Oskar B.
Selama lebih dari lima puluh tahun rakyat Papua telah berjuang untuk menentukan nasib sendiri dan memerdekakan diri dari penjajahan Indonesia. Perjuangan pembebasan nasional selama beberapa dekade ini telah dilakukan dengan menghadapi kekerasan massal dan teror yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk melindungi eksploitasi berkelanjutan terhadap pekerja dan sumber daya alam West Papua. Eksploitasi di Papua, melalui kekerasan militer dan polisi yang brutal, telah mendatangkan keuntungan yang sangat besar bagi para kapitalis Indonesia dan penjajah asing sembari memiskinkan rakyat Papua. Kaum Marxis memperjuangkan hak West Papua, serta semua bangsa tertindas, agar dapat menentukan nasibnya sendiri. Kami mendukung perjuangan pembebasan nasional yang sedang dilakukan; sementara pada setiap kesempatan mengakui keterbatasan nasionalisme borjuis, dan mengedepankan internasionalisme kelas pekerja sebagai satu-satunya solusi sejati untuk menghadapi penindasan dan eksploitasi kapitalis.
Selama lebih dari tiga abad, West Papua adalah milik kolonial Belanda. Pada pertengahan abad ke-20, dengan kalahnya kolonialisme Belanda di Asia Tenggara, timbul harapan luas di West Papua untuk mencapai kemerdekaan. Namun, wilayah tersebut diklaim oleh Indonesia. Di bawah kediktatoran Soeharto yang anti-komunis dan didukung oleh Amerika, sebuah pemilihan curang diadakan di mana segelintir orang Papua yang ditunjuk, di bawah ancaman kekerasan, dengan suara bulat “memilih” untuk menjadi bagian dari Indonesia. Ironisnya, “Act of Free Choice” diterima secara universal oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang didominasi imperialis. Pada tahun 1969, West Papua secara paksa dimasukkan ke Indonesia.
West Papua adalah tambang emas, baik secara kiasan maupun harfiah, bagi kapitalis Indonesia dan internasional. Tanahnya kaya akan emas, perak, tembaga, gas alam dan kayu; West Papua adalah salah satu tanah paling kaya sumber daya alam di dunia. Di sana terdapat tambang tembaga terbesar ketiga dan tambang emas terbesar di dunia, serta perkebunan pertanian besar yang diperluas melalui penggundulan hutan. Freeport, Rio Tinto, BP, dan lusinan konglomerat pertambangan internasional lainnya menggondol keuntungan miliaran dolar dari West Papua setiap tahun, bagaimanapun rakyat kelas pekerja di West Papua tidak mendapat manfaat apapun dari uang ini. Papua adalah provinsi termiskin di Indonesia, dengan 28% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan dibandingkan dengan rata-rata Indonesia sebesar 10%. Papua memiliki angka harapan hidup terendah dan angka kematian anak, bayi dan ibu tertinggi di Indonesia.
Sejak pengambilalihan oleh Indonesia, ratusan ribu orang Papua telah dibunuh dalam pendudukan brutal. Ribuan aktivis dipenjara setiap tahun, bahkan mengibarkan bendera bintang kejora West Papua merupakan tindak pidana yang mana para aktivis telah hadapi beberapa dekade di balik jeruji besi. Nasionalisme chauvinis Indonesia telah memicu rasisme mendalam baik secara sosial maupun kelembagaan terhadap orang Melanesia Papua, yang merupakan bangsa dan etnis minoritas. Orang Papua yang tinggal di seluruh Indonesia hidup dalam diskriminasi, dilabel sebagai 'monyet', dan menjadi sasaran penyerangan oleh polisi dan milisi reaksioner. Tahun lalu di Surabaya, mahasiswa Papua diserang oleh perusuh dan kemudian dibarikade, ditangkapi dan dilempari gas air mata oleh polisi atas tuduhan tidak menghormati bendera Indonesia pada hari kemerdekaan.
