Joni D.
Sungguh amat sangat disayangkan, namun itulah kenyataannya!!!
Berangkat dari keadaan kacau sebagaimana yang telah dijabarkan di atas, artikel ini pada dasarnya hendak mengetengahkan persoalan negara dan revolusi itu. Artikel ini tidaklah ditujukan untuk memberikan suatu ikhtisar tentang “Negara dan Revolusi”-nya Lenin. Telah cukup banyak ikhtisar yang semacam itu, sehingga membuang-buang waktu saja bila kami menambahkan suatu ikhtisar yang sama. Lebih dari sekadar ikhtisar, artikel ini ditujukan untuk mempergunakan sudut pandang Lenin tersebut guna menganalisis pandangan-pandangan umum perkara negara dan revolusi.
Berkembangnya paham-paham dan anggapan oportunis di kalangan rakyat kita pada masa dewasa ini sangat membutuhkan penjabaran teori yang tegas dan jelas dari pihak kita seluas-luasnya. Tidak diragukan lagi, munculnya aksi demonstrasi mahasiswa di banyak tempat telah memunculkan minat dari kalangan masyarakat, bahkan yang paling apolitis sekalipun, terhadap persoalan negara dan revolusi. Merupakan tugas mutlak bagi kami untuk membuat pernyataan publik tentang pandangan kami atas persoalan ini.
Telah terlampau banyak pendeta-pendeta 'teori' politik borjuis yang telah menjelaskan persoalan di atas dengan segala macam tipu muslihatnya. Dengan tiada bosan-bosannya, mereka menjelaskan bahwa negara adalah suatu susunan badan yang berasal dari luar, berdiri di luar, dan menjadi hakim pengadil masyarakat beserta seluruh kelas yang ada. Mereka mengklaim bahwa negara adalah suatu organisasi mandiri yang menjadi dasar kehidupan umat manusia, dan yang menganugerahkan kepada orang-orang, atau dapat menganugerahkan kepada orang-orang, atau yang membawa serta suatu kekuasaan yang bukan dari manusia, tetapi diberikan kepadanya dari luar.
Beberapa kaum pemuka agama lantas menambahkan bahwa negara adalah suatu organisasi ilahi yang bersumber dari karunia-karunia sorgawi. Mereka merumuskan suatu 'teori' kepercayaan negara ilahi bahwa negara berasal dari luar masyarakat, yakni berasal dari perbuatan atau pemberian Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang!!! Dengan berdasarkan ajarannya ini, mereka mewajibkan para pengikutnya untuk mengimani mereka punya kepecayaan. Tiap-tiap orang yang tidak mengimani kepercayaan mereka secara langsung akan dipandang sebagai orang-orang kafir, ateis, murtad, dan munafik.
Akan tetapi, apa konsekuensi dari pandangan yang semacam ini? Orang yang memercayai bahwa negara adalah pemberian dari Tuhan itu sendiri, mau tak mau, harus menaati dan menuruti segala tindak tanduk negara seperti memercayai Tuhan. Ia harus percaya bahwa segala keburukan, kezaliman, kekerasan, perampokan, penjarahan, dst,... dsb,... dsl,... yang dilakukan oleh atau atas nama negara pada dasarnya berasal dari kehendak Allah guna menyelamatkan umat manusia yang hidup di atas muka bumi ini. Dengan demikian, semua kemelaratan, penderitaan, kemiskinan, kelaparan, dll, dapatlah dianggap sebagai suatu takdir ilahi. Terlepaslah segala tanggung jawab kelas penguasa dari segala ketimpangan yang ada!!
Dengan memandang realita ini, maka tak aneh rasanya bila Marx sempat berkata bahwa agama adalah opium buat masyarakat. Apakah merupakan suatu kebetulan bila banyak kelas penindas di dunia, dari era perbudakan hingga era kapital-imperialis ini (tak terkecuali kelas penindas di Indonesia!!!) yang sangat gandrung akan hal-hal berbau supranatural, pecinta santet, pemuja-muja kepercayaan makhluk ghaib, penggila klenik, yang sangat mudah digunakan buat meninabobokan massa rakyat? Ide-ide dominan di dalam masyarakat adalah ide-idenya kelas penguasa, termasuk dalam hal penafsiran agama.
Agama adalah kepercayaan yang tidak bisa menjadi dasar persoalan-persoalan kenegaraan dan kemasyarakatan, sebab persoalan negara dan masyarakat tidak berakar kepada kepercayaan agama, melainkan kepada kondisi sosial, cara produksi dan syarat-syarat produksinya. Inilah yang perlu kita tekankan.
Peran progresif yang dimainkan oleh Islam di era awal kemunculannya misalnya. Apakah peran progresif itu disebabkan karena ajaran-ajaran Islam lebih murni, sempurna, dll, bila dibandingkan dengan agama lain? Bila ditilik dari tinjauan materialisme dialektik dan historis, jawabannya adalah tidak. Peran progresif itu muncul bukan karena ajarannya yang lebih murni, lebih sempurna, dan sebagainya, dan sebagainya, melainkan karena SECARA OBJEKTIF (jadi, terlepas dari klaim subjektif masing-masing pihak) posisi kelas yang dimainkan oleh Islam adalah cocok untuk memainkan peran progresif tersebut. Pada awalnya, Islam mewakili kepentingan kaum saudagar Arabia. Sebagai ajaran yang menemukan gemanya di antara kaum saudagar, Islam dapat memainkan peran progresif untuk menyatukan perpolitikan jazirah arab yang tadinya terpecah-belah ke dalam suku-suku nomaden. Dan dengan ini perekonomian ketuan-tanahan semakin tersentralisir ke dalam satu kekuasaan politik serta mampu mengembangkan sektor perdagangan. Singkatnya, menciptakan iklim yang stabil bagi perkembangan ilmu pengetahuan, hukum, kesejahteraan sosial, dan budaya.
Hal yang sama juga terjadi bila kita berbicara terkait dominasi politik dan ekonomi dari kemunculan agama Kristen protestan di Eropa pada era modern ini. Apakah dominasi ekonomi dan politik dari agama Kekristenan menandakan bahwa ajaran-ajaran mereka lebih murni, lebih sempurna, dll? Sama sekali tidak. Dominasi Kekristenan ini bukan disebabkan karena ajarannya yang lebih murni atau yang lainnya, melainkan semata-mata karena faktor-faktor produksi yang ada. Orang-orang Kristen prostestan telah terlebih dahulu meningkat cara-cara berproduksi kapitalistik dibanding dengan cara-cara produksi orang-orang di agama lain, sehingga mereka lebih mampu untuk menempatkan dominasinya secara global.
Dengan memandang hal ini, maka jelaslah bahwa perkara ketuhanan bukanlah menjadi akar dari persoalan-persoalan kenegaraan dan kemasyarakatan. Segala macam gerak perkembangan dan pertentangan agama, meskipun tidak boleh kita abaikan, tidaklah boleh dipandang sebagai dasar itu sendiri. Mereka haruslah kita tinjau sebagai bayangan dari pertentangan antara beberapa golongan ekonomi atau yang lebih populer sebagai bayangan dari pertentangan kelas. Bila kita mendasarkan pemahaman kita akan negara kepada dasar "ketuhanan", seperti yang terjadi sekarang ini, maka itu menandakan kedangkalan kita dalam memahami persoalan kenegaraan dan kemasyarakatan. Pandangan yang semacam itu hanya akan menutup-nutupi hakekat negara yang sebenarnya, yang tak lain adalah "mesin untuk penindasan satu kelas oleh kelas yang lain"[1] (Engels).
Selain sebagian dari kaum pemuka agama seperti yang ada di atas, ada pula kaum sosial-oportunis yang meskipun mereka menolak klaim kebenaran dari 'teori' idealis di atas, meskipun mereka mengaku dirinya sebagai kaum Marxis Revolusioner, meskipun mereka menepuk-nepuk dada mereka sambil berkata: "Ya! Aku Marxis!", dan meskipun mereka seringkali mengutip kalimat-kalimat para pendiri Sosialisme Ilmiah, namun secara teoretis maupun praktis, mereka bukanlah Marxis sama sekali. Kaum 'Marxis' gadungan ini[2] berkata bahwa negara sejatinya bukanlah alat penindasan kelas, melainkan badan kekuasaan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Mereka berargumen bahwa kemunculan negara bukanlah ditujukan untuk melayani kepentingan kelas tertentu, melainkan untuk melayani kepentingan semua orang. Pendek kata, negara bukanlah negara kelas, melainkan negara "semua buat semua".
Tak perlulah diterangkan berpanjang-lebar lagi segala macam celotehan mereka yang sejatinya telah basi itu. Pada kenyataannya, negara di manapun juga memanglah senantiasa dimunculkan oleh rakyat. Tidak pernah ada negara yang dimunculkan oleh jin, setan, genderuwo, ataupun makhluk-makhluk ghaib lainnya. Meskipun nampak progresif dan revolusioner, namun dengan menyatakan bahwa negara didirikan dan ditujukan buat rakyat, kita sama saja hanya mengulang-ulangi pandangan lapuk kaum liberal dan meriasnya dengan lipstick cap 'Marxisme'. Kita sama saja tengah mengunyah-ngunyah sisa kotoran manusia yang telah sekian lama dicerna dan dimuntahkan dari dalam perut itu.
Betul, negara memang didirikan oleh rakyat guna melayani kepentingan-kepentingan rakyat. Perkara ini nampaknya telah umum kita ketahui. Negara memanglah bukan suatu barang impor yang diselundupkan dari luar masyarakat, melainkan berakar dari masyarakat itu sendiri. Akan tetapi, yang menjadi perkara selanjutnya ialah RAKYAT YANG MANA? Apakah negara sejatinya memang ditujukan buat rakyat banyak tanpa pandang bulu, atau ditujukan untuk kalangan tertentu? Inilah yang harus kita selidiki. Menggembar-gemborkan konsep "negara rakyat" tanpa menghubungkannya dengan dialektika lebih lanjut pada dasarnya hanya akan menutup-nutupi kepentingan borjuasi yang berada di balik 'teori' itu.
Lalu, bagaimana kita harus menyelesaikan persoalan-persoalan di atas? Guna menyelesaikan persoalan-persoalan di atas, adalah perlu bagi kita untuk menengok ke belakang terlebih dahulu. Artinya, sebelum kita berbicara panjang lebar terkait negara, kita setidaknya juga harus melihat sejarah dari negara. Salah satu syarat mendasar agar kita dapat memahami negara secara ilmiah adalah tidak melupakan hubungan sejarah yang menjadi fondasi bagi kemunculannya. Segala macam pertanyaan terkait kemunculan dan perkembangan negara haruslah kita tangani.
Merupakan suatu fakta mendasar yang seringkali dilupakan bahwa negara pada kenyataannya tidaklah selalu ada. Ada suatu masa tertentu ketika manusia belum lagi mengenal negara. Dalam masa-masa itu, manusia belum lagi mengenal pengadilan, tentara, raja, penjara, dan lain-lainnya. Fase hubungan sosial tanpa negara ini seringkali disebut dengan nama fase Komunisme primitif.
Terkait dengan fase primitif ini, Lenin pernah menjelaskan bahwa: "Dalam masyarakat primitif, ketika orang-orang hidup dalam kelompok keluarga kecil dan masih berada pada tahap perkembangan terendah, dalam kondisi yang mendekati kebiadaban—sebuah zaman di mana masyarakat manusia modern dan beradab dipisahkan oleh beberapa ribu tahun—BELUM ADA TANDA-TANDA KEBERADAAN SEBUAH NEGARA. Kami menemukan dominasi adat, otoritas, rasa hormat, kekuasaan yang dinikmati oleh para tetua klan; kita menemukan kekuatan ini kadang-kadang diberikan kepada perempuan, posisi perempuan pada waktu itu tidak seperti kondisi perempuan yang tertindas seperti saat ini — tetapi tidak ada tempat kita menemukan kategori khusus orang yang dipisahkan untuk memerintah orang lain dan yang, demi tujuan kekuasaan, secara sistematis dan permanen memiliki alat pemaksaan tertentu, alat kekerasan, seperti yang ada pada saat ini, seperti yang Anda semua sadari."[3]
Pada masa itu, kepemimpinan tidaklah ditegakkan dengan jalan paksaan, melainkan dengan jalan kesukarelaan. Engels dalam "Asal-Usul Keluarga, Milik Perseorangan, dan Negara" menjelaskan: “Polisi berpangkat rendahan dari negara yang beradab memiliki lebih banyak “otoritas” dibandingkan segenap gabungan organ-organ masyarakat kesukuan; tapi putera mahkota terkuat dan negarawan atau jenderal terhebat dari masyarakat beradab mungkin iri kepada kepala suku yang paling rendah hati akan penghormatan tanpa paksaan dan tanpa bantahan kepadanya. Yang satu berada di tengah-tengah masyarakat; yang satunya lagi terpaksa berlagak sebagai sesuatu dari luar dan di atasnya.”[4]
Bila manusia pernah melewati suatu masa ketika belum lagi ada negara, lantas bagaimana mungkin negara dapat muncul? Apa yang menjadi sebab musabab bagi kemunculannya? Sejarah menunjukkan bahwa kemunculan negara disebabkan oleh terpecahnya masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial yang saling bertentangan. Ketika manusia masih hidup secara primitif, ketika alat-alat produksi yang ada masih dimiliki secara bersama, eksploitasi belumlah terjadi. Manusia pada masa itu belum lagi memiliki kemampuan untuk menghasilkan surplus produksi atas kebutuhannya sendiri, sehingga tidak ada kesempatan untuk merampok hasil kerja orang lain. Akan tetapi, ketika manusia terus berinteraksi dengan kondisi alam yang semakin berubah manusia mulai mampu untuk mengembangkan alat dan tekniknya. Akibatnya surplus produksi pun mulai muncul, sehingga kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi serta pembagian kelas sosial mulai terjadi. Di saat inilah negara mulai muncul.
