Langsung ke konten utama

REBUT KEDAULATAN RAKYAT PEKERJA DARI TANGAN KAUM PEMODAL!

Sejak tahun 1945 hingga detik ini, nasib yang dialami oleh kaum pekerja tidaklah banyak berubah. Meskipun negeri 'merdeka' ini berlandaskan sila yang salah satunya “keadilan sosial bagi seluruh rakyat,” namun praktis kaum buruh masihlah ditindas dan digencet dan belum lagi menerima keadilan yang layak. Dimulai dari pengkhianatan pemerintah Indonesia melalui perjanjian Linggarjati, disahkannya UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 yang menjadi “Karpet Merah” bagi Imperialisme untuk masuk mengeksploitasi alam dan manusia negeri ini, hingga kemunculan Omnibus Law Cipta Kerja, Pemerintah, Parlemen, Peradilan Indonesia telah berulang kali menunjukkan watak aslinya sebagai kaki tangan kaum borjuasi yang berkepentingan untuk memudahkan penghisapan atas kaum buruh, alih-alih mengutamakan kesejahteraan bagi mereka.

KEMUNAFIKAN PARTAI-PARTAI YANG ADA

Lantas, apa saja yang dilakukan elit-elit politik kita? Alih-alih membela rakyat kecil, sayangnya, mereka justru malah berpesta pora di atas kondisi mengenaskan yang ada!

Pahala Nainggolan, Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, mengungkap “…selama pandemi setahun terakhir ini, secara umum penyelenggara negara, 70 persen hartanya bertambah,” sebagaimana dilansir Kompas. 26% menteri kekayaannya bertambah di bawah Rp 1 miliar. Sedangkan 58% menteri kekayaannya bertambah lebih dari Rp 1 miliar. 38% anggota DPR kekayaannya bertambah di bawah Rp 1 miliar. Sedangkan 45% anggota DPR kekayaannya naik lebih dari Rp 1 miliar. 40% gubernur-wakil gubernur kekayaannya naik di bawah Rp 1 miliar dan 30% gubernur dan wakil gubernur yang kekayaannya naik di atas Rp 1 miliar. Sementara itu di kalangan wali kota-wakil wali kota dan bupati-wali bupati ada 18% yang kekayaannya naik di atas Rp 1 miliar.

Kondisi kesejahteraan para pejabat dan konglomerat yang semakin makmur itu berbanding terbalik dengan rakyat yang semakin melarat, yang menunjukkan kesenjangan sosial. Monavia Ayu Rizaty, jurnalis Data Indonesia, mengutip World Inequality Report 2022, “Pendapatan kelompok 50% terbawah hanya Rp 22,6 juta per tahun pada 2021. Sementara, kelompok 10% teratas memiliki pendapatan sebesar Rp 285,07 juta per tahun… rasio kesenjangan pendapatan antara kelompok 10% teratas dengan 50% terbawah sebesar satu banding 19. Ini berarti satu penduduk dari kelas ekonomi teratas memiliki pendapatan 19 kali lipat lebih besar dibandingkan penduduk dari ekonomi terbawah.” Menambahi itu, Imron Rosyadi, Peneliti Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI) FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta, ungkap, “Sebagaimana disampaikan BAA, bahwa 1% penduduk menguasai 59% lahan/tanah. Sedangkan 99% penduduk harus berbagi dengan 41% luas tanah…dalam 5 tahun terakhir, kepemilikan lahan petani semakin menyempit, yakni dari rerata 0,4 hektare (2015) menjadi 0,25 hektare (2020), sehingga kapasitas produksi pertaniannya ikut menurun.”

Sudah terlalu lama para pejabat, konglomerat, dan petinggi aparat serta para politisi borjuis memperkaya diri di atas kemiskinan maupun penderitaan rakyat. Namun banyak sekali dari mereka yang mengemplang pajak bukannya ditangkap dan disita kekayaannya melainkan malah ditawari pengampunan pajak atau tax amnesty. Para koruptor juga masih banyak yang memiliki kekayaan berlimpah, bisa mencalonkan serta menjabat lagi, bahkan banyak kasus di mana terpidana korupsi malah menikmati sel mewah di penjara, alih-alih disita semua kekayaannya dan dipreteli kekuasaannya. Begitu juga dengan banyaknya para pengusaha dan perusahaan perusak lingkungan, yang tidak dikenai hukuman setimpal mungkin, apalagi disita.

Seperti itulah realita di negeri yang katanya berkeadilan sosial ini! Partai yang katanya mewakili “wong cilik” (contohnya PDIP), yang katanya hendak mewujudkan “Keadilan Sejahtera” (contohnya PKS), secara nyata dan terang-terangan menjadi pengkhianat dan musuh rakyat, terkhusus rakyat pekerja dan kaum miskin lainnya. Meskipun nampak saling berseteru, namun pada kenyataannya mereka justru saling bergotong-royong untuk memperkaya diri mereka sendiri. Melalui beragam upaya mereka, seperti mengesahkan berbagai macam undang-undang yang menyengsarakan massa rakyat tertindas, kita dapat mengetahui betapa munafiknya mereka.