Peran imperialisme Australia dalam membantu pendudukan Indonesia di West Papua tidak bisa diabaikan. Banyak pengeksploitasi terbesar di West Papua berhubungan erat dengan kapitalisme Australia. Perusahaan pertambangan yang berbasis di Australia, seperti Rio Tinto, beroperasi secara luas di Papua dan eksploitasi pertambangan yang signifikan di provinsi tersebut dipasok oleh pengiriman dari Queensland. Selain itu, sumber daya Australia dan dukungan taktis berperan penting dalam menopang rezim. Tentara Indonesia, yang ditempatkan secara meluas di West Papua untuk menekan para pekerja dan pejuang kemerdekaan dengan kejam, menerima pelatihan dan pasokan yang melimpah dari Australia. Kehadiran polisi Indonesia yang bengis di Papua juga didukung oleh Australia, dengan banyak pemimpin dan perwira yang dilatih dan diberikan dukungan operasional oleh Kepolisian Federal Australia. Ini termasuk unit “kontra-terorisme” Detasemen 88 yang berperan sebagai pasukan pembunuh yang mengincar aktivis Papua. Tangan Negara Australia berlumuran darah oleh ribuan aktivis dan pejuang kemerdekaan yang dibunuh dan dipenjarakan melalui dukungan langsungnya.
Dalam kondisi ekonomi dan politik yang mengerikan, dan dalam menghadapi represi polisi dan militer yang bengis, orang Papua telah berjuang keras demi kemerdekaan dan penentuan nasib sendiri selama lima puluh tahun. Gerakan pembebasan nasional di Papua memiliki banyak cabang, contohnya gerakan protes rakyat sipil dan perjuangan bersenjata tingkat rendah, yang mana keduanya telah ditumpas dengan kejam oleh Indonesia. Pada Agustus 2019 terjadi gelombang protes di seluruh Papua dalam beberapa kerusuhan terbesar di tahun yang sama. Adapun khusus di dataran tinggi Papua yang terpencil, telah terjadi perjuangan gerilya tingkat rendah, pertempuran di front ini juga berkobar dalam beberapa tahun terakhir dan telah dilakukan gerakan untuk mengkonsolidasikannya menjadi satu kekuatan.
Menyadari kelemahan perjuangan pembebasan nasional di hadapan rezim militer Indonesia, banyak kekuatan yang dipimpin oleh kaum borjuis nasionalis di Papua memusatkan upaya untuk mendapatkan dukungan internasional dari kaum imperialis dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kaum Marxis sadar bahwasanya strategi ini, karena berbagai alasan, tidak mampu mencapai pembebasan bagi rakyat West Papua. Sebab PBB-lah yang mengawasi dan menandatangani pencaplokan curang atas West Papua secara terang-terangan ke Indonesia. Dalam lima dekade sejak itu, imperialisme asing dan PBB secara konsisten mengabaikan permohonan rakyat West Papua dan berpihak pada pendudukan Indonesia oleh sebab itu PBB selalu dan hanya akan bertindak untuk menjaga keuntungan kaum imperialis. Tanpa adanya perubahan besar dalam situasi di Papua, untuk saat ini, negara-negara kapitalis asing dengan senang hati membiarkan Indonesia menghancurkan, dan mengelola ekstraksi, sumber daya alam West Papua. Kebrutalan pendudukan Indonesia telah berhasil mengatur eksploitasi super di West Papua dan menciptakan aliran keuntungan yang terus mengalir ke korporasi internasional; dengan potongan kecil diambil oleh pemerintah dan militer Indonesia. Saat ini, PBB dan kepentingan majikan imperialisnya terpampang jelas dengan menjunjung tinggi penindasan dan eksploitasi para pekerja Papua. Akan tetapi, jika kekuatan sosial berubah secara drastis, dan imperialisme asing berbalik mendukung kemerdekaan nasional West Papua, maka baik kepentingan vital maupun kebutuhan mendesak para pekerja Papua tetap tidak akan tercapai. Seperti yang ditulis oleh Vladimir Lenin dalam karyanya tentang Imperialisme:
“Kapital Finansial adalah kekuatan yang sangat besar, sangat menentukan, bisa dikatakan demikian, dalam kegiatan ekonomi dan dalam semua hubungan internasional, sehingga ia mampu menundukkan, dan benar-benar membuat tunduk kepadanya bahkan disaat negara-negara menikmati kemerdekaan politik sepenuhnya”[1]
Dengan kemerdekaan nasional bagi kapitalis, maka semua yang akan dicapai adalah eksploitasi berkelanjutan terhadap pekerja dan kaum desa Papua, tetapi di atas landasan borjuis nasionalis Papua. Dengan keluarnya pemerintah Indonesia dari West Papua, imperialisme asing dan korporasi internasional akan terus menghisap keuntungan dan membuat pekerja Papua dimiskinkan. Keinginan kaum kapitalis dan imperialis selanjutnya akan ditegakkan oleh pemerintah borjuis nasionalis Papua, kepolisiannya, dan intervensi asing dari negara selain Indonesia – terutama setelah secara aktif memohon kekuatan imperialis untuk menyenangkan hati mereka.