Lenin menjelaskan: "Jika Anda memeriksa negara dari sudut pandang pembagian fundamental ini, Anda akan menemukan bahwa sebelum pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas, seperti yang telah saya katakan, tidak ada negara. Tetapi ketika pembagian sosial ke dalam kelas-kelas muncul dan berakar kuat, ketika masyarakat berkelas muncul, negara juga muncul dan berakar kuat. Dengan memeriksa fenomena umum ini, dengan bertanya pada diri kita sendiri mengapa tidak ada negara ketika tidak ada kelas, ketika tidak ada penghisap dan dieksploitasi, dan mengapa itu muncul ketika kelas muncul — hanya dengan cara ini kita akan menemukan jawaban yang pasti untuk pertanyaan tentang apa sifat dan pentingnya negara."[5]
Dengan demikian: "Negara adalah produk masyarakat pada tingkat perkembangan tertentu; negara adalah bukti bahwa di dalam masyarakat ini terdapat kontradiksi yang tak terselesaikan, bahwa ia telah terpecah menjadi segi-segi yang berlawanan yang tak terdamaikan dan ia tidak berdaya melepaskan diri dari keadaan demikian itu. Dan supaya segi-segi yang berlawanan ini, kelas-kelas yang kepentingan-kepentingan ekonominya berlawanan, tidak membinasakan satu sama lain dan tidak membinasakan masyarakat dalam perjuangan yang sia-sia, maka untuk itu diperlukan kekuasaan yang nampaknya berdiri di atas masyarakat, kekuasaan yang seharusnya meredakan bentrokan itu, mempertahankannya di dalam 'batas-batas tata tertib (legal formal)'; dan kekuasaan ini, yang lahir dari masyarakat, tetapi menempatkan diri di atas masyarakat tersebut dan yang semakin mengasingkan diri darinya, adalah negara."[6]
Pendek kata, dapatlah kita simpulkan bahwa pada dasarnya, negara tidaklah ditujukan buat rakyat banyak tanpa pandang bulu, melainkan hanya untuk kalangan tertentu, yaitu kelas yang menguasai alat-alat produksi. Memanglah betul, negara bisa saja bertindak demi kepentingan seluruh masyarakat, seperti membangun transportasi umum, menyelenggarakan sekolah umum, melindungi masyarakat terhadap tindak kriminal, dsb. Akan tetapi tindakan inipun dilakukan demi kepentingan kelas penguasa, karena kelas penguasa pun tidak dapat mempertahankan diri apabila kehidupan masyarakat pada umumnya tidak berjalan. Negara dapat saja berpura-pura bertindak atas nama kesejahteraan seluruh masyarakat, tetapi pada kenyataannya, negara senantiasa bertindak demi melayani kepentingan kelas yang menguasai alat-alat produksi. Ketika dalam keadaan krisis, negara akan menunjukkan watak aslinya.
Pada kenyatannya, di manapun dan kapanpun juga, negara akan senantiasa bersifat diktator. Artinya, negara akan selalu menjadi alat penindasan kelas TANPA DIBATASI OLEH HUKUM APAPUN. Kekuasaan kelas atas suatu negara pada dasarnya bersifat mutlak, ia mengatasi segala hukum yang ada. Lenin menjelaskan: "Kediktatoran adalah aturan yang didasarkan langsung pada kekuatan dan tidak dibatasi oleh hukum apa pun. Kediktatoran revolusioner proletariat adalah aturan yang dimenangkan dan dipertahankan dengan penggunaan kekerasan oleh proletariat terhadap borjuasi, aturan yang tidak dibatasi oleh hukum apa pun. Ini [adalah] kebenaran sederhana, kebenaran yang sangat jelas bagi setiap pekerja yang sadar kelas [. . .] yang jelas bagi setiap perwakilan dari kelas tereksploitasi yang berjuang untuk emansipasi mereka [. . .] yang tidak dapat dibantah oleh setiap Marxis."[7]
Dengan berlandaskan pemahaman ini, dapatlah kita ketahui segala kepalsuan dari 'teori negara hukum' yang seringkali digembar-gemborkan itu. Mengobrolkan persoalan "negara hukum" di hadapan publik, sebagaimana yang seringkali dilakukan oleh para mahasiswa kita, pada dasarnya adalah suatu frasa kosong semata, karena memanglah tidak ada satu negarapun yang tidak didasarkan kepada undang-undang hukum tertentu. Negara manapun juga, baik yang bermerek monarki konstitusional, negara korporasi, republik demokratik, negara kesejahteraan, negara nasional, demokrasi parlementer, demokrasi pancasila, dan sebagainya, dan sebagainya, baik yang kiri maupun yang kanan, selalu berdiri berdasarkan undang-undang hukum tertentu, yang ditaati dan ditegakkannya sendiri. Ini adalah suatu perkara yang telah umum kita ketahui. Yang menjadi persoalannya bukanlah apakah hukum itu telah ditegakkan atau belum, melainkan untuk siapa hukum itu dibuat dan ditegakkan. Hukum itu sendiri memang selalu memihak, mereka tidak pernah netral "untuk membela keadilan", melainkan selalu ditujukan untuk melayani kepentingan kelas tertentu. Bukankah pada zaman dahulu perbudakan juga dianggap legal secara hukum?
Di posisi ini pula, kita dapat mengetahui peran dari aparat kepolisian yang katanya adalah melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat tanpa pandang bulu. Apakah benar demikian? Pada kenyataannya, tidak. Meskipun barangkali ada banyak polisi yang begitu baik hati, yang mau melayani masyarakat dengan tulus hati, yang rela mengorbankan diri walaupun harus mati, dll. Namun, apakah hal-hal itu memang merupakan tujuan utama bagi adanya lembaga kepolisian? Tidak. Terlepas dari segala kepribadian, motivasi individu, dan anggapan subjektif dari polisi itu sendiri, SECARA OBJEKTIF lembaga kepolisian (dan tentara dan semua lembaga berwajib yang menggunakan kekerasan dalam masyarakat kapitalis) ditujukan untuk melindungi kaum borjuasi dan mempertahankan tatanan yang ada. Memang bisa saja mereka membantu masyarakat umum tanpa pandang bulu, namun peran ini hanyalah peran sekunder, suatu peran kecil yang "hanya buta" guna menutupi peran mereka yang lebih penting bagi kelas penguasa. Itulah sebabnya mengapa mereka tidak akan memberikan perhatian yang sama kepada masyarakat; yang kaya dan "penting" akan lebih diutamakan ketimbang rakyat jelata. Itulah sebabnya mengapa mereka tidak akan segan-segan pula untuk menghilangkan nyawa seseorang apabila orang tersebut mengancam tatanan yang ada. Segala celotehan terkait "aparat mengkhianati rakyat" yang kerap kali digembar-gemborkan oleh kalangan mahasiswa sejatinya hanyalah omong kosong semata, seolah-olah keberadaan mereka memang dibentuk untuk melayani masyarakat dan bukan untuk menjadi alat bagi kelas penguasa.
Kembali ke persoalan demokrasi dan kediktatoran. Seringkali orang merasa ngeri dengan kaum Marxis yang hendak mendirikan kediktatoran proletariat. "Astagfirullah!! Kaum Marxis hendak menggantikan demokrasi dengan kediktatoran!!! Betapa jahanamnya mereka!!!" Teriak kaum borjuasi dengan ngerinya. Namun, bukankah kediktatoran memang senantiasa dipraktekkan oleh semua negara, termasuk oleh mereka? Lihat saja negara imperialis Amerika yang seringkali menjadi kiblat bagi demokrasi, bukankah mereka sendiri berdiri di atas tumpukan mayat budak-budak negro dan penduduk pribumi yang telah mereka basmi? Bukankah kini mereka juga berdiri di atas penjajahan di Timur-Tengah? Bagaimana pula nasibnya kaum pekerja yang mati dalam peristiwa Haymarket (yang menjadi batu peringatan bagi Hari Buruh Sedunia) hanya karena memperjuangkan haknya?
Atau, tak perlulah kita jauh-jauh hingga ke negeri Amerika, cobalah tengok Indonesia dengan demokrasi kebanggaannya, demokrasi Pancasila!!! Bukankah demokrasi Pancasila yang seringkali digembar-gemborkannya itu tak lain daripada selubung guna menutupi watak diktator dari kelas penguasa? Berapa banyak undang-undang yang berhasil disahkan tanpa melibatkan massa rakyat pekerja? Bagaimana pula nasibnya kaum pekerja, aktivis, dll yang nyawanya dihilangkan hanya karena menuntut haknya? Pembantaian '65, pembantaian Santa Cruz, tragedi Trisakti, hilangnya aktivis '98, pengesahan sewenang-wenang UU Omnibus Law Cipta Kerja, dll, semua itu adalah buah-buah dari demokrasi borjuis bermerek Pancasila.
Dengan demikian, secara mendasar, yang menjadi inti pertentangan dari persoalan ini bukanlah antara konsep kediktatoran dan demokrasinya, melainkan antara isi kelas yang meliputinya. Kediktatoran dan demokrasi adalah dua konsep kekuasaan yang saling mengisi, tak ada pertentangan akan hal ini. Demokrasi borjuis atau kekuasaan borjuis tidak lain adalah kediktatoran borjuis. Ia adalah demokrasi bagi segelintir pemilik alat-alat produksi, di mana segelintir kaum berpunya dapat membeli politisi, hukum, hakim, suara dalam pemilu, dll, demi melanggengkan kekuasaan partai-partai borjuis guna memuluskan jalan mereka untuk menghisap tenaga kerja menjadi profit. Sementara kita, kaum yang tak berpunya harus patuh pada setiap aturan yang sudah mereka beli kalau tak mau masuk bui. Seperti inilah demokrasi borjuis, yang memberikan kekuasaan dan kebebasan di tangan kelas berpunya, sementara ia menjadi kediktatoran yang memaksakan kehendaknya kepada kelas yang tak berpunya, yang tak lain adalah massa rakyat pekerja beserta kaum jelata lainnya. Sebaliknya, demokrasi proletariat atau kekuasaan proletariat tidak lain adalah kediktatoran proletariat. Ia adalah sebuah kekuasaan bagi mayoritas rakyat, sebuah demokrasi bagi massa rakyat pekerja, ketika mayoritas rakyat tersebut mampu mengontrol kekuasaan politik negara beserta alat-alat produksi demi memenuhi kebutuhan kita bersama. Dengan demikian kediktatoran proletariat akan menindas kaum borjuasi tanpa ampun sedikitpun, sedangkan di saat yang sama ia akan menjadi sarana pembebasan bagi kelas pekerja dan masyarakat tertindas pada umumnya, yang tak lain adalah kelas yang tak berpunya. Hal ini terjadi karena negara buruh akan semakin merampas kekuasaan ekonomi borjuasi, dengan kata lain memaksakan kehendak massa rakyat tertindas terhadap kepentingan ekonomi kelas berpunya.
Berdasarkan tinjauan di muka, dapatlah kita pahami pula bahwa demokrasi borjuis akan senantiasa bertentangan dengan kediktatoran proletariat. Kedua hal ini adalah alat perjuangan yang tak dapat dipersatukan, sebab kepentingan antara pemilik modal dengan kepentingan buruh memang tidak dapat dipersatukan. Demokrasi atau kediktatoran borjuis adalah alat bagi kepentingan pemilik modal, yaitu mereka yang merampas hasil kerja orang lain dan menguasai alat-alat produksi secara pribadi. Mereka berkepentingan untuk mempertahankan tatanan yang ada. Sebaliknya, demokrasi atau kediktatoran proletariat adalah alat bagi kepentingan massa rakyat pekerja, yaitu mereka yang saat ini hasil kerjanya dirampas oleh borjuis dan tidak menguasai alat-alat produksi. Mereka berkepentingan untuk merombak tatanan yang ada secara total.
Terkait dengan demokrasi borjuis ini, Lenin pernah menjelaskan: "Demokrasi borjuis, walaupun merupakan sebuah kemajuan sejarah yang besar dibandingkan dengan abad pertengahan, akan selalu terbatas, tidak lengkap, dan munafik, sebuah surga untuk yang kaya dan jebakan dan tipuan bagi yang tertindas, bagi yang miskin."[8] "Semakin murni demokrasi borjuis", Lenin berkata lagi, "Semakin telanjang bulat, akut, dan tak kenal belas kasihan terhadap perjuangan kelas. Semakin murni demokrasi borjuis, semakin murni juga penindasan dan kediktatoran borjuis."[9]
Pada dasarnya, rupa dari suatu negara tidak akan sedikitpun mengubah watak kelas atas suatu negara. Negara borjuis akan senantiasa menjadi negara borjuis, meskipun wajahnya telah dirias dengan make up republik demokratik, monarki konstitusional, negara korporasi, negara kesejahteraan, negara nasional, negara hukum, demokrasi parlementer, demokrasi pancasila, dan sebagainya, dan sebagainya. Perubahan dan pertukaran merek negara tidaklah selalu berarti perubahan dan pertukaran isi serta watak kelas negara. Isi serta watak kelas dari negara tidak akan dan tidak akan mungkin dapat berubah hanya dengan menggonta-ganti rupa dari suatu negara, walau dengan embel-embel rakyat sekalipun!!!