Sementara itu, Partai Buruh yang memiliki potensi sebagai kendaraan bagi segenap kaum buruh untuk menyuarakan kepentingannya, saat ini secara konkret tidak mewakili kepentingan kelas dari kaum buruh. Apa yang diwakili oleh mereka bukanlah kepentingan kaum buruh, melainkan elit-elit birokrasi serikat buruh yang memiliki rekam jejak sejarah yang kelam. Mereka pernah menggembosi pemogokan-pemogokan buruh, seperti yang dilakukan Said Iqbal pada saat Mogok Nasional Pertama 2012. Selain itu, mereka juga pernah menandatangani Deklarasi Harmoni, yang dalam prakteknya telah berhasil mengikat kaki dan tangan gerakan buruh kepada aparat kepolisian dan milisi sipil reaksioner guna membubarkan aksi-aksi buruh. Tak sampai di situ, mereka bahkan pernah mendukung Prabowo (yang merupakan penjagal aktivis '98) demi mendapatkan jabatan Menteri Tenaga Kerja.

Manuver politik oportunis ini terus belanjut di dalam partai buruh. Ini terlihat dalam dukungan mereka terhadap calon presiden dari kalangan elit-elit politik borjuis, seperti Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan. Alih-alih membawa program perjuangan dan perspektif yang berpihak kepada kaum buruh serta massa tertindas lainnya, Partai Buruh justru malah sekedar menjadi pengekor semata dari partai-partai borjuis yang secara nyata menjadi musuh rakyat (PDIP merupakan partai yang telah meloloskan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, dan Partai Keadilan Sejahtera, partai yang mengusung Anies, merupakan partai yang getol menolak RUU PKS).

Karl Marx pernah berkata bahwa akumulasi kekayaan pada satu kelompok di saat yang sama adalah akumulasi kesengsaraan penderitaan, perbudakan, kebodohan, kebrutalan, dan kemerosotan mental di kutub yang berlawanan, yaitu di pihak yang kerjanya membuat masyarakat berjalan. Itu adalah kaum buruh, rakyat pekerja. Peningkatan kekayaan para pejabat, konglomerat, dan petinggi aparat serta para politisi borjuis lainnya merupakan hasil dari perampokan secara terang-terangan dan tak tahu malu mereka atas jerih lelah keringat kaum buruh yang tak dibayarkan. Mereka adalah parasit yang harus kita kikis sampai habis.

MENEMPUH JALAN BARU

Hari Buruh Internasional merupakan momentum yang tepat untuk merefleksikan kondisi kaum buruh saat ini. Meskipun May Day ini telah kita peringati secara berulangkali, namun kondisi kaum pekerja masihlah jauh dari kata sejahtera. Ini menjadi bukti bahwa selama kekuasaan masih dipegang oleh kaum borjuis, selama kaum borjuis masih mengontrol jalannya roda perpolitikan dan roda produksi, maka kesejahteraan kaum buruh hanya akan menjadi mimpi belaka. Kaum buruh akan senantiasa dihisap bila kaum borjuis masih berkuasa.

Kita tak bisa berharap lagi kepada mereka, yang secara nyata telah berulangkali menipu kita. Negara Kapitalis Republik Indonesia (NKRI) beserta alat-alat dan badan-badan hukumnya yang katanya hendak memajukan kesejahteraan umum seperti dalam pembukaan UUD-nya, nyatanya malah hanya menguntungkan minoritas kecil populasi masyarakat, yaitu para pemilik modal, pemilik swasta alat-alat produksi, yaitu kaum pemodal atau kelas borjuis itu sendiri.

Kita perlu menempuh jalan baru guna mengakhiri semua tragedi ini. Jalan yang lama, yang tak lain adalah pemerintahan borjuis beserta segala lembaga-lembaga munafiknya terbukti hanya menjadi alat bagi kaum borjuasi untuk memperkaya diri semata. Kita perlu membentuk sebuah pemerintahan buruh yang baru dan sungguh berbeda. Hanya dengan jalan baru itu, kepemilikan alat produksi dan kapital dapat dikuasai oleh rakyat pekerja dan kesejahteraan bersama dapat terjamin.

Maka dari itu, kami mengajak kawan-kawan sekalian untuk mempersiapkan perjuangan kita merebut negara ini dari cengkraman kelas borjuis, dan sepenuhnya mengalihkan negara kita menjadi milik rakyat pekerja, negara rakyat pekerja. Dimana kita bersama menjadi pemilik dari negara ini untuk bahu-membahu menjamin kesejahteraan bersama. Menjamin kemerdekaan manusia seutuhnya.

Kikis Habis Kaum Borjuis dan Tegakkan Kedaulatan Rakyat Pekerja!

Merdeka!

100 Persen Kita Merdeka dari Tirani Borjuasi!

Tulisan ini adalah selebaran Martil Merah untuk memperingati Hari Buruh Internasional yang dicetak dan diedarkan di Semarang