERIALIS DALAM PEMILU BORJUIS

Keterlibatan agensi AS bagaimanapun tidak semata ada di dalam satu kubu paslon. Ya, AS yang setia mendanai dan membela Zionis Israel dalam menggusur, membunuh dan membantai rakyat Palestina itu. Sejak kemenangan blok sekutu pada PD ke-2, secara signifikan AS mengambil tampuk kekuasaan global dengan bekingan negara-negara adidaya sekutu lainnya dalam melakukan manuver dan campur tangan hampir di seluruh penjuru dunia memaksakan agar mayoritas negara-negara dunia mengakomodasi kepentingan-kepentingan mereka. Salah satunya mendirikan Israel pada 1948. Kasus yang terbaru seperti bagaimana campur tangan AS dalam pemilu di Filipina yang dimenangkan oleh 'Bongbong' Marcos, di mana AS menodong 'Bongbong' menggunakan kasus pelanggaran hak asasi pemerintahan diktator ayahnya dahulu,[12] Ferdinand Marcos, sehingga kini 'Bongbong' menggelar karpet merah perluasan pangkalan militer AS di Filipina.[13] Ada juga kasus kudeta atas PM Imran Khan di Pakistan dikarenakan kedekatannya dengan Tiongkok dan Rusia[14] sehingga dibenci bohir-bohir imperialis AS. Terlebih apabila kita mengingat bagaimana keterlibatan AS/CIA menggunakan Adam Malik, agen CIA,[15] dan Ford Foundation (yang saat ini merupakan salah satu donatur Indonesia Corruption Watch)[16] dalam menaikan Suharto menggusur Sukarno dari kekuasaan. Tentunya hajatan 5 tahunan di negeri kita tak luput dari sasaran mereka.

4 institusi satelit NED. Sumber: Voltaire Network
Tak lama setelah tumbangnya Suharto yang merupakan Boneka AS yang paling mudah dikendalikan, IRI mendirikan cabangnya di Indonesia pada 1998[17] dan mengintervensi kehidupan sipil demokratis demi mengisi “kekosongan” yang ditinggalkan Suharto, si anak emas AS di Indonesia. IRI merupakan organisasi yang kononnya adalah LSM/NGO (Non-Governmental Organization) namun sejatinya dibiayai oleh Pemerintah AS melalui NED (National Endowment for Democracy). NED bersama USAID menggelontorkan dana kepada agensi-agensinya yaitu IRI (milik Partai Republikan AS), NDI (National Democratic Institute for International Affairs, milik Partai Demokrat AS), CIPE (Center for International Private Enterprise, 'LSM' untuk mengintervensi kaum pemodal), dan Solidarity Center ('LSM' untuk mengintervensi serikat buruh).[18] Di Indonesia, IRI mencetak aktor-aktor lapangan dari gerakan-gerakan sipil dan tentunya juga dari parpol-parpol guna menerjemahkan kebijakan luar negeri AS ke dalam aksi dan kebijakan-kebijakan parpol di parlemen. Misalnya melalui forum Emerging Leaders Academy yang diselenggarakan pada Februari 2021 dan diikuti oleh kader-kader Partai Demokrat, Golkar, Nasdem, PKB, dan PSI.[19]

Tak lupa pula di jajaran media massa terdapat peran-peran media barat yang turut membentuk opini publik, seperti CNN (Kanal milik konglomerat media Warner Bros AS) dan CNBC (kanal media yang disubsidi pemerintah AS dan rajin menggiring opini pemilu di AS) yang keduanya mencangkokkan diri di Indonesia melalui Trans Media Corp milik Chairul Tanjung, serta BBC News yang dimiliki oleh pemerintah Inggris. Lagi-lagi AS dan Inggris, kekuatan imperialis yang mendanai, membela dan tutup mata atas kelakuan Zionis Israel laknatullah, penjajah dan pembantai rakyat Palestina. Dengan begini kekuatan imperialis menggunakan cara yang mutakhir untuk menggali informasi, bukan lagi hanya berpaku menggunakan agen mata-mata, tetapi juga menggunakan wartawan-wartawan lokal dalam menghimpun informasi dan merajut narasi sesuai kepentingan Barat melalui media massa yang bercokol secara legal di tanah air kita. Campur tangan kekuatan imperialis menyebar secara masif dan terstruktur ke lapisan masyarakat Indonesia melalui banyak cara. Jangan heran apabila opini publik secara sadar maupun tidak sadar digiring untuk pro atau kontra terhadap satu paslon dan lainnya sehingga menimbulkan pertikaian horizontal.