Terkait dengan hal ini, Engels pernah menjelaskan: "Negara, entah dalam bentuk republik-demokrasi, entah dalam bentuk monarki (kerajaan), tidak lain adalah mesin yang digunakan oleh satu kelas untuk menindas kelas lain. Hak demokratis yang diberikan kepada kelas buruh dalam pemilihan umum hanyalah digunakan untuk mengukur jumlah massa pertumbuhan kelas buruh."[10]
Dengan demikian, lantas apa jalan yang harus ditempuh guna mengubah isi serta watak kelas dari suatu negara? Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh guna mengubah isi serta watak kelas dari suatu negara ialah dengan jalan revolusi. Akan tetapi, apa revolusi itu sendiri?
Lalu, apa jawaban dari persoalan di atas? Guna menyelesaikan persoalan di atas, mungkin ada sebagian orang yang akan langsung menjawab bahwa pada dasarnya, revolusi adalah sebuah perubahan secara cepat. Ini adalah definisi yang paling umum terkait persoalan ini. Definisi umum ini didasarkan langsung kepada anti-tesis atau pertentangan antara pasangan konsep evolusi dan revolusi. Sayangnya, pandangan sesat ini telah terlanjur diamini secara umum, yaitu bahwa evolusi merupakan perubahan secara berangsur-angsur atau lambat, sementara, revolusi adalah perubahan secara cepat, suatu perubahan sekaligus. Secara kebahasaan, pandangan ini dijadikan lumrah, tetapi secara keilmuan sosial-politik, pandangan ini jelas tidak dapat dipertahankan. Bila kita mendasarkan pemahaman kita dengan pengertian ini, kita sama saja tengah mencampuradukkan dua ranah persoalan yang berbeda dan tak saling berkaitan. Pencampuradukkan arti ini merupakan salah satu jurus andalan dari kaum borjuasi untuk mengaburkan makna asli dari istilah revolusi, suatu muslihat yang halus untuk memalsukan arti dari kata tersebut.
Kekeliruan ini timbul karena dalam proses terbentuknya bangsa dan bahasa kita tidak mendasarkan pada pandangan ilmiah sebagaimana Tan terangkan dalam Madilog. Baik evolusi dan revolusi terdapat perubahan kuantitas menjadi kualitas, terdapat kesatuan dari kutub-kutub yang tak terdamaikan, terdapat negasi atas negasi (yang mana apabila suatu kualitas telah berubah menjadi kualitas yang lain, ia tidak dapat kembali kepada kualitas sebelumnya sama sekali) Yang menjadi perbedaan pokok antara evolusi dan revolusi bukanlah soal prosesnya, melainkan soal konteks pembahasannya. Apabila evolusi berbicara soal perubahan alat produksi biologis suatu spesies makhluk hidup secara dialektis, maka revolusi berbicara soal perubahan dialektis yang dialami oleh struktur sosial (antara basis (produksi dan hubungan-hubungan produksi) dan suprastruktur (politik, ideologi, kesenian, dll)). Namun dalam tulisan ini, kita akan tetap menggunakan pemahaman yang sesat ini, sekadar untuk memudahkan pembaca kita guna memahami tulisan kami. Kami akan menggunakan istilah 'evolusi' ini - dalam tanda kutip, bukan dalam makna yang sebenarnya, melainkan dalam makna 'sesatnya'.
Memang, revolusi bisa saja terjadi secara cepat, namun ini bukanlah isi yang menjadi inti dari revolusi. Isi-inti dari revolusi ini tidaklah terletak kepada cepat atau lambatnya proses perubahan yang berlaku, melainkan kepada watak atau tabiat dari proses itu sendiri. Perkara tempo memanglah bukan menjadi persoalan pikiran. Dengan lain perkataan, dapatlah kita katakan bahwa proses dari suatu revolusi itu sendiri, bisa berlangsung secara cepat-mendadak dengan sengitnya, akan tetapi juga bisa mengalir lambat-lambat, sehingga di dalam hakikatnya, dalam pengertian politik, tidak ataupun tidak mesti dan tidak perlu ada pertentangan yang merupakan anti-tesis mutlak. 'Evolusi' dan revolusi mungkin sekali sejalan dan bersesuaian.
Mari kita ambil contoh dari negeri Tiongkok. Bila kita meninjau jalannya revolusi proletar yang terjadi di negeri ini, kita akan segera mengetahui bahwa revolusi ini tidaklah terjadi secara cepat. Revolusi ini tidaklah terjadi melalui suatu gejolak yang cepat, melainkan terjadi melalui suatu perang saudara yang panjang. Meskipun bukan berarti gejolak yang cepat ini tidak pernah terjadi (sebagai contoh ialah pemberontakan Nanchang yang menjadi tonggak awal bagi revolusi ini), namun gejolak cepat yang semacam itu bukanlah menjadi bentuk utama bagi jalannya revolusi ini. Revolusi Tiongkok ini sendiri mengambil bentuk utama (bukan satu-satunya!!!) melalui perang gerilya yang berkepanjangan. Setelah kemenangan Partai Komunis Tiongkok, revolusipun tak lantas menjadi berhenti. Revolusi tetap berlanjut melalui proses pembangunan yang relatif lambat dan berangsur-angsur.
Atau, marilah kita ambil contoh pula dari Revolusi Rusia di tahun 1917, yang merupakan suatu Revolusi Sosialis pertama di dunia ini (sejauh Komune Paris kita abaikan). Sama seperti Revolusi Tiongkok yang bermula dari suatu gejolak yang sengit, Revolusi Sosialis Rusia juga bermula dari suatu gejolak yang sengit, yang terjadi pada bulan November di tahun 1917. Meski demikian, pada kenyataannya revolusi ini tidaklah selalu mengambil bentuk sebagai gejolak yang cepat dan sengit. Kecepatan, kedahsyatan, kesengitan dan kehebatan perubahan ini tidak terus menerus sama tinggi derajatnya. Pelaksanaan politik NEP, dan sesudah itu penyelenggaraan rencana pembangunan 5 tahun, menunjukan juga bahwa perubahan masyarakat itu bisa berlangsung secara berangsur-ansur, secara mengalir rata, jadi bagai suatu 'evolusi'. Proses Revolusi Rusia itu justru membuktikan adanya hubungan antara revolusi dan 'evolusi', yang satu dengan lain akan saling ganti-mengganti.
Dengan pembuktian-pembuktian di atas, maka jelaslah bahwa secara politik dan keilmuan yang ketat dan ilmiah, tidaklah mesti selalu ada pertentangan antara pengertian dari perkataan revolusi dengan 'evolusi'. Suatu 'evolusi' juga bisa berarti revolusi. Artinya, suatu revolusi mungkin sekali menampakkan dirinya sebagai sesuatu 'evolusi', yaitu sebagai suatu perubahan yang relatif lambat dan tak sengit. Kedua corak proses itu tidaklah mesti selalu bertentangan dalam isinya, mungkin sekali bisa selaras dan sejalan, atau malahan pasti akan selalu berganti-ganti jalannya (suatu gejolak perubahan yang cepat dan sengit akan disusul oleh suatu bentuk perubahan-pembanguan yang lambat). Yang harus kita perhatikan bukanlah temponya, akan tetapi isi dan arahnya perubahan tersebut. Apakah perubahan tersebut bersifat total atau sekedar tambal sulam? Apakah perubahan tersebut menyentuh sampai ke akar-akarnya? Atau hanya sampai kulitnya saja?
Revolusi, menurut arti kata yang sebenarnya, adalah suatu perubahan vertikal, yaitu pembalikan total masyarakat dari atas ke bawah. Itulah intisari dari revolusi. Revolusi bukan hanya sekedar perubahan horizontal semata. Ia senantiasa berkaitan dengan perubahan tatanan masyarakat yang ada. Dalam soal kemasyarakatan, maka revolusi itu mengandung arti perombakan susunan masyarakat dari atas ke bawah, "dari ujung rambut sampai ujung kaki", artinya lapisan atas dan bawah itu dibalikkan, kelas-kelas tertindas merampas kekuasaan kelas penindas, dan bersamaan dengan itu pula terjadi suatu perubahan dari sistem produksinya, yang menguasai segala soal-soal masyarakat itu.
Mari kita contohkan. Reformasi '98, meskipun merupakan suatu perubahan yang cepat dan bahkan sampai berdarah-darah, tidak bisa kita sebut sebagai revolusi karena sama sekali tidak mengubah bentuk tatanan yang ada. Meskipun konstitusi diamandemenkan, beberapa lembaga dihapuskan dan ditambahkan, dwifungsi ABRI ditiadakan, terdapat sedikit lebih banyak kebebasan, dll, namun pasca reformasi '98 TIDAK ADA PERUBAHAN TATANAN MASYARAKAT YANG TERJADI. Si buruh tetap menjadi budak kapital yang setiap harinya dieksploitasi, dan si borjuis tetap menguasai alat-alat produksi dengan senang hati. Pendek kata, Kaum bankir, kaum tuan-tuan besar agraria, dan kelas penguasa lainnya tetap menjadi lapisan yang paling atas, tetap menguasai ekonomi rakyat dan negara, sedangkan kaum pekerja, kaum buruh, kaum tani dan pedagang kecil yang berjuta-juta itu, tetap menjadi atau dijadikan landasan masyarakat yang paling bawah, mereka tetap tidak memiliki kekuasaan untuk mengatur kehidupan mereka sendiri.
Dengan menengok hal ini, maka jelaslah bahwa bertukarnya suatu kekuasaan dari satu tangan ke lain tangan, sekalipun terjadi secara cepat dan disertai dengan jalan kekerasan, paksaan, dan pertumpahan darah, apabila ditinjau dari patokan perilmuan yang konkret dan sangat realistis, tidaklah selalu berarti suatu revolusi, sekalipun percelotehan umum lazimnya dan selalu menamakan tiap-tiap perebutan dan pertukaran kekuasaan, yang dilakukan dengan ujung senjata dan berlaku secara cepat sebagai suatu revolusi. Walaupun memang betul bahwa tidak ada satu revolusi pun yang terjadi secara damai, akan tetapi bukan berarti segala perebutan kekuasaan yang terjadi dengan jalan kekerasan adalah suatu revolusi. Sejauh perubahan tersebut tidak mengubah bentuk kepemilikan atas alat-alat produksi serta sistem hubungan produksi yang ada, maka perubahan tersebut tidaklah layak disebut sebagai revolusi.
Atau kita bisa mengambil contoh dalam negeri kita sendiri. Peristiwa pembantaian massal 1965 yang telah menyebabkan terbunuhnya banyak aktivis, kaum pekerja, dan kaum tani yang dicap sebagai antek komunis oleh kalangan militer angkatan darat sebagai pelopor pembantaian tersebut. Bagaimanapun, peristiwa ini sama sekali tidaklah bisa disebut sebagai (kontra) revolusi, meskipun dia memakan banyak korban jiwa sebagai akibat dari keganasan kaum militer angkatan darat yang tangannya penuh dengan darah-darah orang tak bersalah. Suatu gejala kekerasan maupun pembunuhan yang melibatkan masyarakat banyak tidaklah selalu berarti revolusi maupun kontra-revolusi. Ini hanyalah propaganda kelas penguasa yang berdaya upaya untuk menjelek-jelekkan makna revolusi, untuk menakuti-nakuti massa rakyat, dan dengan demikian, menjaga tatanan masyarakat yang ada guna menguntungkan kelas penguasa saat ini.
Pada kenyataannya, kekerasan bukanlah inti daripada revolusi, melainkan adalah penggulingan tatanan masyarakat lama dan penggantian menuju tatanan masyarakat yang baru. Dengan demikian, peristiwa pembantaian massal 1965 dan kebangkitan rezim Soeharto tidaklah berarti revolusi maupun kontra-revolusi. Peristiwa ini hanyalah bentuk stabilisasi negara borjuis yang sebelumnya di era kepemimpinan rezim Soekarno mengalami tekanan ekonomi dan politik oleh negara-negara imperialis. Inflasi yang meninggi dan embargo oleh imperialis AS menjadi contoh penting bagaimana ketidakstabilan ekonomi-politik negara Indonesia pada masa itu. Bagi kaum imperialis, situasi ini jelas berbahaya lantaran akan membuka kemungkinan untuk terciptanya revolusi sosial di Indonesia mengingat kekuatan PKI yang makin lama makin menguat pada masa itu. Itulah sebabnya, kalangan militer angkatan darat sebagai kaki tangan dari negara imperialis AS berdaya upaya untuk menghentikan situasi ini yang memuncak pada peristiwa Gestok (Gerakan Satu Oktober) atau lebih sering kita dengar sebagai G30S. Peristiwa terbunuhnya 7 Jendral ini memantik pembunuhan massal 1965 oleh kalangan militer dan sipil yang terprovokasi.
Tentunya, kita tidak akan tertipu dengan bualan rezim Soeharto bahwa peristiwa ini adalah revolusi, meski ketujuh jendral yang diculik dan dibunuh dalam peristiwa tersebut digelari sebagai pahlawan revolusi. Apakah terdapat perebutan negara oleh kelas satu terhadap kelas lain dalam peristiwa itu? Kenyataannya adalah tidak. Baik rezim Soekarno maupun rezim Soeharto, negara sama-sama masih dikuasai oleh kelas borjuis. Hanya saja, rezim Soekarno lebih membuka ruang lebar terhadap borjuis nasional dan seakan-akan menjauhi borjuis-imperialis, sedangkan rezim Soeharto justru malah merangkul borjuis-imperialis secara terang-terangan. Jadi, celotehan terkait revolusi dalam peristiwa tersebut adalah sepenuhnya omong kosong, begitu pun juga celotehan tujuh jendral sebagai pahlawan revolusi. Ini hanyalah upaya kelas penguasa untuk membelokkan ingatan dan kesadaran massa rakyat pekerja terhadap sejarah bangsanya sendiri dan menyesatkan pemahaman tentang apa itu revolusi sebenarnya.