Seperti halnya di Timor-Leste, ketika pasukan imperialis Australia “membebaskan” bangsanya dari Indonesia dengan invasi militer, yang secara tak langsung untuk memaksakan dominasi politik dan ekonomi Australia atas negara sekaligus menopang kepentingan kaum kapitalis dan menegakkan status Timor-Leste sebagai negara neokolonial. Tidak hanya menggunakan tekanan secara ekonomi dan politik yang tidak berimbang tetapi juga badan intelijen aktif memata-matai, negara Australia merundingkan kesepakatan yang memberikan mereka klaim atas 82% sumber daya minyak dan gas di ladang Greater Sunrise Timor-Leste. Papua Nugini, yang merdeka pada tahun 1975 setelah puluhan tahun dikuasai Australia, juga merupakan neo-kolonial imperialisme Australia yang dilanda kemiskinan. Dalam kedua contoh ini, kemerdekaan nasional akhirnya menjadi kelanjutan dari eksploitasi asing dan kemiskinan massal. Kegagalan dalam menarik pemerintah internasional untuk mencapai perubahan bagi orang West Papua pada saat ini, dan bukti sejarah dari buah intervensi imperialis internasional, adalah contoh jelas dari keterbatasan nasionalisme borjuis dalam menangani tuntutan kelas pekerja.
Bagaimana pemahaman kaum Marxis akan nasionalisme?
Kaum Marxis adalah internasionalis, pada semua titik tujuan fundamental kita haruslah persatuan kelas pekerja dari semua bangsa dalam berjuang melawan kapitalisme. Pembangunan masyarakat sosialis hanya dapat dicapai di atas landasan internasional. Atas pemahaman ini, kaum Marxis pada akhirnya menentang semua bentuk nasionalisme. Namun, kita juga harus berjuang keras melawan penindasan nasional. Ini berarti mengakui hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri dan keabsahan gerakan pembebasan nasional yang berjuang untuk ini. Seperti yang ditulis Lenin, nasionalisme dalam perjuangan bangsa tertindas melawan bangsa penindas “memiliki muatan demokrasi umum yang diarahkan menentang penindasan, dan muatan inilah yang kami dukung tanpa syarat.”[2] Mengakui karakter progresif perjuangan melawan penindasan nasional adalah penting; karena untuk memperjuangkan kemungkinan terdekat tercapainya persatuan pekerja dari segala bangsa, dan solidaritas kelas internasional, dibutuhkan penghancuran penindasan nasional ini dan berjuang untuk kesetaraan yang seluas mungkin di antara bangsa-bangsa. Hanya dengan mengakui hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri, yaitu hak untuk memisahkan diri dan membentuk negara berdaulat, maka hal ini dapat dicapai. Pendekatan Marxis terhadap nasionalisme diringkas oleh Lenin dalam artikelnya “Komentar Kritis tentang Masalah Kebangsaan”: “Prinsip kebangsaan secara historis tak terelakkan dalam masyarakat borjuis dan, dengan mempertimbangkan masyarakat ini, kaum Marxis sepenuhnya mengakui kebenaran historis pergerakan nasional. Namun untuk mencegah pengakuan ini menjadi sebuah pembelaan terhadap nasionalisme, ia harus dibatasi secara ketat pada apa yang progresif dalam gerakan-gerakan tersebut, agar pengakuan ini tidak mengarah pada ideologi borjuis yang mengaburkan kesadaran proletar… Untuk menanggalkan… semua penindasan nasional, dan semua keistimewaan yang dinikmati oleh bangsa atau bahasa tertentu, adalah tugas wajib dari proletariat sebagai kekuatan demokratik, dan tentu saja untuk kepentingan perjuangan kelas proletar… Namun untuk melampaui batas-batas sejarah yang terbatas dan jelas ini dalam membantu nasionalisme borjuis berarti mengkhianati proletariat dan berpihak pada borjuasi.”[3]