Campur tangan Amerika Serikat sebagai kekuatan imperialis dalam pemilu 2024 di Indonesia bukanlah tanpa landasan ekonomi yang jelas. Indonesia memiliki empat sumber daya mineral yang penting untuk keberlangsungan industri masa depan AS, hal ini dapat dilihat dari pernyataan Departemen Energi Amerika Serikat yang dimuat dalam artikel berita internasional Kompas.id.[20] Kita perlu ingat juga bagaimana Indonesia melalui BUMN Inalum (sekarang di bawah BUMN MIND ID) mengakuisisi 51.2% saham PT Freeport Indonesia melalui pembelian, sehingga dividen pada 2023 diperkirakan sebesar 1,5 miliar USD.[21] Tambah lagi Jokowi tengah memproses Peraturan Pemerintah terkait rencana penambahan 10% saham MIND ID atas Freeport menjadi 61%.[22] Tampaklah kepentingan pemerintah AS ini muncul atas ketidakpastian soal suku bunga inti, arah pasar dan regulasi pemerintah hingga aturan main yang berhubungan dengan bisnis imperialis mereka.

Singkat cerita AS tengah mengalami pelemahan dominasi mereka di berbagai belahan dunia. Proses bergantian dan ketidakjelasan ini terjadi di Afrika, Ukraina-Rusia, Amerika Latin, Timur Tengah dan wilayah Asia termasuk Indonesia di dalamnya. Ditambah lagi adanya keperluan AS untuk membendung perkembangan pesat Tiongkok yang berpotensi menyalip pendapatan negara AS, meski tentunya secara per kapita masih sangat timpang, tetapi sudah cukup membuatnya ketar-ketir. Hal ini diwujudkan melalui percaturan geopolitik untuk mencekik Tiongkok dari banyak arah, melalui militerisasi di Taiwan, Korsel, Filipina, Myanmar, India, aliansi militer AUKUS (Australia Inggris AS) serta tuduhan pelanggaran HAM di Tibet juga Xinjiang. Keterlibatan AS menjadi lebih agresif guna memaksakan bahwa arah pasar, regulasi, aturan main agar tetap sesuai dan menguntungkan dominasi industri-keuangan imperialis mereka di panggung dunia.

Bagaimanapun juga, di luar kubu imperialis, kita tidak dapat menafikan adanya aktor-aktor geopolitik dunia saat ini seperti Singapura, yang secara geografis sangat dekat dengan Indonesia dan kerap menjadi surga pelarian pajak para konglomerat,[23] ataupun Arab Saudi yang memiliki kedekatan identitas agama,[24] keduanya memiliki potensi dan pernah mengintervensi urusan dalam negeri kita. Namun di balik letak geografis dan identitas tentunya ada faktor ekonomi yang mendasarinya. Singapura demi mengamankan bisnis dan investasinya di regional ASEAN, sementara Arab Saudi demi melepaskan jeratan petro dolar AS sedang berupaya menjalin relasi dengan kubu-kubu yang dimusuhi AS, seperti Iran, Tiongkok dan Rusia. Tiongkok tentu juga memiliki kepentingan investasi dan perdagangan dengan Indonesia, tetapi rekam jejaknya cenderung tidak mengusik perpolitikan dalam negeri sesuai dengan semangat Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955 silam,[25] melainkan menekankan kesepakatan perdagangan atau investasi langsung belaka terlepas dari siapapun yang berkuasa.

POLITIK DEVIDE ET IMPERA

Apabila kita menilik ke dalam sejarah masa penjajahan, Inggris secara umumnya, juga Belanda di negeri kita dahulu kerap melakukan politik devide et impera alias pecah belah, mengadu domba kerajaan satu dengan lainnya. Ini dilakukan karena mereka sadar apabila jajahan mereka terpecah belah, kekuatan tentara kerajaan-kerajaan itu serta rakyatnya akan mengecil sehingga penjajah yang berpasukan sedikit tersebut dapat dengan leluasa menaklukan mereka menggunakan kekayaan, teknologi dan persenjataannya dan membuat kompromi-kompromi dengan penguasa-penguasa setempat, raja-sultan dan bupati-bupatinya.