Dalam karyanya yang berjudul "Aksi Massa", Tan Malaka telah menjelaskan duduk perkara revolusi ini dengan amat tepat: "Revolusi itu bukan sebuah ide yang luar biasa, dan istimewa, serta bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa. Kecakapan dan sifat luar biasa dari seseorang dalam membangun revolusi, melaksanakan atau memimpinnya menuju kemenangan, tak dapat diciptakan dengan otaknya sendiri. Sebuah revolusi disebabkan oleh pergaulan hidup, suatu akibat tertentu dari tindakan-tindakan masyarakat. Atau dalam kata-kata yang dinamis, dia adalah akibat tertentu dan tak terhindarkan yang timbul dari pertentangan kelas yang kian hari kian tajam. Ketajaman pertentangan yang menimbulkan pertempuran itu ditentukan oleh pelbagai macam faktor: ekonomi, sosial, politik, dan psikologis. Semakin besar kekayaan pada satu pihak semakin beratlah kesengsaraan dan perbudakan di lain pihak. Pendeknya semakin besar jurang antara kelas yang memerintah dengan kelas yang diperintah semakin besarlah hantu revolusi. Tujuan sebuah revolusi ialah menentukan kelas mana yang akan memegang kekuasaan negeri, politik dan ekonomi, dan revolusi itu dijalankan dengan "kekerasan". Di atas bangkai yang lama berdirilah satu kekuasaan baru yang menang."[11]
Maka dari itu, sebelum kita menghabiskan pembahasan kita dalam artikel ini, adalah perlu untuk terlebih dahulu menggarisbawahi maksud dan arti kata "revolusioner" yang setepat-tepatnya, agar jangan kita salah tempa dan salah paham antara satu dengan yang lain, yang akan membahayakan pergerakan kita di hari nanti.
Seringkali orang beranggapan bahwa revolusioner tidaknya suatu hal itu pada dasarnya ditentukan oleh 'merek' atau tampilan muka yang nampak dari hal tersebut. Sebagai contoh, apabila terdapat seseorang atau sekelompok orang yang melakukan pergerakan dengan mempergunakan embel-embel Marxisme, maka otomatis, mereka adalah kaum revolusioner. Atau, sebagai contoh lain, apabila terdapat suatu organisasi yang mempergunakan istilah "revolusioner" bagi nama mereka, atau setidak-tidaknya seringkali menyatakan diri sebagai revolusioner (meskipun nama organisasi mereka tidak menyematkan istilah "revolusioner") maka secara otomatis, segala tindak-tanduk merekapun adalah revolusioner pula. Apakah benar demikian? Sayangnya tidak.
Meskipun benar bahwa segala latar belakang teoretis mereka tidaklah boleh kita abaikan, meskipun benar bahwa "tanpa teori revolusioner, tidak akan ada pergerakan revolusioner", dan meskipun benar pula bahwa hanya Marxismelah yang mampu memberikan pandangan yang lengkap dan harmonis bagi kaum proletariat guna menuntun mereka menuju pembebasannya, namun, penilaian kita akan revolusioner-tidaknya suatu hal pada dasarnya tidaklah boleh dilandaskan hanya kepada merek ideologis semata!!! Walaupun mereka membawa-bawa nama Marxisme sebagai panji-panji mereka, akan tetapi, HAL INI BELUMLAH BISA DIJADIKAN JAMINAN AKAN KEREVOLUSIONERAN MEREKA. Di era kemerdekaan sendiri, ada begitu banyak orang yang mengklaim diri mereka sebagai kaum "revolusioner" dan mengaku diri sebagai murid-murid Marx dan Engels, termasuk mereka yang tergabung dalam anasir-anasir feodal, kapitalis, borjuasi-nasional, dan borjuasi kecil!!! Apakah mereka semua termasuk sebagai kaum revolusioner? Tentu saja tidak.
Secara mendasar, revolusioner-tidaknya suatu hal pada dasarnya tidaklah ditentukan oleh merek ideologis yang nampak di muka, melainkan oleh tujuan-mutlak yang menjadi hasrat dari hal tersebut. Apa artinya? Artinya hal yang kita maksud tersebut mampu untuk mendorong jalannya revolusi, maka barulah hal tersebut bersifat revolusioner. Sebaliknya pula, tiap-tiap perbuatan yang wujudnya, ataupun akibatnya menghalangi serta menentang pengembangan dan perjalanan revolusi yang dimaksudkan itu, dia adalah kontra-revolusioner atau bahkan reaksioner. Hal-hal ini terlepas dari anggapan subjektif kita sendiri, terlepas dari pada simpati atau antipati kita masing-masing terhadap perbuatan itu.
Revolusioner tidaknya suatu hal pada dasarnya tidaklah ditentukan oleh perkataannya semata, melainkan yang terutama juga oleh praktek konkretnya dalam dunia nyata. Terkait perilaku munafik ini, yaitu perilaku revolusioner yang hanya di mulut saja, Lenin menyatakan bahwa mereka hanya "mengakui revolusi proletar dalam kata-kata, tetapi dalam perbuatan menolak apa itu paling esensial dan mendasar dalam konsep "revolusi"."
Satu-satunya tolok ukur konkret yang dapat kita gunakan untuk menilai revolusioner-tidaknya suatu hal ialah dengan meninjau akibat dari hal tersebut. Apabila hal yang kita maksud itu mengakibatkan kemajuan bagi jalannya revolusi dan mempercepat jalannya revolusi, maka hal tersebut adalah praktek yang revolusioner, teori yang revolusioner, strategi yang revolusioner, organisasi yang revolusioner, dll. Akan tetapi, apabila yang kita maksudkan itu justru malah mengakibatkan jalannya revolusi menjadi semakin lambat dan terhambat, maka tidak diragukan lagi, meskipun hal-hal tersebut distempeli dengan ribuan kata "revolusioner", hal tersebut secara objektif tetaplah kontra-revolusioner.
Walaupun memang, bukan berarti kita tidak boleh menganggap diri kita sendiri sebagai yang revolusioner. Kita memang boleh sekali menganggap diri kita sendiri sebagai seorang revolusioner, seorang revolusioner yang tulen. Akan tetapi, buat kita, yang terpenting bukanlah pernyataan dari salah satu personal. Yang harus kita hiraukan dan perhatikan ialah akibat dari perbuatannya. Apabila akibat dari tindakan dan perbuatan seseorang, biarpun dia berkali-kali mengaku dirinya sebagai "revolusioner", tidak selaras dan sesuai dengan kemauan serta keharusan pengembangan dan penyelesaian revolusi, maka secara objektif dan perilmuan politik, tidaklah boleh kita sebutkan mereka sebagai yang revolusioner, sekalipun dia kawan-karib kita sendiri, bahkan sekalipun kita mau mengakui dan mempercayai, bahwa orang yang bersangkutan itu sesungguhnya mengandung keinginan dan hasrat hendak melaksanakan revolusi.
Mari kita menggarisbawahi perkara ini dengan lebih tegas lagi: revolusioner-tidaknya suatu hal pada dasarnya bukanlah ditentukan kepada nama atau merek orang dan partai yang menghendaki atau menjalankannya, akan tetapi senantiasa merujuk kepada tujuan-mutlak yang hendak dicapainya. Artinya, hal tersebut bergantung sangat kepada jawaban dari pertanyaan ini: apakah akibat dari suatu hal tersebut mendorong perkembangan revolusi yang dimaksudkan, ataukah malah menghalangi perkembangannya? Apakah suatu hal tersebut mempercepat atau melambatkan perjalanannya, tepat sejalan ataukah menentang arus revolusi yang ada?
Segala akibat dari suatu hal yang kita maksudkan itu haruslah dapat diuji serta dikontrol dengan bukti-bukti yang nyata, sehingga kita mempunyai patokan yang tertentu. Andai kata betul terbukti, bahwa akibat dari suatu hal yang kita maksudkan tersebut dapat menguntungkan penyelenggaraan revolusi itu, maka betul-betul kita berhadapan dengan salah satu strategi dan taktik revolusioner, maka barulah orang atau partai yang melakukannya itu betul-betul layak mendapat predikat revolusioner.
Demikianlah duduk perkaranya.
Apa yang akhir-akhir ini disuarakan oleh beberapa kalangan mahasiswa jelas merupakan suatu keanehan. Mereka menyatakan tentang perlunya diadakan revolusi, akan tetapi mereka sendiri justru tidak ingin berbaur dengan massa rakyat yang ada, khususnya pekerja. Dengan menganggap diri sebagai agent of change, mereka merasa mampu untuk mengatasi persoalan revolusi dengan sendirinya. Mereka tampaknya lupa bahwa bukan mahasiswa yang menciptakan sejarah, melainkan massa pekerjalah yang menciptakan sejarah. Konsep agent of change ini, yang sering kali digembar-gemborkan oleh media-media borjuis, pada kenyataannya hanyalah tipuan guna memuaskan romantisme anak muda yang tak berdasar. Mereka berteriak soal "hidup rakyat Indonesia!!", namun bahasa yang mereka gunakan jauh dari kata merakyat: penuh dengan jargon-jargon intelektual-elitis dan jauh dari pandangan teoretis yang revolusioner.
Dalam salah satu karyanya yang berjudul Apa Yang Harus Dilakukan?, Lenin telah menuliskan bahwa "Tanpa teori revolusioner, tidak akan ada gerakan revolusioner". Lenin benar pada saat itu, dan juga benar hingga saat ini. Sejarah telah membuktikan, bahwa Marxisme adalah senjata teoretis yang paling ampuh bagi kaum yang tertindas untuk menjalankan suatu revolusi. Sejarah telah membuktikan pula akan kebenaran dari Marxisme ini, yaitu bahwa revolusi tak akan dimunculkan oleh kalangan intelektual (seberapapun revolusionernya pandangan mereka), melainkan hanya dapat dimunculkan oleh seluruh massa rakyat tertindas itu sendiri, yang dipelopori oleh kelas proletariat. Kelas proletariat, sebagai kelas yang paling mendasar dalam masyarakat kapitalis, yang paling berdisiplin, dan yang paling maju, adalah ujung tombak bagi revolusi Sosialis.
I. PENDAHULUAN
Belakangan ini, persoalan negara dan revolusi telah menjadi perbincangan di sana sini. Mulai dari sudut-sudut ruang university hingga di warung-warung kopi, semua memperbincangkan dua persoalan ini. Terbukanya wajah asli dari Negara Kapitalis Republik Indonesia (NKRI) telah menjadi pemicu utama bagi kebangkitan minat ini. Akan tetapi, meski kebangkitan minat ini perlu kita hargai, secara umum pengertian dari dua perkara ini telah mengalami distorsi yang besar sekali. Arti dari konsep negara dan revolusi kini tak lagi dimaknai secara ilmiah dan ketat, melainkan semata-mata menjadi medan percelotehan yang seringkali berakhir menjadi debat kusir.Sungguh amat sangat disayangkan, namun itulah kenyataannya!!!
Berangkat dari keadaan kacau sebagaimana yang telah dijabarkan di atas, artikel ini pada dasarnya hendak mengetengahkan persoalan negara dan revolusi itu. Artikel ini tidaklah ditujukan untuk memberikan suatu ikhtisar tentang “Negara dan Revolusi”-nya Lenin. Telah cukup banyak ikhtisar yang semacam itu, sehingga membuang-buang waktu saja bila kami menambahkan suatu ikhtisar yang sama. Lebih dari sekadar ikhtisar, artikel ini ditujukan untuk mempergunakan sudut pandang Lenin tersebut guna menganalisis pandangan-pandangan umum perkara negara dan revolusi.
Berkembangnya paham-paham dan anggapan oportunis di kalangan rakyat kita pada masa dewasa ini sangat membutuhkan penjabaran teori yang tegas dan jelas dari pihak kita seluas-luasnya. Tidak diragukan lagi, munculnya aksi demonstrasi mahasiswa di banyak tempat telah memunculkan minat dari kalangan masyarakat, bahkan yang paling apolitis sekalipun, terhadap persoalan negara dan revolusi. Merupakan tugas mutlak bagi kami untuk membuat pernyataan publik tentang pandangan kami atas persoalan ini.
II. PERKARA NEGARA
A. Hakekat Negara
Lantas, apa itu negara? Bagaimana ia dapat muncul? Dan bagaimana seharusnya sikap kita selaku kaum Marxis dalam menghadapinya? Sebelum kita berbicara panjang lebar terkait perkara negara ini, sudah seharusnya kita menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar ini terlebih dahulu.Telah terlampau banyak pendeta-pendeta 'teori' politik borjuis yang telah menjelaskan persoalan di atas dengan segala macam tipu muslihatnya. Dengan tiada bosan-bosannya, mereka menjelaskan bahwa negara adalah suatu susunan badan yang berasal dari luar, berdiri di luar, dan menjadi hakim pengadil masyarakat beserta seluruh kelas yang ada. Mereka mengklaim bahwa negara adalah suatu organisasi mandiri yang menjadi dasar kehidupan umat manusia, dan yang menganugerahkan kepada orang-orang, atau dapat menganugerahkan kepada orang-orang, atau yang membawa serta suatu kekuasaan yang bukan dari manusia, tetapi diberikan kepadanya dari luar.
Beberapa kaum pemuka agama lantas menambahkan bahwa negara adalah suatu organisasi ilahi yang bersumber dari karunia-karunia sorgawi. Mereka merumuskan suatu 'teori' kepercayaan negara ilahi bahwa negara berasal dari luar masyarakat, yakni berasal dari perbuatan atau pemberian Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang!!! Dengan berdasarkan ajarannya ini, mereka mewajibkan para pengikutnya untuk mengimani mereka punya kepecayaan. Tiap-tiap orang yang tidak mengimani kepercayaan mereka secara langsung akan dipandang sebagai orang-orang kafir, ateis, murtad, dan munafik.