Sebagai perjuangan nasional untuk menentukan nasib sendiri, gerakan kemerdekaan di Papua memiliki tanda-tanda karakter progresif. Kaum Marxis harus sepenuhnya mendukung perjuangan heroik dan militan dari rakyat Papua untuk bertahan hidup dan mencapai pembebasan, dan ikut menentang segala upaya untuk menghancurkan perjuangan itu. Perjuangan untuk menghancurkan imperialisme Australia, beserta dominasi ekonomi dan politik yang signifikan atas kawasan Pasifik, memiliki peran penting untuk dipergunakan dalam mendukung perjuangan kemerdekaan Papua dan merupakan rencana yang paling vital dan langsung yang menjadi tugas pokok bagi kaum Marxis di Australia. Ini berarti berkampanye untuk Australia jangan ikut campur di West Papua, baik dalam menentang dukungan bagi rezim militer dan kepolisian Indonesia dan secara konsisten menyerukan menolak intervensi Australia. Melainkan untuk mencapai pembebasan sejati, yang dibutuhkan adalah revolusi sosialis untuk menghancurkan kapitalisme, sekaligus menghancurkan militer Indonesia dan keberadaan Imperialis. Taktik yang telah didiskusikan sebelumnya dalam upaya menggalang dukungan internasional dari kaum kapitalis adalah contoh nyata dari keterbatasan nasionalisme borjuis. Taktik ini tidak hanya gagal membawa perubahan yang diinginkan oleh rakyat West Papua, bahkan andaikata berhasil pada akhirnya ia hanya akan menjadi kelanjutan eksploitasi pekerja di Papua dengan berlanjutnya pengerukan keuntungan oleh imperialis serta kelanjutan kapitalisme secara nasional.
Menuju persatuan kelas pekerja melawan penindasan dan eksploitasi
Dalam perjuangan melawan penindasan nasional, dan dalam menentang terbatasnya kemampuan serta pengkhianatan nasionalisme borjuis, kaum Marxis mengajukan revolusi sosialis melalui persatuan kelas pekerja sebagai satu-satunya solusi sejati yang mampu menyelesaikan kebutuhan dan tuntutan pekerja dari bangsa yang tertindas. Kaum Marxis mengakui bahwa pekerja Papua dan Indonesia, baik di West Papua dan di seluruh Indonesia, bekerja di tambang yang sama dan dieksploitasi oleh perusahaan yang sama. Polisi dan militer yang membunuh pejuang kemerdekaan Papua sebetulnya juga Polisi dan Militer yang sama yang menembaki pekerja Indonesia yang mogok. Bahkan negara Indonesia yang sama pula yang memaksakan kehendak kapitalis baik pada pekerja Papua dan Indonesia. Singkatnya, sistem kapitalis yang sama lah yang mengeksploitasi para pekerja West Papua, pekerja Indonesia, maupun pekerja dari seluruh bangsa di dunia. “Di dewan perusahaan saham gabungan, kami menemukan para kapitalis dari berbagai negara duduk bersama dalam penuh keharmonisan. Di pabrik, pekerja dari berbagai bangsa bekerja saling berdampingan. Dalam setiap masalah politik yang serius dan mendalam, kubu-kubu diambil menurut kelasnya, bukan bangsanya.”[3]