Dewasa ini ketika penjajah tidak lagi secara langsung merampok kekayaan suatu negeri, melainkan kaum pemodal, konglomerat nasional, yang memiliki beragam industri bisnis mendirikan bermacam-macam partai untuk membawa kepentingan ekonomi-politiknya dalam pemerintahan. Kemudian mereka membentuk koalisi-koalisi untuk mengangkat paslon-paslon mereka dan memecah belah rakyat berdasarkan permainan politik yang mereka gambarkan sebagai pesta demokrasi 5 tahunan yaitu pemilu.

Pemecah-belahan masyarakat dibentuk melalui penggiringan opini masyarakat, menjadikan masyarakat terbagi ke dalam kelompok-kelompok berbeda melalui pengendalian media massa, pendidikan dan lembaga-lembaga lainnya. Propaganda melalui media juga kian diperparah dengan masifnya peran buzzer yang terafiliasi dengan kelas penguasa dan kapitalis di media-media sosial yang terus melakukan framing, pengulangan informasi dan manipulasi emosional, serta penyebaran hoax sehingga berpengaruh kepada publik karena informasi-informasi itu tersebar begitu liar dan masif. Kemudian dengan sengaja menciptakan konflik antar kelompok di masyarakat. Cara ini digunakan untuk melemahkan posisi kelompok yang bertentangan terhadap kekuasaan dan mencegah masyarakat serta oposisi untuk bersatu melawan segala bentuk penindasan dan penghisapan yang mereka lakukan.

Konflik diciptakan di tengah-tengah masyarakat menggunakan beragam cara yang berbeda, salah satunya adalah dengan menggunakan konflik identitas. Sebagaimana baru-baru ini masyarakat disibukkan dengan sentimen pengungsi Rohingya, Papua, sentimen anti-Tionghoa dan China, konflik keagamaan (syi’ah, radikal, teroris, anti-Islam) dan menjebak masyarakat untuk sibuk berkonflik antar identitas kelompok yang berbeda sehingga mengaburkan masalah dan penindasan secara sistematis yang mendasari konflik tersebut.

Fungsinya tidak jauh berbeda dengan permainan devide et impera kaum penjajah di masa dulu. Menipu rakyat untuk saling memusuhi pendukung paslon satu dengan yang lainnya, sehingga lupa bahwa di balik ketiga paslon tersebut terdapat kepentingan yang serupa untuk dapat terus mendulang profit dari menindas dan menghisap mayoritas rakyat pekerja. Memberikan tipu muslihat kepada rakyat pekerja sehingga lalai bahwa lawan kita bersama adalah kaum pemodal, para konglomerat nasional dan juga imperialis yang hendak terus memelaratkan kehidupan rakyat!

Masing-masing kubu paslon yang bertanding, di samping menggerakkan dan membenturkan akar rumput, tentunya juga dibarengi dengan propaganda media untuk membentuk opini publik yang berlawanan di basis massa. Keterlibatan kaum pemodal dalam memanfaatkan media guna memecah belah masyarakat memang bukan suatu rahasia lagi. Para politisi semacam Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Hary Tanoe, dan Erick Thohir tercatat sebagai pemilik beragam media massa. Aburizal Bakrie misalnya, tercatat ia memiliki setidaknya dua perusahaan media, yaitu PT Visi Media Asia Tbk atau yang biasa dikenal dengan sebutan TvOne, serta PT Cakrawala Andalas Televisi atau yang lebih dikenal dengan sebutan ANTV. Surya Paloh juga menguasai beberapa media, seperti Metro TV dan Media Indonesia. Tak hanya mereka, politisi lain seperti Hary Tanoe dan Erick Thohir juga menguasai berbagai media, di antaranya adalah MNC Media (RCTI – MNC TV – GTV – iNews) yang dimiliki oleh Hary Tanoe, serta Jak TV dan Republika Online yang dimiliki oleh Erick Thohir.[26] Jadi di samping adanya penggiringan dan pembenturan opini publik oleh media-media imperialis, kita juga senantiasa diadu domba oleh media-media milik para konglomerat nasional.