Akan tetapi, apa konsekuensi dari pandangan yang semacam ini? Orang yang memercayai bahwa negara adalah pemberian dari Tuhan itu sendiri, mau tak mau, harus menaati dan menuruti segala tindak tanduk negara seperti memercayai Tuhan. Ia harus percaya bahwa segala keburukan, kezaliman, kekerasan, perampokan, penjarahan, dst,... dsb,... dsl,... yang dilakukan oleh atau atas nama negara pada dasarnya berasal dari kehendak Allah guna menyelamatkan umat manusia yang hidup di atas muka bumi ini. Dengan demikian, semua kemelaratan, penderitaan, kemiskinan, kelaparan, dll, dapatlah dianggap sebagai suatu takdir ilahi. Terlepaslah segala tanggung jawab kelas penguasa dari segala ketimpangan yang ada!!
Dengan memandang realita ini, maka tak aneh rasanya bila Marx sempat berkata bahwa agama adalah opium buat masyarakat. Apakah merupakan suatu kebetulan bila banyak kelas penindas di dunia, dari era perbudakan hingga era kapital-imperialis ini (tak terkecuali kelas penindas di Indonesia!!!) yang sangat gandrung akan hal-hal berbau supranatural, pecinta santet, pemuja-muja kepercayaan makhluk ghaib, penggila klenik, yang sangat mudah digunakan buat meninabobokan massa rakyat? Ide-ide dominan di dalam masyarakat adalah ide-idenya kelas penguasa, termasuk dalam hal penafsiran agama.
Agama adalah kepercayaan yang tidak bisa menjadi dasar persoalan-persoalan kenegaraan dan kemasyarakatan, sebab persoalan negara dan masyarakat tidak berakar kepada kepercayaan agama, melainkan kepada kondisi sosial, cara produksi dan syarat-syarat produksinya. Inilah yang perlu kita tekankan.
Peran progresif yang dimainkan oleh Islam di era awal kemunculannya misalnya. Apakah peran progresif itu disebabkan karena ajaran-ajaran Islam lebih murni, sempurna, dll, bila dibandingkan dengan agama lain? Bila ditilik dari tinjauan materialisme dialektik dan historis, jawabannya adalah tidak. Peran progresif itu muncul bukan karena ajarannya yang lebih murni, lebih sempurna, dan sebagainya, dan sebagainya, melainkan karena SECARA OBJEKTIF (jadi, terlepas dari klaim subjektif masing-masing pihak) posisi kelas yang dimainkan oleh Islam adalah cocok untuk memainkan peran progresif tersebut. Pada awalnya, Islam mewakili kepentingan kaum saudagar Arabia. Sebagai ajaran yang menemukan gemanya di antara kaum saudagar, Islam dapat memainkan peran progresif untuk menyatukan perpolitikan jazirah arab yang tadinya terpecah-belah ke dalam suku-suku nomaden. Dan dengan ini perekonomian ketuan-tanahan semakin tersentralisir ke dalam satu kekuasaan politik serta mampu mengembangkan sektor perdagangan. Singkatnya, menciptakan iklim yang stabil bagi perkembangan ilmu pengetahuan, hukum, kesejahteraan sosial, dan budaya.
Hal yang sama juga terjadi bila kita berbicara terkait dominasi politik dan ekonomi dari kemunculan agama Kristen protestan di Eropa pada era modern ini. Apakah dominasi ekonomi dan politik dari agama Kekristenan menandakan bahwa ajaran-ajaran mereka lebih murni, lebih sempurna, dll? Sama sekali tidak. Dominasi Kekristenan ini bukan disebabkan karena ajarannya yang lebih murni atau yang lainnya, melainkan semata-mata karena faktor-faktor produksi yang ada. Orang-orang Kristen prostestan telah terlebih dahulu meningkat cara-cara berproduksi kapitalistik dibanding dengan cara-cara produksi orang-orang di agama lain, sehingga mereka lebih mampu untuk menempatkan dominasinya secara global.
Dengan memandang hal ini, maka jelaslah bahwa perkara ketuhanan bukanlah menjadi akar dari persoalan-persoalan kenegaraan dan kemasyarakatan. Segala macam gerak perkembangan dan pertentangan agama, meskipun tidak boleh kita abaikan, tidaklah boleh dipandang sebagai dasar itu sendiri. Mereka haruslah kita tinjau sebagai bayangan dari pertentangan antara beberapa golongan ekonomi atau yang lebih populer sebagai bayangan dari pertentangan kelas. Bila kita mendasarkan pemahaman kita akan negara kepada dasar "ketuhanan", seperti yang terjadi sekarang ini, maka itu menandakan kedangkalan kita dalam memahami persoalan kenegaraan dan kemasyarakatan. Pandangan yang semacam itu hanya akan menutup-nutupi hakekat negara yang sebenarnya, yang tak lain adalah "mesin untuk penindasan satu kelas oleh kelas yang lain"[1] (Engels).
Selain sebagian dari kaum pemuka agama seperti yang ada di atas, ada pula kaum sosial-oportunis yang meskipun mereka menolak klaim kebenaran dari 'teori' idealis di atas, meskipun mereka mengaku dirinya sebagai kaum Marxis Revolusioner, meskipun mereka menepuk-nepuk dada mereka sambil berkata: "Ya! Aku Marxis!", dan meskipun mereka seringkali mengutip kalimat-kalimat para pendiri Sosialisme Ilmiah, namun secara teoretis maupun praktis, mereka bukanlah Marxis sama sekali. Kaum 'Marxis' gadungan ini[2] berkata bahwa negara sejatinya bukanlah alat penindasan kelas, melainkan badan kekuasaan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Mereka berargumen bahwa kemunculan negara bukanlah ditujukan untuk melayani kepentingan kelas tertentu, melainkan untuk melayani kepentingan semua orang. Pendek kata, negara bukanlah negara kelas, melainkan negara "semua buat semua".
Tak perlulah diterangkan berpanjang-lebar lagi segala macam celotehan mereka yang sejatinya telah basi itu. Pada kenyataannya, negara di manapun juga memanglah senantiasa dimunculkan oleh rakyat. Tidak pernah ada negara yang dimunculkan oleh jin, setan, genderuwo, ataupun makhluk-makhluk ghaib lainnya. Meskipun nampak progresif dan revolusioner, namun dengan menyatakan bahwa negara didirikan dan ditujukan buat rakyat, kita sama saja hanya mengulang-ulangi pandangan lapuk kaum liberal dan meriasnya dengan lipstick cap 'Marxisme'. Kita sama saja tengah mengunyah-ngunyah sisa kotoran manusia yang telah sekian lama dicerna dan dimuntahkan dari dalam perut itu.
Betul, negara memang didirikan oleh rakyat guna melayani kepentingan-kepentingan rakyat. Perkara ini nampaknya telah umum kita ketahui. Negara memanglah bukan suatu barang impor yang diselundupkan dari luar masyarakat, melainkan berakar dari masyarakat itu sendiri. Akan tetapi, yang menjadi perkara selanjutnya ialah RAKYAT YANG MANA? Apakah negara sejatinya memang ditujukan buat rakyat banyak tanpa pandang bulu, atau ditujukan untuk kalangan tertentu? Inilah yang harus kita selidiki. Menggembar-gemborkan konsep "negara rakyat" tanpa menghubungkannya dengan dialektika lebih lanjut pada dasarnya hanya akan menutup-nutupi kepentingan borjuasi yang berada di balik 'teori' itu.
Lalu, bagaimana kita harus menyelesaikan persoalan-persoalan di atas? Guna menyelesaikan persoalan-persoalan di atas, adalah perlu bagi kita untuk menengok ke belakang terlebih dahulu. Artinya, sebelum kita berbicara panjang lebar terkait negara, kita setidaknya juga harus melihat sejarah dari negara. Salah satu syarat mendasar agar kita dapat memahami negara secara ilmiah adalah tidak melupakan hubungan sejarah yang menjadi fondasi bagi kemunculannya. Segala macam pertanyaan terkait kemunculan dan perkembangan negara haruslah kita tangani.
Merupakan suatu fakta mendasar yang seringkali dilupakan bahwa negara pada kenyataannya tidaklah selalu ada. Ada suatu masa tertentu ketika manusia belum lagi mengenal negara. Dalam masa-masa itu, manusia belum lagi mengenal pengadilan, tentara, raja, penjara, dan lain-lainnya. Fase hubungan sosial tanpa negara ini seringkali disebut dengan nama fase Komunisme primitif.
Terkait dengan fase primitif ini, Lenin pernah menjelaskan bahwa: "Dalam masyarakat primitif, ketika orang-orang hidup dalam kelompok keluarga kecil dan masih berada pada tahap perkembangan terendah, dalam kondisi yang mendekati kebiadaban—sebuah zaman di mana masyarakat manusia modern dan beradab dipisahkan oleh beberapa ribu tahun—BELUM ADA TANDA-TANDA KEBERADAAN SEBUAH NEGARA. Kami menemukan dominasi adat, otoritas, rasa hormat, kekuasaan yang dinikmati oleh para tetua klan; kita menemukan kekuatan ini kadang-kadang diberikan kepada perempuan, posisi perempuan pada waktu itu tidak seperti kondisi perempuan yang tertindas seperti saat ini — tetapi tidak ada tempat kita menemukan kategori khusus orang yang dipisahkan untuk memerintah orang lain dan yang, demi tujuan kekuasaan, secara sistematis dan permanen memiliki alat pemaksaan tertentu, alat kekerasan, seperti yang ada pada saat ini, seperti yang Anda semua sadari."[3]
Pada masa itu, kepemimpinan tidaklah ditegakkan dengan jalan paksaan, melainkan dengan jalan kesukarelaan. Engels dalam "Asal-Usul Keluarga, Milik Perseorangan, dan Negara" menjelaskan: “Polisi berpangkat rendahan dari negara yang beradab memiliki lebih banyak “otoritas” dibandingkan segenap gabungan organ-organ masyarakat kesukuan; tapi putera mahkota terkuat dan negarawan atau jenderal terhebat dari masyarakat beradab mungkin iri kepada kepala suku yang paling rendah hati akan penghormatan tanpa paksaan dan tanpa bantahan kepadanya. Yang satu berada di tengah-tengah masyarakat; yang satunya lagi terpaksa berlagak sebagai sesuatu dari luar dan di atasnya.”[4]
Bila manusia pernah melewati suatu masa ketika belum lagi ada negara, lantas bagaimana mungkin negara dapat muncul? Apa yang menjadi sebab musabab bagi kemunculannya? Sejarah menunjukkan bahwa kemunculan negara disebabkan oleh terpecahnya masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial yang saling bertentangan. Ketika manusia masih hidup secara primitif, ketika alat-alat produksi yang ada masih dimiliki secara bersama, eksploitasi belumlah terjadi. Manusia pada masa itu belum lagi memiliki kemampuan untuk menghasilkan surplus produksi atas kebutuhannya sendiri, sehingga tidak ada kesempatan untuk merampok hasil kerja orang lain. Akan tetapi, ketika manusia terus berinteraksi dengan kondisi alam yang semakin berubah manusia mulai mampu untuk mengembangkan alat dan tekniknya. Akibatnya surplus produksi pun mulai muncul, sehingga kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi serta pembagian kelas sosial mulai terjadi. Di saat inilah negara mulai muncul.
Lenin menjelaskan: "Jika Anda memeriksa negara dari sudut pandang pembagian fundamental ini, Anda akan menemukan bahwa sebelum pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas, seperti yang telah saya katakan, tidak ada negara. Tetapi ketika pembagian sosial ke dalam kelas-kelas muncul dan berakar kuat, ketika masyarakat berkelas muncul, negara juga muncul dan berakar kuat. Dengan memeriksa fenomena umum ini, dengan bertanya pada diri kita sendiri mengapa tidak ada negara ketika tidak ada kelas, ketika tidak ada penghisap dan dieksploitasi, dan mengapa itu muncul ketika kelas muncul — hanya dengan cara ini kita akan menemukan jawaban yang pasti untuk pertanyaan tentang apa sifat dan pentingnya negara."[5]
Dengan demikian: "Negara adalah produk masyarakat pada tingkat perkembangan tertentu; negara adalah bukti bahwa di dalam masyarakat ini terdapat kontradiksi yang tak terselesaikan, bahwa ia telah terpecah menjadi segi-segi yang berlawanan yang tak terdamaikan dan ia tidak berdaya melepaskan diri dari keadaan demikian itu. Dan supaya segi-segi yang berlawanan ini, kelas-kelas yang kepentingan-kepentingan ekonominya berlawanan, tidak membinasakan satu sama lain dan tidak membinasakan masyarakat dalam perjuangan yang sia-sia, maka untuk itu diperlukan kekuasaan yang nampaknya berdiri di atas masyarakat, kekuasaan yang seharusnya meredakan bentrokan itu, mempertahankannya di dalam 'batas-batas tata tertib (legal formal)'; dan kekuasaan ini, yang lahir dari masyarakat, tetapi menempatkan diri di atas masyarakat tersebut dan yang semakin mengasingkan diri darinya, adalah negara."[6]
Pendek kata, dapatlah kita simpulkan bahwa pada dasarnya, negara tidaklah ditujukan buat rakyat banyak tanpa pandang bulu, melainkan hanya untuk kalangan tertentu, yaitu kelas yang menguasai alat-alat produksi. Memanglah betul, negara bisa saja bertindak demi kepentingan seluruh masyarakat, seperti membangun transportasi umum, menyelenggarakan sekolah umum, melindungi masyarakat terhadap tindak kriminal, dsb. Akan tetapi tindakan inipun dilakukan demi kepentingan kelas penguasa, karena kelas penguasa pun tidak dapat mempertahankan diri apabila kehidupan masyarakat pada umumnya tidak berjalan. Negara dapat saja berpura-pura bertindak atas nama kesejahteraan seluruh masyarakat, tetapi pada kenyataannya, negara senantiasa bertindak demi melayani kepentingan kelas yang menguasai alat-alat produksi. Ketika dalam keadaan krisis, negara akan menunjukkan watak aslinya.