Saat ini, sekitar setengah dari penduduk yang tinggal di West Papua bukanlah asli Papua. Dari Jawa, Sumatra, dan pusat populasi lainnya, sejumlah besar pekerja Indonesia telah mengalir ke Papua untuk memicu ledakan ekonomi yang dibawa oleh sumber daya. Pemerintah Indonesia juga berinvestasi dalam mendatangkan orang-orang Indonesia untuk memperkuat basis dukungan nasionalisme Indonesia. Bukan tanpa alasan, ada kemarahan di kalangan nasionalis Papua atas hal ini. Namun, mengalah pada perjuangan sektarian melawan pekerja Indonesia hanya menjadi mainan di tangan rezim Indonesia, yang ingin menggunakan perpecahan di antara pekerja Papua dan Indonesia demi keuntungan mereka sendiri. Sebaliknya, kaum Marxis berpendapat bahwa dari sini terdapat potensi besar solidaritas kelas internasional, dengan membangun kolaborasi yang lebih erat antara pekerja West Papua dan Indonesia. Lenin melihat sebuah tong mesiu dalam pergerakan para pekerja Rusia Raya ke Ukraina pada awal abad ke-20.
“Teladanilah Rusia dan sikap orang-orang Rusia Raya terhadap orang Ukraina. Secara alami, setiap demokrat, belum lagi kaum Marxis, akan sangat menentang penghinaan yang luar biasa terhadap orang Ukraina, dan menuntut kesetaraan penuh bagi mereka. Namun itu akan menjadi pengkhianatan terhadap sosialisme dan merupakan kebijakan konyol bahkan dari sudut pandang "tujuan nasional" borjuis Ukraina untuk melemahkan hubungan dan aliansi di antara proletar Ukraina dan Rusia Raya yang sekarang berada dalam batas-batas satu negara.”
“Buruh Rusia Raya dan Ukraina harus bekerja sama, dan, selama mereka hidup dalam satu negara, bertindak dalam kesatuan organisasi terdekat dan bersetuju, menuju terbentuknya kebudayaan bersama atau internasional dari gerakan proletar.”[3]
Seperti yang dilakukan oleh kaum Marxis Rusia dan Ukraina seratus tahun yang lalu, kesempatan untuk kesatuan kelas lintas bangsa antara pekerja Indonesia dan Papua harus dimanfaatkan. Penggalangan persatuan ini akan menjadi senjata ampuh dalam perang melawan pendudukan Indonesia, penindasan nasional, dan eksploitasi kapitalis. Hanya melalui kesatuan ini persoalan-persoalan tersebut dapat diatasi. Hanya dengan berjuang atas dasar kelas melawan kapitalisme dan demi masa depan sosialis di Melanesia dan kepulauan Indonesia, pembebasan dapat dicapai. Solusi atas kerinduan West Papua pada penentuan nasib sendiri yang sejati, dan solusi atas penindasan terhadap semua pekerja Indonesia, tidak terletak pada nasionalisme tetapi pada internasionalisme. Dalam kesatuan kelas dan aksi bersama untuk melawan para penindas. Dasar persatuan ini sudah ada di Papua. Dalam perjuangan serikat pekerja, pekerja Indonesia dan Papua melakukan aksi mogok berdampingan seperti pemogokan di tambang Grasberg Freeport-McMoran.[4] Pemerintah Indonesia takut akan aksi buruh sama seperti ketakutannya terhadap perjuangan militan kemerdekaan Papua sehingga pada tahun 2011 mereka melakukan tindakan keji penuh darah terhadap pemogokan di tambang. Dalam tindakan keras ini seorang pekerja dibunuh ketika polisi menembaki kerumunan pemogok. Marx melihat kesatuan aksi antara pekerja Polandia dan Jerman dalam pemogokan sebagai contoh penting untuk meruntuhkan tembok kebangsaan:
“Para pekerja Polandia di Posen telah membawa pemogokan menuju kemenangan berkat bantuan rekan-rekan mereka di Berlin. Perjuangan melawan Monsieur le Capital ini—bahkan dalam bentuk pemogokan yang sederhana—adalah cara yang lebih serius dalam menyingkirkan prasangka kebangsaan daripada deklamasi perdamaian yang keluar dari bibir tuan-tuan borjuis.”[5]