Namun, kita jangan sampai mencampur-adukkan perpecahan yang terjadi di antara massa rakyat dengan perpecahan yang terjadi di antara para politisi-konglomerat, alias kaum pemodal itu sendiri. Perpecahan yang terjadi di antara mereka tidak didasarkan pada politik devide et impera. Justru, merekalah aktor perpecahan tersebut karena karakter pragmatis mereka sendiri serta keperluan untuk memecah rakyat demi mengamankan kepentingan utama mereka sendiri, kekuasaan kelas pemodal.

Mereka dapat dengan mudah bersatu dan bercerai, seperti yang dialami Prabowo, dari oposisi lalu menjadi menteri petahana, ini semua disebabkan karena mereka tidak memiliki dasar visi Indonesia kedepan yang dituangkan dalam program politik yang jelas. Ketiadaan program ini disebabkan karena faksi-faksi para politisi itu sendiri berasal dari kelas yang sama dan diuntungkan oleh kekuasaan negara yang sama, sehingga program yang mereka miliki tidaklah berbeda secara mendasar. Prinsip yang mereka miliki hanyalah satu: memperoleh keuntungan sebesar mungkin, sehingga pertimbangan ideologis, teoretis, dll., bukanlah persoalan buat mereka. Mereka secara alamiah bernafsu untuk bersatu atau berpecah dengan dasar seberapa besar peluang mereka guna menduduki kekuasaan untuk berkompromi ataupun menundukkan faksi-faksi kaum pemodal di pemerintahan.

KAUM BURUH DAN PARTAI BURUH

Meski pemilu ini seringkali menjadi ajang bagi kaum pemodal guna menipu rakyat dan bagi-bagi kekuasaan, saat ini rakyat pekerja bukannya tak memiliki panji-panjinya sama sekali. Pemilu tahun ini tampak berbeda, sebab kali ini kelas buruh dan rakyat tertindas lainnya memiliki Partai Buruh yang menjadi panji baru bagi mereka. Meskipun memunculkan polemik dan sinisme dari berbagai pihak termasuk dari beberapa kalangan serikat yang menolak terlibat masuk, Partai Buruh ini setidaknya telah membuka pintu baru bagi partisipasi buruh di ranah politik ke tingkat yang lebih tinggi yang merupakan suatu kemajuan baru.

Terlepas kelemahan-kelemahan Partai Buruh dari segi finansial, politik, kaderisasi dan calon-calon mereka, caleg-caleg dari Partai Buruh setidaknya cenderung tidak terikat kepada kepentingan konglomerat untuk menindas rakyat dan kaum pekerja. Mereka bahkan berupaya untuk menyuarakan dan mensejahterakan penghidupan rakyat mayoritas, hal ini tampak dari kader-kader dan caleg-caleg mereka yang mayoritasnya berasal dari kalangan serikat, petani, penyandang disabilitas, yang tak lain adalah rakyat pekerja sendiri!

Walaupun demikian, kita tak boleh lupa bagaimana elit-elit partai dan serikat di bawah Partai Buruh pernah melakukan kompromi maupun muslihat. Terlepas dari sikap sebagian anggotanya yang berpihak kepada rakyat pekerja, partai ini masih didominasi oleh kepentingan elit-elit birokrasi serikat buruh yang berwatak ambigu dan seringkali munafik. Misalnya seperti kasus awal tahun lalu pada Januari 2023, di mana Said Iqbal mengatakan bahwa Partai Buruh percaya kepada Jokowi berkenaan Perppu Ciptaker.[27] Hal ini jelas bermuatan politis demi merapat kepada penguasa yang tentunya menjauhi kalangan buruh karena mengkhianati aspirasi mayoritas kaum buruh. Bagaimanapun, kita mesti ingat bahwa Partai Buruh bukanlah milik elit-elitnya belaka, tidak seperti partai-partai milik kaum pemodal di mana pemiliknya, biasanya ketua umum, mendominasi dan memiliki otoritas atas partainya.
Unjuk rasa Partai Buruh dan simpatisan. Sumber: ANTARA Foto
Kehadiran Partai Buruh ini telah meniupkan angin segar bagi gerakan rakyat pekerja dan kaum miskin pada umumnya. Angin segar ini tidaklah terletak pada program kerja dan tuntutan mereka yang hendak mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sebab, bagaimanapun juga, pemerintahan dan negara kita saat ini disusun secara sistematis guna memuluskan dan membela kepentingan kaum pemodal. Baik lembaga eksekutif (presiden dan menteri-menterinya), legislatif (DPR, DPRD, MPR), yudikatif (kuasa kehakiman), sampai militer, semua telah dikontrol dalam cengkraman tangan kaum pemodal. Partai-partai besar milik kaum pemodal sebagai petahana maupun oposisi di parlemen, MK yang memuluskan syahwat kekuasaan penguasa, gerakan sipil yang rawan campur tangan kepentingan imperialis, perkawinan korporasi-bisnis dengan pentolan-pentolan TNI-Polri, serta dinasti politik di kebanyakan partai politik termasuk bisnis-bisnis mereka, keluarga Tanoesoedibjo, Jokowi, Prabowo-Cendana, Paloh, Yudhoyono, Megawati, bahkan Gus Dur sekalipun.[28] Dengan demikian, program kerja dan tuntutan kesejahteraan, sebaik apapun itu, tidak akan serta merta mampu diwujudkan selama struktur kekuasaan pemerintahan dan negara tidak dirombak sama sekali.