B. Berhala Demokrasi dan Hantu Kediktatoran
Di sinilah letak perbedaan mendasar antara 'teori-teori' politik borjuis dengan teori proletariat revolusioner!!! Dalam percelotehan sehari-hari, mungkin kita akan sering menemukan pertentangan antara demokrasi dengan kediktatoran. "Demokrasi" kata kaum liberal dengan bergandengan tangan bersama kaum 'Marxis' gadungan, "secara fundamentil bertentangan dengan kediktatoran. Antara demokrasi dan kediktatoran terdapat jurang lebar yang menganga, mereka berkebalikan secara 180 derajat." Akan tetapi, benarkah demikian? Marxisme yang sejati berkata tidak.Pada kenyatannya, di manapun dan kapanpun juga, negara akan senantiasa bersifat diktator. Artinya, negara akan selalu menjadi alat penindasan kelas TANPA DIBATASI OLEH HUKUM APAPUN. Kekuasaan kelas atas suatu negara pada dasarnya bersifat mutlak, ia mengatasi segala hukum yang ada. Lenin menjelaskan: "Kediktatoran adalah aturan yang didasarkan langsung pada kekuatan dan tidak dibatasi oleh hukum apa pun. Kediktatoran revolusioner proletariat adalah aturan yang dimenangkan dan dipertahankan dengan penggunaan kekerasan oleh proletariat terhadap borjuasi, aturan yang tidak dibatasi oleh hukum apa pun. Ini [adalah] kebenaran sederhana, kebenaran yang sangat jelas bagi setiap pekerja yang sadar kelas [. . .] yang jelas bagi setiap perwakilan dari kelas tereksploitasi yang berjuang untuk emansipasi mereka [. . .] yang tidak dapat dibantah oleh setiap Marxis."[7]
Dengan berlandaskan pemahaman ini, dapatlah kita ketahui segala kepalsuan dari 'teori negara hukum' yang seringkali digembar-gemborkan itu. Mengobrolkan persoalan "negara hukum" di hadapan publik, sebagaimana yang seringkali dilakukan oleh para mahasiswa kita, pada dasarnya adalah suatu frasa kosong semata, karena memanglah tidak ada satu negarapun yang tidak didasarkan kepada undang-undang hukum tertentu. Negara manapun juga, baik yang bermerek monarki konstitusional, negara korporasi, republik demokratik, negara kesejahteraan, negara nasional, demokrasi parlementer, demokrasi pancasila, dan sebagainya, dan sebagainya, baik yang kiri maupun yang kanan, selalu berdiri berdasarkan undang-undang hukum tertentu, yang ditaati dan ditegakkannya sendiri. Ini adalah suatu perkara yang telah umum kita ketahui. Yang menjadi persoalannya bukanlah apakah hukum itu telah ditegakkan atau belum, melainkan untuk siapa hukum itu dibuat dan ditegakkan. Hukum itu sendiri memang selalu memihak, mereka tidak pernah netral "untuk membela keadilan", melainkan selalu ditujukan untuk melayani kepentingan kelas tertentu. Bukankah pada zaman dahulu perbudakan juga dianggap legal secara hukum?
Di posisi ini pula, kita dapat mengetahui peran dari aparat kepolisian yang katanya adalah melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat tanpa pandang bulu. Apakah benar demikian? Pada kenyataannya, tidak. Meskipun barangkali ada banyak polisi yang begitu baik hati, yang mau melayani masyarakat dengan tulus hati, yang rela mengorbankan diri walaupun harus mati, dll. Namun, apakah hal-hal itu memang merupakan tujuan utama bagi adanya lembaga kepolisian? Tidak. Terlepas dari segala kepribadian, motivasi individu, dan anggapan subjektif dari polisi itu sendiri, SECARA OBJEKTIF lembaga kepolisian (dan tentara dan semua lembaga berwajib yang menggunakan kekerasan dalam masyarakat kapitalis) ditujukan untuk melindungi kaum borjuasi dan mempertahankan tatanan yang ada. Memang bisa saja mereka membantu masyarakat umum tanpa pandang bulu, namun peran ini hanyalah peran sekunder, suatu peran kecil yang "hanya buta" guna menutupi peran mereka yang lebih penting bagi kelas penguasa. Itulah sebabnya mengapa mereka tidak akan memberikan perhatian yang sama kepada masyarakat; yang kaya dan "penting" akan lebih diutamakan ketimbang rakyat jelata. Itulah sebabnya mengapa mereka tidak akan segan-segan pula untuk menghilangkan nyawa seseorang apabila orang tersebut mengancam tatanan yang ada. Segala celotehan terkait "aparat mengkhianati rakyat" yang kerap kali digembar-gemborkan oleh kalangan mahasiswa sejatinya hanyalah omong kosong semata, seolah-olah keberadaan mereka memang dibentuk untuk melayani masyarakat dan bukan untuk menjadi alat bagi kelas penguasa.
Kembali ke persoalan demokrasi dan kediktatoran. Seringkali orang merasa ngeri dengan kaum Marxis yang hendak mendirikan kediktatoran proletariat. "Astagfirullah!! Kaum Marxis hendak menggantikan demokrasi dengan kediktatoran!!! Betapa jahanamnya mereka!!!" Teriak kaum borjuasi dengan ngerinya. Namun, bukankah kediktatoran memang senantiasa dipraktekkan oleh semua negara, termasuk oleh mereka? Lihat saja negara imperialis Amerika yang seringkali menjadi kiblat bagi demokrasi, bukankah mereka sendiri berdiri di atas tumpukan mayat budak-budak negro dan penduduk pribumi yang telah mereka basmi? Bukankah kini mereka juga berdiri di atas penjajahan di Timur-Tengah? Bagaimana pula nasibnya kaum pekerja yang mati dalam peristiwa Haymarket (yang menjadi batu peringatan bagi Hari Buruh Sedunia) hanya karena memperjuangkan haknya?
Atau, tak perlulah kita jauh-jauh hingga ke negeri Amerika, cobalah tengok Indonesia dengan demokrasi kebanggaannya, demokrasi Pancasila!!! Bukankah demokrasi Pancasila yang seringkali digembar-gemborkannya itu tak lain daripada selubung guna menutupi watak diktator dari kelas penguasa? Berapa banyak undang-undang yang berhasil disahkan tanpa melibatkan massa rakyat pekerja? Bagaimana pula nasibnya kaum pekerja, aktivis, dll yang nyawanya dihilangkan hanya karena menuntut haknya? Pembantaian '65, pembantaian Santa Cruz, tragedi Trisakti, hilangnya aktivis '98, pengesahan sewenang-wenang UU Omnibus Law Cipta Kerja, dll, semua itu adalah buah-buah dari demokrasi borjuis bermerek Pancasila.
Dengan demikian, secara mendasar, yang menjadi inti pertentangan dari persoalan ini bukanlah antara konsep kediktatoran dan demokrasinya, melainkan antara isi kelas yang meliputinya. Kediktatoran dan demokrasi adalah dua konsep kekuasaan yang saling mengisi, tak ada pertentangan akan hal ini. Demokrasi borjuis atau kekuasaan borjuis tidak lain adalah kediktatoran borjuis. Ia adalah demokrasi bagi segelintir pemilik alat-alat produksi, di mana segelintir kaum berpunya dapat membeli politisi, hukum, hakim, suara dalam pemilu, dll, demi melanggengkan kekuasaan partai-partai borjuis guna memuluskan jalan mereka untuk menghisap tenaga kerja menjadi profit. Sementara kita, kaum yang tak berpunya harus patuh pada setiap aturan yang sudah mereka beli kalau tak mau masuk bui. Seperti inilah demokrasi borjuis, yang memberikan kekuasaan dan kebebasan di tangan kelas berpunya, sementara ia menjadi kediktatoran yang memaksakan kehendaknya kepada kelas yang tak berpunya, yang tak lain adalah massa rakyat pekerja beserta kaum jelata lainnya. Sebaliknya, demokrasi proletariat atau kekuasaan proletariat tidak lain adalah kediktatoran proletariat. Ia adalah sebuah kekuasaan bagi mayoritas rakyat, sebuah demokrasi bagi massa rakyat pekerja, ketika mayoritas rakyat tersebut mampu mengontrol kekuasaan politik negara beserta alat-alat produksi demi memenuhi kebutuhan kita bersama. Dengan demikian kediktatoran proletariat akan menindas kaum borjuasi tanpa ampun sedikitpun, sedangkan di saat yang sama ia akan menjadi sarana pembebasan bagi kelas pekerja dan masyarakat tertindas pada umumnya, yang tak lain adalah kelas yang tak berpunya. Hal ini terjadi karena negara buruh akan semakin merampas kekuasaan ekonomi borjuasi, dengan kata lain memaksakan kehendak massa rakyat tertindas terhadap kepentingan ekonomi kelas berpunya.
Berdasarkan tinjauan di muka, dapatlah kita pahami pula bahwa demokrasi borjuis akan senantiasa bertentangan dengan kediktatoran proletariat. Kedua hal ini adalah alat perjuangan yang tak dapat dipersatukan, sebab kepentingan antara pemilik modal dengan kepentingan buruh memang tidak dapat dipersatukan. Demokrasi atau kediktatoran borjuis adalah alat bagi kepentingan pemilik modal, yaitu mereka yang merampas hasil kerja orang lain dan menguasai alat-alat produksi secara pribadi. Mereka berkepentingan untuk mempertahankan tatanan yang ada. Sebaliknya, demokrasi atau kediktatoran proletariat adalah alat bagi kepentingan massa rakyat pekerja, yaitu mereka yang saat ini hasil kerjanya dirampas oleh borjuis dan tidak menguasai alat-alat produksi. Mereka berkepentingan untuk merombak tatanan yang ada secara total.
Terkait dengan demokrasi borjuis ini, Lenin pernah menjelaskan: "Demokrasi borjuis, walaupun merupakan sebuah kemajuan sejarah yang besar dibandingkan dengan abad pertengahan, akan selalu terbatas, tidak lengkap, dan munafik, sebuah surga untuk yang kaya dan jebakan dan tipuan bagi yang tertindas, bagi yang miskin."[8] "Semakin murni demokrasi borjuis", Lenin berkata lagi, "Semakin telanjang bulat, akut, dan tak kenal belas kasihan terhadap perjuangan kelas. Semakin murni demokrasi borjuis, semakin murni juga penindasan dan kediktatoran borjuis."[9]
Pada dasarnya, rupa dari suatu negara tidak akan sedikitpun mengubah watak kelas atas suatu negara. Negara borjuis akan senantiasa menjadi negara borjuis, meskipun wajahnya telah dirias dengan make up republik demokratik, monarki konstitusional, negara korporasi, negara kesejahteraan, negara nasional, negara hukum, demokrasi parlementer, demokrasi pancasila, dan sebagainya, dan sebagainya. Perubahan dan pertukaran merek negara tidaklah selalu berarti perubahan dan pertukaran isi serta watak kelas negara. Isi serta watak kelas dari negara tidak akan dan tidak akan mungkin dapat berubah hanya dengan menggonta-ganti rupa dari suatu negara, walau dengan embel-embel rakyat sekalipun!!!
Terkait dengan hal ini, Engels pernah menjelaskan: "Negara, entah dalam bentuk republik-demokrasi, entah dalam bentuk monarki (kerajaan), tidak lain adalah mesin yang digunakan oleh satu kelas untuk menindas kelas lain. Hak demokratis yang diberikan kepada kelas buruh dalam pemilihan umum hanyalah digunakan untuk mengukur jumlah massa pertumbuhan kelas buruh."[10]
Dengan demikian, lantas apa jalan yang harus ditempuh guna mengubah isi serta watak kelas dari suatu negara? Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh guna mengubah isi serta watak kelas dari suatu negara ialah dengan jalan revolusi. Akan tetapi, apa revolusi itu sendiri?
III. PERKARA REVOLUSI
A. Apa Itu Revolusi?
Lantas, apa itu revolusi? Pertanyaan ini nampaknya memang tidak bisa kita abaikan lagi, melihat begitu banyaknya penyelewengan yang terjadi di sekitar kita ini. Akhir-akhir ini, memang cukup banyak orang yang berteriak tentang perlunya diadakan revolusi guna menghapuskan segala ketimpangan yang terjadi. Mereka berkata: "Tuntaskan reformasi dengan revolusi!!!". Pandangan mereka ini memang tak salah, memang revolusi adalah kunci. Akan tetapi, menjadi salah 'lah apabila kita sendiri tidak mengartikan istilah revolusi secara tepat dan ketat. Akan menjadi suatu dosa besar apabila kita mempergunakan istilah revolusi itu secara serampangan, secara seenak jidat, secara ngawur hanya untuk gaya-gayaan semata, tanpa mengerti arti atau makna yang sebenarnya. Yang lebih parah lagi ialah apabila kita meneriakkan kata "revolusi", namun dalam praktek, kita justru malah membawa kemunduran bagi jalannya revolusi. Naudzubillah min Dzalik!!!Lalu, apa jawaban dari persoalan di atas? Guna menyelesaikan persoalan di atas, mungkin ada sebagian orang yang akan langsung menjawab bahwa pada dasarnya, revolusi adalah sebuah perubahan secara cepat. Ini adalah definisi yang paling umum terkait persoalan ini. Definisi umum ini didasarkan langsung kepada anti-tesis atau pertentangan antara pasangan konsep evolusi dan revolusi. Sayangnya, pandangan sesat ini telah terlanjur diamini secara umum, yaitu bahwa evolusi merupakan perubahan secara berangsur-angsur atau lambat, sementara, revolusi adalah perubahan secara cepat, suatu perubahan sekaligus. Secara kebahasaan, pandangan ini dijadikan lumrah, tetapi secara keilmuan sosial-politik, pandangan ini jelas tidak dapat dipertahankan. Bila kita mendasarkan pemahaman kita dengan pengertian ini, kita sama saja tengah mencampuradukkan dua ranah persoalan yang berbeda dan tak saling berkaitan. Pencampuradukkan arti ini merupakan salah satu jurus andalan dari kaum borjuasi untuk mengaburkan makna asli dari istilah revolusi, suatu muslihat yang halus untuk memalsukan arti dari kata tersebut.