Kaum Marxis bersolidaritas dengan semua perjuangan buruh di Papua dan setiap kesempatan signifikan yang mereka hadirkan untuk membangun persatuan. Demikian pula, kami menyadari pentingnya perjuangan untuk mengakhiri penindasan atas orang Papua seperti yang dilakukan oleh banyak aktivis kiri serta para aktivis di seluruh Indonesia, banyak di antaranya telah ditindak dan dipenjarakan secara kejam. Baru tahun ini enam aktivis didakwa dengan tuduhan makar, dipenjara, dan direnggut pembebasan bersyaratnya karena mengorganisir protes pro West Papua di Jakarta. Ini termasuk seorang aktivis non-Papua yang merupakan orang pertama yang dituduh melakukan pelanggaran semacam itu. Pada akhir 2019, Indonesia menyaksikan pemberontakan massal melawan korupsi dan undang-undang reaksioner yang dipimpin terutamanya oleh mahasiswa dan melibatkan serikat pekerja dan tani. Dalam gelombang protes ini, tuntutan diakhirinya militerisme di West Papua dan pembebasan tahanan politik Papua adalah salah satu tuntutan utama yang diajukan. Perjuangan bersatu antara orang-orang Papua dan Indonesia melawan kaum kapitalis adalah kunci untuk membangun solidaritas dan ikatan organisasi yang dapat memajukan perjuangan pembebasan nasional West Papua. Hal ini penting dalam perjuangan demi masa depan sosialis di Indonesia, karena pekerja Indonesia tidak akan pernah bisa merdeka di dalam suatu negara yang menindas dan menundukkan kelompok minoritas.
Merdeka (Pembebasan dan Kemerdekaan)
Di West Papua, Masalah Kebangsaan kembali muncul. Sebagai Marxis kami menentang penindasan dan penaklukan West Papua oleh Indonesia, dan mendukung perjuangan pembebasan nasional yang berani dari rakyat West Papua. Kita harus menyerukan penarikan pasukan Indonesia, dan berjuang melawan upaya bersama Australia dan Indonesia untuk menguasai West Papua. Pada saat yang sama, kaum Marxis mengakui keterbatasan nasionalisme borjuis dalam membantu kepentingan rakyat tertindas dan kelas pekerja dan dengan demikian melihat perlunya revolusi yang didukung kaum tani dan dipimpin oleh kaum proletar. Kita harus berjuang untuk menghancurkan segala upaya imperialisme Australia untuk menundukkan West Papua di bawah kemauannya. Dan kita melihat bahwa internasionalisme, melalui perjuangan bersatu kaum proletar lintas-bangsa melawan kapital, adalah satu-satunya jalan mencapai emansipasi para pekerja West Papua, pekerja Indonesia, dan pekerja dari semua bangsa. Demi West Papua yang merdeka, menuju sosialis Melanesia dan Indonesia!West Papua Merdeka! Perjuangkan revolusi proletar di Indonesia dan West Papua!
1.Lenin, Imperialisme tahap tertinggi kapitalisme; adapun kutipan aslinya berbunyi “Finance capital is such a great, such a decisive, you might say, force in all economic and in all international relations, that it is capable of subjecting, and actually does subject, to itself even states enjoying the fullest political independence.”
2.Lenin, Hak Bangsa untuk Menentukan Nasib Sendiri; adapun kutipan aslinya berbunyi “has a general democratic content that is directed against oppression, and it is this content that we unconditionally support.”
3.Lenin, Komentar Kritis tentang Masalah Nasional
5.Marx, Letter to Engels – 18 Agustus 1869