Angin segar ini kita lihat ada pada antusiasme dan potensi kebangkitan gerakan rakyat pekerja karena melihat secercah harapan berdirinya suatu partai yang berlandaskan kepada rakyat biasa, rakyat pekerja, dan terbukanya peluang untuk memperkuat perjuangan akar rumput. Dengan kesempatan ini kita dapat membentuk komite-komite, dewan musyawarah politik di akar rumput yang siap menyerukan aksi demi mengawal kawan-kawan perwakilan Partai Buruh di parlemen, pusat dan daerah, memastikan mereka yang terpilih duduk di kursi parlemen untuk benar-benar menjadi penyambung lidah rakyat pekerja, memperkuat perjuangan politik dan ekonomi baik di dalam maupun di luar parlemen. Terutama bila dibarengi dengan tujuan utama guna menyapu bersih dan mengambil alih kekuasaan pemerintahan dan negara dari cengkraman kaum pemodal nasional maupun imperialis melalui gerakan sadar politik kelas pekerja dan rakyat jelata demi memenangkan kesejahteraan dan merdeka 100% bagi rakyat Indonesia.

Jangan kita lengah dan tertipu dengan pemilu yang digadang-gadang sebagai pesta demokrasi di mana kita memilih wakil-wakil rakyat, presiden dan wapres yang mencalonkan diri dari partai-partai yang mewakili kepentingan kalangan kaum pemodal, itupun lima tahun sekali! Bayangkan kita mencoblos satu kali dalam lima tahun, kemudian wakil-wakil terpilih itu membuat kebijakan yang mewakili kepentingan kaum pemodal sementara kita memprotes hal tersebut tetapi suara kita tidak dipertimbangkan! Satu kali dalam lima tahun kita mencoblos, kemudian mereka mengesahkan undang-undang yang membuat jam kerja kita semakin panjang, sehingga kita diharuskan lembur sampai badan kita hancur! Satu kali dalam lima tahun kita mencoblos, lalu mereka mengesahkan peraturan yang membuat status kerja kita menjadi rawan dan upah kita menurun! Satu kali dalam lima tahun suara kita gunakan, kemudian UMKM, petani atau nelayan memproduksi barang maupun hasil bumi-laut, dan sementara itu pemerintah dan konglomerat melakukan impor besar-besaran atau memborong hasil produksi rakyat biasa dengan harga rendah sehingga merugikan usaha kecil.

Suara kita hanya dihargai satu kali dalam lima tahun untuk memilih pemerintahan, sementara dalam pekerjaan kita sehari-hari bos-bos kita dapat sewenang-wenang menyuruh lembur kejar target alih-alih menambah tenaga kerja, mengurangkan pengangguran. Bos-bos kita dapat sewenang-wenang menunggak pembayaran gaji. Bos-bos kita dapat sewenang-wenang mem-PHK-kan pekerja saat itu juga apabila kita protes atau menentang, alih-alih mendapatkan ruang negosiasi dan diskusi. Tengkulak dapat sewenang-wenang memanen dan menentukan harga bahkan menimbun komoditas. Apakah seperti itu yang dinamakan demokrasi? Di mana suara kaum pemodal, para konglomerat, bahkan imperialis mendominasi hajat hidup rakyat banyak, sementara kita rakyat pekerja harus tunduk patuh mengikutinya. Bukankah lebih tepat jika hal ini kita sebut sebagai demokrasinya kaum pemodal alias kediktatoran kaum pemodal atas rakyat jelata?