Kekeliruan ini timbul karena dalam proses terbentuknya bangsa dan bahasa kita tidak mendasarkan pada pandangan ilmiah sebagaimana Tan terangkan dalam Madilog. Baik evolusi dan revolusi terdapat perubahan kuantitas menjadi kualitas, terdapat kesatuan dari kutub-kutub yang tak terdamaikan, terdapat negasi atas negasi (yang mana apabila suatu kualitas telah berubah menjadi kualitas yang lain, ia tidak dapat kembali kepada kualitas sebelumnya sama sekali) Yang menjadi perbedaan pokok antara evolusi dan revolusi bukanlah soal prosesnya, melainkan soal konteks pembahasannya. Apabila evolusi berbicara soal perubahan alat produksi biologis suatu spesies makhluk hidup secara dialektis, maka revolusi berbicara soal perubahan dialektis yang dialami oleh struktur sosial (antara basis (produksi dan hubungan-hubungan produksi) dan suprastruktur (politik, ideologi, kesenian, dll)). Namun dalam tulisan ini, kita akan tetap menggunakan pemahaman yang sesat ini, sekadar untuk memudahkan pembaca kita guna memahami tulisan kami. Kami akan menggunakan istilah 'evolusi' ini - dalam tanda kutip, bukan dalam makna yang sebenarnya, melainkan dalam makna 'sesatnya'.
Memang, revolusi bisa saja terjadi secara cepat, namun ini bukanlah isi yang menjadi inti dari revolusi. Isi-inti dari revolusi ini tidaklah terletak kepada cepat atau lambatnya proses perubahan yang berlaku, melainkan kepada watak atau tabiat dari proses itu sendiri. Perkara tempo memanglah bukan menjadi persoalan pikiran. Dengan lain perkataan, dapatlah kita katakan bahwa proses dari suatu revolusi itu sendiri, bisa berlangsung secara cepat-mendadak dengan sengitnya, akan tetapi juga bisa mengalir lambat-lambat, sehingga di dalam hakikatnya, dalam pengertian politik, tidak ataupun tidak mesti dan tidak perlu ada pertentangan yang merupakan anti-tesis mutlak. 'Evolusi' dan revolusi mungkin sekali sejalan dan bersesuaian.
Mari kita ambil contoh dari negeri Tiongkok. Bila kita meninjau jalannya revolusi proletar yang terjadi di negeri ini, kita akan segera mengetahui bahwa revolusi ini tidaklah terjadi secara cepat. Revolusi ini tidaklah terjadi melalui suatu gejolak yang cepat, melainkan terjadi melalui suatu perang saudara yang panjang. Meskipun bukan berarti gejolak yang cepat ini tidak pernah terjadi (sebagai contoh ialah pemberontakan Nanchang yang menjadi tonggak awal bagi revolusi ini), namun gejolak cepat yang semacam itu bukanlah menjadi bentuk utama bagi jalannya revolusi ini. Revolusi Tiongkok ini sendiri mengambil bentuk utama (bukan satu-satunya!!!) melalui perang gerilya yang berkepanjangan. Setelah kemenangan Partai Komunis Tiongkok, revolusipun tak lantas menjadi berhenti. Revolusi tetap berlanjut melalui proses pembangunan yang relatif lambat dan berangsur-angsur.
Atau, marilah kita ambil contoh pula dari Revolusi Rusia di tahun 1917, yang merupakan suatu Revolusi Sosialis pertama di dunia ini (sejauh Komune Paris kita abaikan). Sama seperti Revolusi Tiongkok yang bermula dari suatu gejolak yang sengit, Revolusi Sosialis Rusia juga bermula dari suatu gejolak yang sengit, yang terjadi pada bulan November di tahun 1917. Meski demikian, pada kenyataannya revolusi ini tidaklah selalu mengambil bentuk sebagai gejolak yang cepat dan sengit. Kecepatan, kedahsyatan, kesengitan dan kehebatan perubahan ini tidak terus menerus sama tinggi derajatnya. Pelaksanaan politik NEP, dan sesudah itu penyelenggaraan rencana pembangunan 5 tahun, menunjukan juga bahwa perubahan masyarakat itu bisa berlangsung secara berangsur-ansur, secara mengalir rata, jadi bagai suatu 'evolusi'. Proses Revolusi Rusia itu justru membuktikan adanya hubungan antara revolusi dan 'evolusi', yang satu dengan lain akan saling ganti-mengganti.
Dengan pembuktian-pembuktian di atas, maka jelaslah bahwa secara politik dan keilmuan yang ketat dan ilmiah, tidaklah mesti selalu ada pertentangan antara pengertian dari perkataan revolusi dengan 'evolusi'. Suatu 'evolusi' juga bisa berarti revolusi. Artinya, suatu revolusi mungkin sekali menampakkan dirinya sebagai sesuatu 'evolusi', yaitu sebagai suatu perubahan yang relatif lambat dan tak sengit. Kedua corak proses itu tidaklah mesti selalu bertentangan dalam isinya, mungkin sekali bisa selaras dan sejalan, atau malahan pasti akan selalu berganti-ganti jalannya (suatu gejolak perubahan yang cepat dan sengit akan disusul oleh suatu bentuk perubahan-pembanguan yang lambat). Yang harus kita perhatikan bukanlah temponya, akan tetapi isi dan arahnya perubahan tersebut. Apakah perubahan tersebut bersifat total atau sekedar tambal sulam? Apakah perubahan tersebut menyentuh sampai ke akar-akarnya? Atau hanya sampai kulitnya saja?
Revolusi, menurut arti kata yang sebenarnya, adalah suatu perubahan vertikal, yaitu pembalikan total masyarakat dari atas ke bawah. Itulah intisari dari revolusi. Revolusi bukan hanya sekedar perubahan horizontal semata. Ia senantiasa berkaitan dengan perubahan tatanan masyarakat yang ada. Dalam soal kemasyarakatan, maka revolusi itu mengandung arti perombakan susunan masyarakat dari atas ke bawah, "dari ujung rambut sampai ujung kaki", artinya lapisan atas dan bawah itu dibalikkan, kelas-kelas tertindas merampas kekuasaan kelas penindas, dan bersamaan dengan itu pula terjadi suatu perubahan dari sistem produksinya, yang menguasai segala soal-soal masyarakat itu.
Mari kita contohkan. Reformasi '98, meskipun merupakan suatu perubahan yang cepat dan bahkan sampai berdarah-darah, tidak bisa kita sebut sebagai revolusi karena sama sekali tidak mengubah bentuk tatanan yang ada. Meskipun konstitusi diamandemenkan, beberapa lembaga dihapuskan dan ditambahkan, dwifungsi ABRI ditiadakan, terdapat sedikit lebih banyak kebebasan, dll, namun pasca reformasi '98 TIDAK ADA PERUBAHAN TATANAN MASYARAKAT YANG TERJADI. Si buruh tetap menjadi budak kapital yang setiap harinya dieksploitasi, dan si borjuis tetap menguasai alat-alat produksi dengan senang hati. Pendek kata, Kaum bankir, kaum tuan-tuan besar agraria, dan kelas penguasa lainnya tetap menjadi lapisan yang paling atas, tetap menguasai ekonomi rakyat dan negara, sedangkan kaum pekerja, kaum buruh, kaum tani dan pedagang kecil yang berjuta-juta itu, tetap menjadi atau dijadikan landasan masyarakat yang paling bawah, mereka tetap tidak memiliki kekuasaan untuk mengatur kehidupan mereka sendiri.
Dengan menengok hal ini, maka jelaslah bahwa bertukarnya suatu kekuasaan dari satu tangan ke lain tangan, sekalipun terjadi secara cepat dan disertai dengan jalan kekerasan, paksaan, dan pertumpahan darah, apabila ditinjau dari patokan perilmuan yang konkret dan sangat realistis, tidaklah selalu berarti suatu revolusi, sekalipun percelotehan umum lazimnya dan selalu menamakan tiap-tiap perebutan dan pertukaran kekuasaan, yang dilakukan dengan ujung senjata dan berlaku secara cepat sebagai suatu revolusi. Walaupun memang betul bahwa tidak ada satu revolusi pun yang terjadi secara damai, akan tetapi bukan berarti segala perebutan kekuasaan yang terjadi dengan jalan kekerasan adalah suatu revolusi. Sejauh perubahan tersebut tidak mengubah bentuk kepemilikan atas alat-alat produksi serta sistem hubungan produksi yang ada, maka perubahan tersebut tidaklah layak disebut sebagai revolusi.
Atau kita bisa mengambil contoh dalam negeri kita sendiri. Peristiwa pembantaian massal 1965 yang telah menyebabkan terbunuhnya banyak aktivis, kaum pekerja, dan kaum tani yang dicap sebagai antek komunis oleh kalangan militer angkatan darat sebagai pelopor pembantaian tersebut. Bagaimanapun, peristiwa ini sama sekali tidaklah bisa disebut sebagai (kontra) revolusi, meskipun dia memakan banyak korban jiwa sebagai akibat dari keganasan kaum militer angkatan darat yang tangannya penuh dengan darah-darah orang tak bersalah. Suatu gejala kekerasan maupun pembunuhan yang melibatkan masyarakat banyak tidaklah selalu berarti revolusi maupun kontra-revolusi. Ini hanyalah propaganda kelas penguasa yang berdaya upaya untuk menjelek-jelekkan makna revolusi, untuk menakuti-nakuti massa rakyat, dan dengan demikian, menjaga tatanan masyarakat yang ada guna menguntungkan kelas penguasa saat ini.
Pada kenyataannya, kekerasan bukanlah inti daripada revolusi, melainkan adalah penggulingan tatanan masyarakat lama dan penggantian menuju tatanan masyarakat yang baru. Dengan demikian, peristiwa pembantaian massal 1965 dan kebangkitan rezim Soeharto tidaklah berarti revolusi maupun kontra-revolusi. Peristiwa ini hanyalah bentuk stabilisasi negara borjuis yang sebelumnya di era kepemimpinan rezim Soekarno mengalami tekanan ekonomi dan politik oleh negara-negara imperialis. Inflasi yang meninggi dan embargo oleh imperialis AS menjadi contoh penting bagaimana ketidakstabilan ekonomi-politik negara Indonesia pada masa itu. Bagi kaum imperialis, situasi ini jelas berbahaya lantaran akan membuka kemungkinan untuk terciptanya revolusi sosial di Indonesia mengingat kekuatan PKI yang makin lama makin menguat pada masa itu. Itulah sebabnya, kalangan militer angkatan darat sebagai kaki tangan dari negara imperialis AS berdaya upaya untuk menghentikan situasi ini yang memuncak pada peristiwa Gestok (Gerakan Satu Oktober) atau lebih sering kita dengar sebagai G30S. Peristiwa terbunuhnya 7 Jendral ini memantik pembunuhan massal 1965 oleh kalangan militer dan sipil yang terprovokasi.
Tentunya, kita tidak akan tertipu dengan bualan rezim Soeharto bahwa peristiwa ini adalah revolusi, meski ketujuh jendral yang diculik dan dibunuh dalam peristiwa tersebut digelari sebagai pahlawan revolusi. Apakah terdapat perebutan negara oleh kelas satu terhadap kelas lain dalam peristiwa itu? Kenyataannya adalah tidak. Baik rezim Soekarno maupun rezim Soeharto, negara sama-sama masih dikuasai oleh kelas borjuis. Hanya saja, rezim Soekarno lebih membuka ruang lebar terhadap borjuis nasional dan seakan-akan menjauhi borjuis-imperialis, sedangkan rezim Soeharto justru malah merangkul borjuis-imperialis secara terang-terangan. Jadi, celotehan terkait revolusi dalam peristiwa tersebut adalah sepenuhnya omong kosong, begitu pun juga celotehan tujuh jendral sebagai pahlawan revolusi. Ini hanyalah upaya kelas penguasa untuk membelokkan ingatan dan kesadaran massa rakyat pekerja terhadap sejarah bangsanya sendiri dan menyesatkan pemahaman tentang apa itu revolusi sebenarnya.