Sejauh ini di dalam demokrasi yang katanya kekuasaan ada di tangan rakyat, nyatanya kita bahkan tidak memiliki kontrol atas siapapun yang terpilih ke dalam parlemen. Namun keberadaan Partai Buruh tampaknya berpotensi memberikan kemajuan, mereka akan memperkenalkan konsep constituent recall,[29] yaitu suatu mekanisme untuk dapat melengserkan anggota parlemen melalui konstituen atau pemilihnya sebelum masa jabatan berakhir. Ini merupakan bentuk pengawalan langsung terhadap wakil rakyat. Mekanisme constituent recall ini dapat menjadi ruang pembelajaran politik secara langsung bagi rakyat. Yang mana rakyat dan kaum pekerja dapat membentuk dewan-dewan musyawarah politik guna menghimpun gerakan dan aksi rakyat bersama kaum buruh serta mengajukan kontrak-kontrak politik terhadap wakil-wakil rakyat pekerja yang ada di parlemen sebagai alat kontrol rakyat atas mereka. Dengan begitu, kita perlu aktif bergerak memperjuangkan dan merebut demokrasi dari cengkraman kaum pemodal untuk mewujudkan demokrasi yang benar-benar bagi mayoritas rakyat, memperjuangkan demokrasi rakyat pekerja!

Kita perlu menekankan pentingnya kontrol kolektif atas keputusan politik dan ekonomi, serta menentang dominasi kelas borjuis, agen-agen imperialis dan segelintir elit di pemerintahan. Tentu, konsep constituent recall tak sepenuhnya dapat memberikan kontrol kolektif ini, sebab negara pada dasarnya masih dikuasai dan didominasi oleh kelas yang sama, yaitu kelas pemodal. Meskipun demikian, konsep constituent recall ini setidaknya dapat dilihat sebagai upaya untuk menjaga agar wakil rakyat tetap setia pada kepentingan kelas pekerja dan tidak terjebak dalam kebijakan yang mendukung atau memberikan keleluasaan bagi kaum pemodal apalagi sampai menciptakan ketidaksetaraan yang lebih besar di masyarakat, meskipun tentunya tidak akan cukup mengingat dominasi wakil-wakil kaum pemodal dari partai-partai lainnya.

Melihat keterbatasan itu, rakyat dan pekerja harus bergegas membentuk aliansi dan organisasi massa yang lebih kuat. Hal ini perlu juga dibarengi dengan pembentukan organisasi kepeloporan yang tersusun dari kalangan rakyat pekerja yang berpikiran dan bertindak maju sekaligus mereka yang benar-benar mau mengorbankan diri secara total bagi penghidupan mayoritas rakyat pekerja yang memperjuangkan penyatuan gagasan soal perombakan total negara dan pemerintahan agar berpihak kepada mayoritas rakyat pekerja.

Kita sebagai bagian dari rakyat pekerja perlu insyaf dan sadar bahwa kesejahteraan kita tak akan mungkin tercapai bila kontrol kekuasaan negeri ini masih dipegang oleh kaum pemodal apalagi adanya jeratan dominasi imperialis di berbagai lapisan. Kitalah yang harus saling bergotong-royong menjamin kesejahteraan bersama dengan merebut negara ini dari cengkraman kaum elit konglomerat, menendang keluar campur tangan imperialis dan menjadikannya milik rakyat. Menggunakan momentum ini, mari kita bangun dan latih kepemimpinan gerakan, kepeloporan dari barisan rakyat pekerja guna mendobrak dan mengalahkan dominasi kekuasaan kaum pemodal, yang menyetir negara kita serta memberikan ruang bagi imperialis! Mari kita alihkan negara ini menjadi milik kita bersama, rakyat pekerja!

Kikis habis kaum pemodal dan tegakkan kedaulatan rakyat pekerja!

Merdeka!

100 persen kita merdeka dari tirani pemodal!

Rakyat tertindas dan kaum pekerja Indonesia, bersatulah!