Dalam karyanya yang berjudul "Aksi Massa", Tan Malaka telah menjelaskan duduk perkara revolusi ini dengan amat tepat: "Revolusi itu bukan sebuah ide yang luar biasa, dan istimewa, serta bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa. Kecakapan dan sifat luar biasa dari seseorang dalam membangun revolusi, melaksanakan atau memimpinnya menuju kemenangan, tak dapat diciptakan dengan otaknya sendiri. Sebuah revolusi disebabkan oleh pergaulan hidup, suatu akibat tertentu dari tindakan-tindakan masyarakat. Atau dalam kata-kata yang dinamis, dia adalah akibat tertentu dan tak terhindarkan yang timbul dari pertentangan kelas yang kian hari kian tajam. Ketajaman pertentangan yang menimbulkan pertempuran itu ditentukan oleh pelbagai macam faktor: ekonomi, sosial, politik, dan psikologis. Semakin besar kekayaan pada satu pihak semakin beratlah kesengsaraan dan perbudakan di lain pihak. Pendeknya semakin besar jurang antara kelas yang memerintah dengan kelas yang diperintah semakin besarlah hantu revolusi. Tujuan sebuah revolusi ialah menentukan kelas mana yang akan memegang kekuasaan negeri, politik dan ekonomi, dan revolusi itu dijalankan dengan "kekerasan". Di atas bangkai yang lama berdirilah satu kekuasaan baru yang menang."[11]
B. Menyoal Istilah Revolusioner
Sekarang, teranglah bagi kita tentang apa sebetulnya arti dari kata revolusi, yang belakangan ini mulai banyak diteriakkan oleh beberapa kalangan mahasiswa dan lain-lainnya. Akan tetapi ini belumlah cukup, serta belum bisa memuaskan. Sebab justru perkataan "revolusioner" itupun sekarang banyak sekali dipalsukan artinya, atau setidak-tidaknya banyak orang yang main asal-asalan saja dalam mempergunakannya. Dalam forum-forum percelotehan politik, maka arti revolusioner itu banyak diperkacau-balaukan, digunakan seenak-enaknya, dijadikan cap stempel murahan, sehingga tidak dikenal lagi akan arti-aslinya. Perkataan itu di medan propaganda ramai dipakai untuk menghiburkan sentimen sendiri tanpa ada rasa tanggung jawab akan segala konsekuensinya.Maka dari itu, sebelum kita menghabiskan pembahasan kita dalam artikel ini, adalah perlu untuk terlebih dahulu menggarisbawahi maksud dan arti kata "revolusioner" yang setepat-tepatnya, agar jangan kita salah tempa dan salah paham antara satu dengan yang lain, yang akan membahayakan pergerakan kita di hari nanti.
Seringkali orang beranggapan bahwa revolusioner tidaknya suatu hal itu pada dasarnya ditentukan oleh 'merek' atau tampilan muka yang nampak dari hal tersebut. Sebagai contoh, apabila terdapat seseorang atau sekelompok orang yang melakukan pergerakan dengan mempergunakan embel-embel Marxisme, maka otomatis, mereka adalah kaum revolusioner. Atau, sebagai contoh lain, apabila terdapat suatu organisasi yang mempergunakan istilah "revolusioner" bagi nama mereka, atau setidak-tidaknya seringkali menyatakan diri sebagai revolusioner (meskipun nama organisasi mereka tidak menyematkan istilah "revolusioner") maka secara otomatis, segala tindak-tanduk merekapun adalah revolusioner pula. Apakah benar demikian? Sayangnya tidak.
Meskipun benar bahwa segala latar belakang teoretis mereka tidaklah boleh kita abaikan, meskipun benar bahwa "tanpa teori revolusioner, tidak akan ada pergerakan revolusioner", dan meskipun benar pula bahwa hanya Marxismelah yang mampu memberikan pandangan yang lengkap dan harmonis bagi kaum proletariat guna menuntun mereka menuju pembebasannya, namun, penilaian kita akan revolusioner-tidaknya suatu hal pada dasarnya tidaklah boleh dilandaskan hanya kepada merek ideologis semata!!! Walaupun mereka membawa-bawa nama Marxisme sebagai panji-panji mereka, akan tetapi, HAL INI BELUMLAH BISA DIJADIKAN JAMINAN AKAN KEREVOLUSIONERAN MEREKA. Di era kemerdekaan sendiri, ada begitu banyak orang yang mengklaim diri mereka sebagai kaum "revolusioner" dan mengaku diri sebagai murid-murid Marx dan Engels, termasuk mereka yang tergabung dalam anasir-anasir feodal, kapitalis, borjuasi-nasional, dan borjuasi kecil!!! Apakah mereka semua termasuk sebagai kaum revolusioner? Tentu saja tidak.
Secara mendasar, revolusioner-tidaknya suatu hal pada dasarnya tidaklah ditentukan oleh merek ideologis yang nampak di muka, melainkan oleh tujuan-mutlak yang menjadi hasrat dari hal tersebut. Apa artinya? Artinya hal yang kita maksud tersebut mampu untuk mendorong jalannya revolusi, maka barulah hal tersebut bersifat revolusioner. Sebaliknya pula, tiap-tiap perbuatan yang wujudnya, ataupun akibatnya menghalangi serta menentang pengembangan dan perjalanan revolusi yang dimaksudkan itu, dia adalah kontra-revolusioner atau bahkan reaksioner. Hal-hal ini terlepas dari anggapan subjektif kita sendiri, terlepas dari pada simpati atau antipati kita masing-masing terhadap perbuatan itu.
Revolusioner tidaknya suatu hal pada dasarnya tidaklah ditentukan oleh perkataannya semata, melainkan yang terutama juga oleh praktek konkretnya dalam dunia nyata. Terkait perilaku munafik ini, yaitu perilaku revolusioner yang hanya di mulut saja, Lenin menyatakan bahwa mereka hanya "mengakui revolusi proletar dalam kata-kata, tetapi dalam perbuatan menolak apa itu paling esensial dan mendasar dalam konsep "revolusi"."
Satu-satunya tolok ukur konkret yang dapat kita gunakan untuk menilai revolusioner-tidaknya suatu hal ialah dengan meninjau akibat dari hal tersebut. Apabila hal yang kita maksud itu mengakibatkan kemajuan bagi jalannya revolusi dan mempercepat jalannya revolusi, maka hal tersebut adalah praktek yang revolusioner, teori yang revolusioner, strategi yang revolusioner, organisasi yang revolusioner, dll. Akan tetapi, apabila yang kita maksudkan itu justru malah mengakibatkan jalannya revolusi menjadi semakin lambat dan terhambat, maka tidak diragukan lagi, meskipun hal-hal tersebut distempeli dengan ribuan kata "revolusioner", hal tersebut secara objektif tetaplah kontra-revolusioner.
Walaupun memang, bukan berarti kita tidak boleh menganggap diri kita sendiri sebagai yang revolusioner. Kita memang boleh sekali menganggap diri kita sendiri sebagai seorang revolusioner, seorang revolusioner yang tulen. Akan tetapi, buat kita, yang terpenting bukanlah pernyataan dari salah satu personal. Yang harus kita hiraukan dan perhatikan ialah akibat dari perbuatannya. Apabila akibat dari tindakan dan perbuatan seseorang, biarpun dia berkali-kali mengaku dirinya sebagai "revolusioner", tidak selaras dan sesuai dengan kemauan serta keharusan pengembangan dan penyelesaian revolusi, maka secara objektif dan perilmuan politik, tidaklah boleh kita sebutkan mereka sebagai yang revolusioner, sekalipun dia kawan-karib kita sendiri, bahkan sekalipun kita mau mengakui dan mempercayai, bahwa orang yang bersangkutan itu sesungguhnya mengandung keinginan dan hasrat hendak melaksanakan revolusi.
Mari kita menggarisbawahi perkara ini dengan lebih tegas lagi: revolusioner-tidaknya suatu hal pada dasarnya bukanlah ditentukan kepada nama atau merek orang dan partai yang menghendaki atau menjalankannya, akan tetapi senantiasa merujuk kepada tujuan-mutlak yang hendak dicapainya. Artinya, hal tersebut bergantung sangat kepada jawaban dari pertanyaan ini: apakah akibat dari suatu hal tersebut mendorong perkembangan revolusi yang dimaksudkan, ataukah malah menghalangi perkembangannya? Apakah suatu hal tersebut mempercepat atau melambatkan perjalanannya, tepat sejalan ataukah menentang arus revolusi yang ada?
Segala akibat dari suatu hal yang kita maksudkan itu haruslah dapat diuji serta dikontrol dengan bukti-bukti yang nyata, sehingga kita mempunyai patokan yang tertentu. Andai kata betul terbukti, bahwa akibat dari suatu hal yang kita maksudkan tersebut dapat menguntungkan penyelenggaraan revolusi itu, maka betul-betul kita berhadapan dengan salah satu strategi dan taktik revolusioner, maka barulah orang atau partai yang melakukannya itu betul-betul layak mendapat predikat revolusioner.
Demikianlah duduk perkaranya.
VI. PENUTUP
Apa yang dapat kita simpulkan dari penjabaran kita di atas? Berdasarkan penjabaran di atas, dapatlah kita pahami bahwa perkara revolusi bukanlah perkara yang remeh semata. Revolusi bukanlah pesta buka bersama yang bisa dijalankan dengan santai-santai saja, melainkan suatu perombakan total masyarakat yang membutuhkan pengorbanan yang berat, ulet, dan bahkan hingga berdarah-darah. Revolusi tidak bisa dijalankan hanya dengan aksi-aksi demonstrasi sporadis,[12] selepas aksi lantas kembali ke kampus lagi. Tidak!!! Revolusi tidak bisa dijalankan dengan cara seperti itu!!! Revolusi hanya bisa dilakukan dengan cara aksi massa berskala massive, berjangka panjang, dan sistematis. Revolusi tak akan muncul melalui perjuangan yang ngawur, melainkan hanya muncul melalui perjuangan yang terstruktur.Apa yang akhir-akhir ini disuarakan oleh beberapa kalangan mahasiswa jelas merupakan suatu keanehan. Mereka menyatakan tentang perlunya diadakan revolusi, akan tetapi mereka sendiri justru tidak ingin berbaur dengan massa rakyat yang ada, khususnya pekerja. Dengan menganggap diri sebagai agent of change, mereka merasa mampu untuk mengatasi persoalan revolusi dengan sendirinya. Mereka tampaknya lupa bahwa bukan mahasiswa yang menciptakan sejarah, melainkan massa pekerjalah yang menciptakan sejarah. Konsep agent of change ini, yang sering kali digembar-gemborkan oleh media-media borjuis, pada kenyataannya hanyalah tipuan guna memuaskan romantisme anak muda yang tak berdasar. Mereka berteriak soal "hidup rakyat Indonesia!!", namun bahasa yang mereka gunakan jauh dari kata merakyat: penuh dengan jargon-jargon intelektual-elitis dan jauh dari pandangan teoretis yang revolusioner.
Dalam salah satu karyanya yang berjudul Apa Yang Harus Dilakukan?, Lenin telah menuliskan bahwa "Tanpa teori revolusioner, tidak akan ada gerakan revolusioner". Lenin benar pada saat itu, dan juga benar hingga saat ini. Sejarah telah membuktikan, bahwa Marxisme adalah senjata teoretis yang paling ampuh bagi kaum yang tertindas untuk menjalankan suatu revolusi. Sejarah telah membuktikan pula akan kebenaran dari Marxisme ini, yaitu bahwa revolusi tak akan dimunculkan oleh kalangan intelektual (seberapapun revolusionernya pandangan mereka), melainkan hanya dapat dimunculkan oleh seluruh massa rakyat tertindas itu sendiri, yang dipelopori oleh kelas proletariat. Kelas proletariat, sebagai kelas yang paling mendasar dalam masyarakat kapitalis, yang paling berdisiplin, dan yang paling maju, adalah ujung tombak bagi revolusi Sosialis.
1.Engels, Perang Sipil di Perancis, 1891 - Peringatan 20 Tahun Komune Paris
2.Contoh Marxis gadungan yang paling mencolok ialah Marhaenisme yang katanya ialah Marxisme ala Indonesia. 'Teori' politik ciptaan Sukarno ini secara terbuka menolak adanya pertentangan kelas. Ia menukar kepentingan kelas proletariat dengan kepentingan bangsa, yang tak lain ialah kepentingan borjuis itu sendiri.
3.VI Lenin, 1919. Negara: Kuliah Yang Disampaikan di Universitas Sverdlov
4.Engels, 1884. Asal-Usul Keluarga, Milik Perseorangan, dan Negara
5.VI Lenin, 1919. Negara: Kuliah Yang Disampaikan di Universitas Sverdlov
6.Engels, 1884. Asal-Usul Keluarga, Milik Perseorangan, dan Negara
7.VI Lenin, 1918. Revolusi Proletariat dan Kautsky si Pengkhianat
8.Ibid
9.VI Lenin, 1919. Tesis dan Laporan Tentang Demokrasi Borjuis dan Diktator Proletariat
10.VI Lenin, 1917. Negara dan Revolusi. Lenin menyederhanakan pernyataan Engels dari Peringatan 20 Tahun Komune Paris
11.Tan Malaka, 1926. Aksi Massa
12.“Perjuangan mahasiswa layaknya perjuangan seorang cowboy. Seorang cowboy datang ke sebuah kota dari horizon yang jauh. Di kota telah merajalela perampokan, pemerkosaan, dan ketidakadilan. Cowboy ini menantang sang bandit berduel dan ia menang. Setelah para penjahat mati, penduduk kota mencari sang cowboy untuk mengucapkan terimakasih. Tetapi sang cowboy telah berlalu, kembali ke horizon yang jauh, tak berharap pujian, sanjungan, atau balas jasa. Namun, sang cowboy berjanji dalam hati, suatu saat dia akan kembali lagi bila angkara murka dan ketidakadilan kembali merajalela." (Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, 1983)
Tulisan Soe Hok Gie ini bisa dikatakan adalah manifesto bagi pergerakan mahasiswa saat ini yang bersifat sporadis: datang hanya ketika ada krisis, lantas kembali ke kampus ketika semua dianggap telah teratasi, sebuah pandangan yang sungguh narsis.
Tulisan Soe Hok Gie ini bisa dikatakan adalah manifesto bagi pergerakan mahasiswa saat ini yang bersifat sporadis: datang hanya ketika ada krisis, lantas kembali ke kampus ketika semua dianggap telah teratasi, sebuah pandangan yang sungguh narsis.